“Ya, nikahin Lujengnya.” “Dini,” tegur Lujeng pada sahabatnya yang saat ini berdiri di dekatnya. “Kenapa?” tanya Andini sok lugu, bergantian menatap Lujeng dan Andre dengan kedua alis yang sengaja dinaik turunkan. “Bener dong, kalau Mas Andre mau dimasakkin kamu tiap hari ya mesti nikahin kamu.” Lujeng memijat pelipisnya, begitu pun dengan Andre. “Tuh kan, gerakan kalian aja sama lho, mijit-mijit kening. Jodoh berarti kalian.” “Ya ampun, Dini!” Kali ini Lujeng sedikit menaikkan volumenya. “Dok, maaf ya, mulut Andini memang nggak ada remnya.” Lujeng tersenyum sungkan pada Andre. “Saya sih sudah biasa, Mbak Lujeng.” Andre tersenyum maklum. Laki-laki itu sudah tak heran dengan mulut sembrono sepupunya. “Ya, ya, ya. Terserah kalian deh ya.” Andini berjalan ke rak, mengambil tasnya. “J