Ada dua alasan mengapa Louis masih duduk manis menyesapi champagne di kelab. Alasan pertama, karena masih ingin bersenang-senang, mencari mangsa untuk menemaninya tidur malam ini. Alasan kedua, Louis menunggu Joe yang tak kunjung kembali sudah lebih dari 20 menit. Dompet Joe masih berada di atas meja. Kebiasan buruk aktor tampan itu ketika berkumpul bersama para sahabat dan juga kru drama atau film, jika ingin pergi ke toilet ia akan meninggalkan dompetnya di atas meja tempat mereka berkumpul.
Mata Louis berkeliling menelisik satu per satu penampilan wanita yang berjalan menggoda di depannya. Meskipun Louis sering berganti wanita untuk kencan, tetapi ia juga sangat selektif untuk memilihnya. Bentuk tubuh, ukuran d**a dan juga b****g harus seimbang di matanya. Ketika Louis ingin beranjak dari tempat duduknya untuk turun ke lantai dansa, Joe muncul.
Jika orang awam yang menilai penampilan Joe saat itu, tentu tidak merasa ada yang aneh atau janggal, tetapi Louis dengan seribu pengalaman tentu bisa dengan mudah membedakannya.
"Quickie sexx?" tebak Louis menbuat Joe gelagapan. Aktor tampan itu menegak wine di hadapannya berusaha terlihat tenang.
Louis tergelak. Pria itu merasa bangga karena tebakannya benar. "Ke mana Jeff dan kak Victor?" tanya Joe mengalihkan perhatian Louis.
"Pulang. Mereka besok akan bekerja ke luar kota," jawab Louis santai.
"Jadi, siapa partnermu malam ini? Apa kau tidak merasa berdosa mengkhianati kekasihmu?" Louis kembali membahas kelakuan Joe.
Joe berdecak. "Sial! Bagaimana kau bisa tahu aku melakukannya?" keluh Joe pasrah.
Telunjuk Louis mengarah ke salah satu kancing kemeja Joe. Seketika pria itu mengikuti arah pandangnya. "Oh, s**t! Padahal aku sudah sangat teliti." Joe merutuki kecerobohannya yang ditemukan oleh Louis.
"Kau tidak ingin memberitahuku, siapa partnermu malam ini?" Kembali Louis mengorek informasi Joe.
Joe menggoyangkan gelas wine dalam genggamannya. Terlihat bimbang untuk menjawab pertanyaan Louis. "Kau tidak mempercayaiku?" Louis menatap lekat Joe dengan ekspresi datar.
Joe menggeleng. "Dia, kekasihku." Jawaban singkat Joe sukses membelalakkan mata Louis.
"Kekasihmu ada di sini? Kau yakin itu kekasihmu?" Joe berdecak kesal.
"Tentu saja dia kekasihku. Aku tidak melakukannya dengan wanita lain. Dia di sini menghadiri pesta temannya." Louis segera mengedarkan arah pandang. "Di mana dia sekarang?"
Joe mengarahkan tatapannya ke bawah. "Pulang."
Louis memukul sofa dan mendesah. "Dia sudah di sini dan kau sama sekali tidak mengenalkannya pada kami? Kau takut kekasihmu direbut sahabatmu sendiri?" tuding Louis dengan nada meninggi.
"Tidak seperti itu. Aku percaya, kalian tidak akan melakukannya. Hanya saja, aku tidak percaya diri dan takut ada pihak jahat yang bisa mengusik kehidupan normalnya." Jie terlihat sangat jujur dengan kata-katanya.
Louis mendesah. Frustasi dengan kehidupan sahabat yang juga telah ia anggap sebagai adik sendiri. "Itu alasannya mengapa aku tidak ingin menjadi selebriti. Kehidupan kalian sangat mengerikan. Semua hal diatur dan sama sekali tidak ada kebebasan di sana." Joe mengangguk lemah.
"Aku akan mengatur tempat rahasia untuk kau pertemukan kami semua dengan kekasihmu. Aku berjanji padamu untuk melindunginya. Jika kau bersedia?" Louis menawarkan sebuah janji besar pada Joe. Joe tampak berpikir keras. "Aku akan membicarakan padanya terlebih dahulu. Jika dia setuju, aku akan memberitahumu." Joe dan Louis berjabat tangan satu sama lain.
Joe membereskan semua barang bawaannya, lalu berpamitan pada Louis. "Kak, apa kau belum mau pulang?" Louis menggeleng santai. "Aku masih ingin bersenang-senang di sini." Louis mengangkat kembali gelas champagne di tangannya ke udara.
"Kalau begitu, aku pulang duluan. Sampai bertemu lagi nanti." Joe dan Louis berpelukan sebelum mereka berpisah.
Joe memakai kembali jaket, kacamata dan juga masker serta topi melangkah di antara kerumunan manusia yang sedang astik berpesta pora. Di belakang Joe ada beberapa bodyguard yang berjalan mengiringi langkah kaki aktor tampan itu l menuju mobilnya. Joe berpamitan pada semua orang yg mengantarnya dan pulang ke rumah untuk bertemu kekasih hatinya lagi.
***
"Bolehkah aku menciummu?" Kedua bola mata Lilian mengerjap. Bulu mata lentiknya bergerak mencerna kata-kata itu. Seharusnya ia bisa saja mengatakan tidak dengan cepat, tetapi nyatanya kepalanya mengangguk tanpa ragu.
Pria itu memiringkan kepala dan menyentuh bibir Lilian dengan lembut. Lilian pikir, pria itu hanya ingin menciumnya sekali dan sekilas, tetapi ternyata pria itu melumat bibirnya dengan penuh gairah. Lidah mereka beradu, menari bersama. Tangan pria itu bergerak ke arah tengkuk belakang kepala Lilian dan menekannya, memperdalam ciuman mereka.
