WARNING 21++
Mobil Hans berhenti tepat di depan rumah Hanna. Pria itu segera turun dari mobil. Dia berjalan mendekati Juanda yang duduk bersama sopir. Menekan pintu agar asistennya itu tidak bisa keluar karena dia mau berkencan dengan Hanna di rumah wanita itu. Dia tidak peduli ada kakek. Baginya bisa bersama kekasihnya sudah cukup memuaskan.
“Ada apa, Boss?” tanya Juanda bingung.
“Pulanglah. Aku akan menginap di sini,” ucap Hans pelan.
“Apa?” Juanda bingung.
“Bawa Juanda pulang!” perintah Hans pada sopir.
“Baik, Tuan.” Sopir segera menyalakan mesin mobil dan meninggalkan Hans.
“Kenapa mereka pergi?” tanya Hanna heran.
“Aku akan menginap di sini.” Hans menggandeng tangan Hanna.
“Apa?” Hanna terkejut.
“Dengar, Sayang. Aku tidak akan menyentuh kamu sebelum kita menikah.” Hans mencium bibir Hanna.
“Apa sih?” Hanna memukul lengan Hans.
“Apa kamu akan memasak makan siang untukku?” tanya Hans.
“Ya.” Hanna menarik tangan Hans masuk ke rumah.
“Tunggulah di sini.” Hanna mendorong tubuh Hans duduk di ruang tamu.
“Kamu mau kemana?” Hans menarik tangan Hanna.
“Aku akan mencari kakek dan membuatkan minuman dingin untuk kamu.” Hanna tersenyum.
“Jangan tinggalkan aku terlalu lama,” ucap Hans.
“Iya, Sayang.” Hanna mengecup bibir Hans dan meninggalkan pria itu. Dia berjalan ke dapur dan melihat sebuah pesan yang menempel di lemari pendingin.
“Hanna sayang. Kakek pergi ke rumah teman yang ada di ujung jalan.” Anna membaca pesan dari Kakek.
“Kenapa kakek tidak menghubungiku?” Hanna mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
“Ah, aku mengunakan mode diam.” Hanna melihat ada banyak panggilan dari kakek dan juga ada pesan yang sama dengan di pintu lemari pendingin.
“Halo, Cucuku.” Kakek menerima panggilan dari Hanna.
“Kakek dimana?” tanya Hanna.
“Rumah om Burhan,” jawab Kakek.
“Bagaimana kakek pergi ke sana?” tanya Hanna lagi.
“Om Burhan ke rumah membeli banyak sayuran dan ayam,” jelas kakek.
“Kapan Kakek akan pulang?” tanya Hanna.
“Nanti sore om Burhan akan antar kakek,” jawab kakek.
“Baikah, Kakek baik-baik di sana,” ucap Hanna.
“Ya.” Panggilan terputus.
“Kamu sangat lama.” Hans memeluk Hanna dari belakang.
“Hans.” Hanna meletakkan ponsel di atas meja.
“Siapa yang kamu telpon?” tanya Hans memutar tubuh Hanna menghadap dirinya.
“Kakek,” jawab Hanna.
“Apa kakek tidak ada di rumah?” tanya Hans lagi penuh semangat.
“Tidak,” jawab Hanna polos.
“Benarkah?” Hans menarik tubuh Hanna semakin dekat dan menempel padanya.
“Hans….” Kalimat Hanna terputus karena mulutnya telah dilahap oleh Hans. Pria tiga puluh lima tahun itu sangat b*******h dan memanfaatkan kesempatan yang ada. Tangannya menyusup masuk dari bawah kemeja dan meraba perut rata yang seksi.
“Mmm.” Hanna menahan tangan Hans.
“Hanna, kita menikah saja dulu.” Hans menatap Hanna penuh gairah.
“Maksudnya?” Hanna melingkarkan tangan di leher Hans.
“Menikah diam-diam.” Hans kembali mencium bibir Hanna. Dia seakan tidak puas dan ingin melakukan lebih dari itu.
“Tiga bulan lagi,” ucap Hanna dan mengecup bibir Hans.
“Ah, aku tidak tahan lagi untuk menikahi dan memiliki kamu seutuhnya. Aku tidak mau mata pria lain menatap kamu dengan lapar.” Hans menyentuh leher jenjang Hanna.
“Aku hanya mencintai kamu.” Hanna memeluk tubuh Hans.
“Aku sangat mencintai kamu, Hanna.” Hans mencium leher Hanna.
“Aku akan membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah itu memasak makan siang untuk kita berdua.” Hanna melepaskan pelukan.
“Apa yang aku lakukan selama menunggu kamu?” tanya Hans menatap Hanna.
“Menonton atau jalan-jalan di kebun belakang.” Hanna menarik tangan Hans menuju ruang tengah.
“Apa aku boleh masuk ke kamar kamu?” tanya Hans pelan.
“Apa kamu tidak akan menyerangku?” Hanna balik bertanya.
“Tidak. Aku tidak akan mengambil kesucian kamu sebelum kita menikah.” Hans tersenyum.
“Janji.” Hanna menatap Hans.
“Asalkan kamu tidak menggodaku.” Hans menyentuh bibir Hanna dengan jarinya.
“Baiklah.” Hanna tersenyum. Keduanya menautkan jari mereka dan berjalan bersama menaiki tangga menuju kamar gadis itu.
“Kamar kamu sangat kecil.” Hans memperhatikan kamar sederhana itu.
