7. Terkena Pecahan Gelas

1087 Words
Mara menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan lewat mulut di mana tangannya terkepal di depan d**a. Saat ini ia telah berdiri di depan ruangan Regan sesuai perintah. Pria itu menghubunginya dan memintanya datang. Meski sebenarnya enggan tapi, tak ada pilihan lain. Tak ingin kejadian sebelumnya terulang, Mara mengetuk pintu sebelum memasuki ruangan. Saat pintu terbuka, Mara mendapati sorot mata begitu tajam tertuju ke arahnya. Dengan langkah kaku ia melangkah dan berhenti di depan meja sang bos besar. “A- ada apa memanggilku?” Regan bangkit dari duduknya, berjalan memutari meja kerjanya dan berdiri di hadapan Mara. Diperhatikannya Mara tanpa jeda sementara Mara hanya bisa menundukkan kepala. “Mana makan siangku.” Mara segera mengangkat kepala mendengar suara Regan yang terdengar padat dan berat. “Kubilang, di mana makan siangku!” bentak Regan hingga membuat Mara terjingkat. Mara kehilangan seluruh keberaniannya. Melihat Regan saat ini seakan melihat seekor singa yang marah dan siap menerkam mangsa. “I- itu ….” Bibir Mara bergetar saat mengatakannya. Bentakan Regan kali ini lebih mengerikan daripada saat meminta bayaran ratusan juta. “Kau mau aku memakan makanan yang telah menjadi sampah?!” Mara mengkerut karena takut. Ketakutannya bukan takut dipecat karena telah melakukan kesalahan. Yang ia takutkan Regan akan menyakitinya dengan tangan, akan melakukan kekerasan. “Dalam sepuluh menit kau harus kembali membawakanku makan siang!” Brak! Gebrakan meja terdengar setelah Regan berucap lantang, membuat Mara segera mengambil langkah dengan berlari cepat pergi dari ruangan. Sementara itu Regan terlihat puas melihat Mara yang tampak ketakutan. Dengan begitu ia yakin Mara tak akan memikirkan kejadian sebelumnya. Di sisi lain, Mara bergegas mencarikan Regan makan siang, kembali ke restoran yang sebelumnya ia datangi yang jaraknya cukup dekat dengan perusahaan. “Terbuat dari apa dia? Dia benar-benar mengerikan,” ucap Mara yang saat ini telah berada di restoran menunggu pesanannya datang. Padahal jam istirahat tinggal 20 menit lagi tapi ia harus melayani Regan. Padahal, ia sudah berniat beristirahat. “Nona, silakan.” Mara menerima kresek berisi makanan pesanannya kemudian membayar menggunakan qris. “Ya tuhan … uangku terbuang sia-sia,” desah Mara dalam hati setelah membayar. Setelahnya, ia pun bergegas kembali ke kantor. Tak lama kemudian, Mara kembali ke ruangan Regan dan kembali mendapati pria itu menatap tajam ke arahnya. “Silakan,” ucap Mara seraya meletakkan makan siang Regan ke atas meja dan berniat membalikkan badan untuk segera pergi. “Siapa yang menyuruhmu pergi?” Bahkan Mara belum sempat mengambil langkah tapi, suara berat Regan lebih dulu terdengar. “Maaf, sebentar lagi jam istirahat selesai. Jadi a–” “Di sini,” potong Regan. Entah apa yang ia inginkan dan pikirkan dengan menyuruh Mara tetap di sana. Apakah untuk menyuapinya? Atau untuk melihatnya makan? “Ta- tapi, tapi ….” “Bereskan kekacauan yang kau buat.” Mara menoleh ke arah pintu mengikuti pandangan Regan di mana makan siang sebelumnya berada di lantai. “A- apa? Tapi–” Tatapan Regan begitu tajam, mengarah lurus pada netra Mara yang tampak tak terima. Ada OB, kenapa tidak menyuruh OB saja? Lagipula meski dirinya yang menjatuhkan makan siang itu tapi, ia tidak sengaja, batin Mara. “Sekarang!” Mara terjingkat dan tak dapat mengatakan tidak saat suara keras Regan menginterupsi pendengaran. Ia pun segera mengerjakan tugas, membersihkan makan siang yang telah menjadi sampah dari depan pintu. “Ah!” Mara meringis saat tanpa sengaja tangannya terkena pecahan gelas saat mengerjakan tugas. Ia tidak begitu memperhatikan meski sempat melihat ada pecahan gelas lebih besar tak jauh dari sisa makan siang Regan yang teronggok di lantai. “Ahs ….” Setetes darah menetes dari telunjuk Mara yang terluka. Dan ia hanya bisa meringis menahan perih. Tanpa Mara sadari, Regan telah berdiri di belakangnya, menatapnya dari posisi dengan pandangan tak terbaca. Baru menyadari keberadaan Regan, Mara yang berjongkok, menoleh mendongak menatap Regan yang berdiri menjulang di mana sorot matanya mengatakan, ‘apa kau puas?’