Bibir pria itu bergerak menyusuri sepanjang leher menuju tulang selangka Lilian membuat wanita cantik itu merintih penuh nikmat. Pria itu berjalan meninggalkan Lilian sejenak untuk membersihkan semua benda yang ada di atas meja setelah itu tubuh Lilian digendong lalu didudukkan di atas meja.
Pria itu menempatkan dirinya di antara kedua kaki Lilian yang terbuka lebar. Keduanya kembali berciuman. Panas dan menggairahkan. Cecapan demi cecapan memenuhi ruangan. Tangan pria itu bergerak di balik dress yang Lilian pakai dengan membisikan kata-kata manis penuh pemujaan atas tubuh Lilian. Pria itu menurunkan tali dress sehingga terlihat jelas salah satu bukit kembar Lilian di depan wajahnya. Tanpa aba-aba, tangan pria itu menangkup bukit kembar Lilian dan memutar puncaknya dengan ibu jari serta telunjuk.
Tubuh Lilian menggeliat dengan suara desahan yang tidak tertahankan. Pria itu menunduk, memberi jilatan di atas puncak bukit kembar Lilian secara bergantian. Lilian merasa tersiksa, sekaligus bahagia mendapatkan kenikmatan. Pria itu cukup lama bermain dengan kedua bukit kembar Lilian, menjilat, mencecap lalu mengisapnya dalam-dalam.
Pria itu bergerak menundukkan tubuh jangkungnya. Lilian kembali merintih, saat pria itu meniupkan udara ke atas perut Lilian. Napas hangatnya menyapa kulit Lilian. Telunjuk pria itu menyelinap di balik celana dalam putih berenda milik Lilian. Menggosok benda kecil di bawah sana dengan sangat pelan dan membuat Lilian menggeliat. Lilian mencengkeram bahu pria itu dengan kuat. Telunjuk pria itu bergerak maju mundur dengan tempo pelan lalu sangat cepat. Lilian melingkarkan kedua lengannya pada leher pria itu lalu menariknya. Menyatukan bibir mereka. Erangan Lilian tertahan akibat ciuman liarnya bersama pria itu.
Gelombang kenikmatan itu hampir datang, siap memecah tubuh Lilian. Peluh bercucuran di sekitar kepalanya dan juga sekujur tubuh. Gerakan telunjuk dan jari manis itu semakin cepat membuat Lilian melepaskan ciumannya beralih memilih untuk menggigit bahu pria itu dengan kuat. Lilian sampai pada klimaksnya. Pelepasan yang luar biasa menakjubkan. Tubuh Lilian bersandar pada tubuh kokoh pria itu. Lilian mencoba mengangkat kepala dan memandang wajah pria yang tersenyum miring padanya. Meskipun wajah pria itu tidak bisa terlihat jelas, tetapi yang pasti pria itu sukses membuatnya mencapai kepuasan. Telapak tangan Lilian terjulur ingin menyentuh wajah pria bertopeng itu. Akan tetapi, pria itu seketika lenyap.
Lilian berteriak, "jangan pergi!"
Kedua bola matanya terbuka lebar. Jantung berdebar menggila serta peluh membasahi dahi. Bagian bawah tubuhnya berkedut dan terasa basah.
"Oh, sial! Ternyata aku bermimpi." Lilian membekap mulut dengan sebelah telapak tangan dan menjambak rambutnya kuat, merasa frustasi.
Mimpi itu terasa sangat nyata. Sentuhan, pelukan, serta aroma parfum mewah dari tubuh pria itu seolah masih menempel di hidungnya. Lilian memukul kepalanya karena merasa bodoh. Mengacak-acak rambutnya sambil berdecak kesal.
"Astaga! Kenapa aku memimpikan p****************g itu? Aku bahkan bermimpi yang tidak-tidak bersamanya. Demi Tuhan, dia hanya menciumku sebentar, tetapi mengapa meninggalkan efek sebesar ini?" Lilian mengusap wajah.
"Ayo, Lilian, sadar! Jangan terpengaruh dengan bayang-bayang pria bertopeng sialan itu lagi. Lupakan saja rasa bibir beraroma champagne itu. Arrgh! Sial, aku bahkan mengingat detail aromanya. Lilian, otakmu pasti bermasalah!" Lilian memukul-mukul kepala dengan kepalan tangannya pelan.
Wanita itu menutupi wajah lagi dengan selimut. Menenangkan detak jantung yang menggebu dan mencoba membersihkan pikiran kotor dari kejadian semalam serta mimpinya barusan.
Setelah sepuluh menit bergelung di bawah selimut menenangkan diri. Lilian memilih untuk mengangkat tubuhnya dan duduk menyandar pada punggung ranjang. Lilian memijit dahi lalu tidak sengaja menoleh dan mendapati secarik kertas serta segelas air di atas meja yang ada di sebelah ranjangnya. Lilian membaca dengan teliti setiap kata-kata yang ada dalam kertas itu lalu tersenyum seperti orang bodoh.
"Dia manis sekali. Bagaimana mungkin aku tidak jatuh cinta padanya?" gumam Lilian sambil memeluk kertas kecil yang ditinggalkan Oscar semalam.
Lilian mengambil ponsel di dalam tas tangannya dan mengetikkan sebaris pesan ditujukan untuk Oscar.
To: Oscar
Aku akan menagih janjimu. Siapkan uangmu yang banyak. Aku akan menguras isi dompetmu.
Lilian tersenyum lebar dan mencium kertas kecil itu dengan gemas.