“Apa kamu menghinaku?” Hanna memicingkan matanya.
“Tidak, Sayang. Aku sudah pernah melihat di ponsel, hanya saja….” Hans tersenyum.
“Tunggulah. Aku mau mandi.” Hanna masuk ke kamar mandi dengan ukuran yang kecil di mata Hans.
“Baiklah.” Hans membuka jas dan kemeja, meletakkan di kursi kerja Hanna. Dia merebahkan tubuh di atas kasur. Pria itu memejamkan matanya dan tertelap. Dia sangat letih dengan banyak pekerjaan di kantor.
Hanna keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk putih yang melinggar dari d*da sampai paha. Tubuh indah itu terlihat dengan jelas. Dia berjalan melewati tempat tidur dan melihat Hans yang terpejam dalam lelah. Napas naik turun dengan teratur.
“Kamu pasti sangat lelah.” Hanna tersenyum melihat wajah tenang Hans.
“Tubuh kamu sangat bagus.” Hanna memperhatikan otot-otot seksi dari perut yang tel*nj*ng. Aroma harum anggur dan mawar menggelitik indera penciuman pria itu dan air dari rambut menetes tepat pada matanya yang langsung terbuka.
“Apa kamu sedang menggodaku?” Hans menarik tangan Hanna hingga jatuh di atas tubuhnya.
“Hans.” Hanna berusaha melepaskan diri. Tangannya telah berada pada tubuh Hans.
“Kenapa?” Hans menatap Hanna.
“Apa kamu mau mandi?” tanya Hanna mengalihkan pembicaraan.
“Aku mau mandi bersama.” Hans tersenyum.
“Aku sudah selesai.” Hanna menatap wajah tampan kekasihnya.
“Lepaskan aku!” Hanna mau turun dari tempat tidur.
“Kamu sangat cantik dan seksi.” Hans menahan tubuh Hanna. Dia menukar posisi membuat wanita itu yang berada di bawah.
“Hans.” Hanna menahan handuk agar tidak terlepas.
“Sayang.” Hans mencium leher Hanna memberikan tanda merah.
“Ah.” Hanna tidak mampu menolak. Ciuman Hans membuat wanita itu terbuai dalam gairah yang meningkatkan horrmon untuk meminta lebih. Setelah membuat tanda kepemilikan di leher kekasihnya. Hans memakan bibir merah dan mendapatkan balasan yang hangat serta basah. Keduanya menikmat ciuman dengan tangan yang terus menyentuh dan meraba bagian tubuh yang sensitive.
“Sayang, aku tidak akan melakukannya di sana.” Hans membuka ikatan handuk yang menutupi tubuh Hanna dan melihat gunung kembar yang berdiri tegak dan menjulang tinggi dengan ujung tampuk yang menggoda. Pria itu segera memakan dan menghis*p penutup itu dengan mulutnya dan yang satu lagi di mainkan jarinya. Hanna hanya bisa mendesah dan berteriak menikmati getaran dahsyat yang menggoncang tubuhnya.
“Hmm.” Hans memakan kedua gunung bergantian. Belum lagi tangan yang terus memeras gumpalan montok dan berisi itu. Hanna mengacak rambut kekasihnya.
“Hans, hentikan!” teriak Hanna.
“Kenapa?” Hans menatap Hanna dengan tatapan penuh gairah.
“Kita akan melakukannya setelah menikah.” Hanna menarik selimut menutupi tubuhnya.
“Sayang, aku tidak akan masuk ke sana.” Hans terus menatap Hanna.
“Aku yang tidak bisa menahnnya.” Hanna mendorong tubuh Hans.
“Baiklah. Maafkan aku.” Hans turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Dia harus menumpahkan cairan yang siap keluar itu sendiri. Hanna memakai kembali handuk dan berjalan menuju lemari pakaian. Dia melihat bekas merah di sekujur tubuhnya dari leher hingga d**a pada cermin.
“Ah, pria ini.” Hanna segera berpakaian dan turun ke dapur untuk membuatkan makan siang. Hans cukup lama berada di kamar mandi hingga urusannya selesai.
“Apa yang kamu masak?” tanya Hans memeluk Hanna dari belakang dan mencium tekuk leher kekasihnya.
“Makanan yang sederhana. Apa kamu mau memakannya,” ucap Hanna.
“Aku bisa makan apa saja. Sayang.” Hans melepaskan pelukannya dan membantu Hanna menyiapkan peralatan makan.
“Kenapa ruang makan menyatu dengan dapur?” tanya Hans heran.
“Aku tidak tahu,” jawab Hanna.
“Duduklah.” Hanna menarik tangan Hans untuk duduk.
“Wah, apa semua sayuran ini dari kebun belakang?” Hans memperhatikan menu yang telah di tata di atas meja.
“Ya begitu juga dengan ikan.” Hanna membuka celemek dan duduk di depan Hans.
“Cicipi masakanku.” Hanna tersenyum dan menyerahkan piring yang telah diisi nasi.
“Masakan kamu selalu enak, Sayang.” Hans menerima piring dari Hanna dan mengambil sayuran serta ikan gulai.
Mereka makan siang bedua hingga selesai. Membereskan dan membersikan ruang makan bersama. Bermain di kebun belakang dengan menyirami tanaman dan memberi makan ternak. Sepasang kekasih itu berkencan dengan tetap berada di rumah dan kebun. Menghabiskan waktu hingga sore hari. Ketika kakek telah kembali, Hans pamit pulang dengan dijemput Juanda.