. Tiba-tiba Regan menekuk lutut, setengah berlutut kemudian tangannya terulur. Melihat itu Mara tampak terkejut, ia tidak bisa menebak apa yang akan Regan lakukan sampai tiba-tiba ia hanya bisa melebarkan mata saat Regan meraih tangannya, menariknya dan mengulum telunjuknya yang terluka. Darah Mara berdesir karenanya, merasakan daging basah lunak membalut lukanya di dalam mulut Regan. Dan entah bagaimana kilatan ingatan malam itu mulai muncul dalam kepala. Bagaimana ia dan Regan begitu rakus, melakukan french kiss dengan saling membelit lidah dan bertukar saliva. Meski melakukannya di bawah pengaruh obat, tapi ia mengingat setiap sentuhan yang Regan lakukan dengan jelas. Bagaimana sentuhan-sentuhan Regan pada diri dan tubuhnya membuatnya seakan terbang. Mara menggeleng keras mengenyahkan ingatan itu dari kepala. Kesalahan besar jika dirinya terus mengingat kesalahan malam itu. Ia pun segera menarik tangannya. Akan tetapi, Regan menahannya dan tetap mengulum jari telunjuknya. Tubuh Mara gemetar, perasaan aneh mulai muncul dalam dirinya saat Regan memainkan lidahnya di dalam mulutnya, memanjakan jari telunjuknya. Kaki Mara pun terasa lemas melihat bagaimana tatapan Regan saat ini. Pria itu menatap lurus padanya dan seakan begitu menikmati kegiatan yang dilakukannya. “Apakah dia seorang vampir?” batin Mara yang mulai kehilangan kendali diri, tak kuasa lagi melihat serta menerima apa yang Regan lakukan. Bugh! Mara yang sebelumnya berjongkok, tiba-tiba menjatuhkan bokongnya. Kakinya terasa lemas hingga seakan tak mampu menopang berat tubuhnya lebih lama. Apa yang bos sialan dan galaknya itu lakukan benar-benar membuatnya nyaris kehilangan kewarasan. Mara memejamkan sebelah mata, menahan gejolak aneh saat Regan melepas jarinya dari mulutnya dengan cara sensual. “Sekarang, lanjutkan tugasmu.” Setelah mengatakan itu, Regan bangkit berdiri, menatap Mara dengan pandangan tak berarti lalu kembali ke kursi direkturnya. Sementara itu Mara masih terduduk lemas di mana pandangannya tak lepas dari Regan sedetikpun sejak Regan mengakhiri perbuatannya. “Apa ini mimpi? Beberapa menit yang lalu dia bersikap seperti singa dan tiba-tiba saja melakukan itu seperti tak terjadi apapun sebelumnya. Apa dia memiliki kepribadian ganda?” batin Mara dengan resah. “Apa yang kau tunggu?” Mara melebarkan mata sesaat, tersadar saat suara Regan memasuki indera pendengarannya. Di saat itu pula ia tersadar sesuatu yang salah terjadi pada bokongnya. Mara segera berdiri, menoleh ke belakang ke arah bokongnya dan menemukan pecahan gelas tertancap di sana. Saking terhipnotis dengan kelakuan Regan, dirinya sampai terlambat merasakan sesuatu menusuk bokongnya. Mara mencabut pecahan gelas berukuran kira-kira 2 cm tersebut, berbentuk melengkung dan runcing di ujung. Meski lukanya tak terlalu dalam karena terhalang rok yang dipakainya, tapi ia masih bisa merasakan perih. Mara menoleh kaku saat merasakan keberadaan Regan di dekatnya. Dan benar saja, pria itu telah berdiri kembali di hadapannya dan melempar seringai yang membuat Mara menelan ludah susah payah dengan tubuh gemetar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD