Mara tak berhenti menatap Orin dengan kerutan di dahi. Menusuk?
“Apa maksudmu?” tanya Mara.
Orin terlihat geram. Ia ingin mendengar jawaban Mara dengan cepat karena jam masuk kerja akan segera dimulai.
“Hih, jangan pura-pura bodoh, Mar,” ucap Orin bernada kesal.
“Tapi aku benar-benar tak tahu maksudmu. Kalau dia menusukku, aku pasti sudah mati.”
Orin mengepalkan kedua tangan di depan wajahnya. “Hih! Kau itu pura-pura bodoh atau apa? Maksudku itu–” Orin mendekatkan wajahnya ke telinga Mara dan membisikkan satu kalimat yang membuat Mara melebarkan mata. Kalimat yang menjelaskan apa maksud pertanyaannya.
“Apa? Siapa yang bilang?” sungut Mara dengan terkejut.
“Seseorang melihatmu keluar dari ruangan bos dengan cara jalan yang aneh. Kupikir kemarin kau duduk gelisah karena pantatmu terkena pecahan gelas, jadi apa benar karena ditusuk bos? His, ini benar-benar tidak benar. Bos sudah sakit jiwa!”
Mara terdiam memikirkan semuanya sampai ia menyadari satu hal dan berniat menjelaskannya pada Orin. Lebih baik Orin tahu kebenarannya, apa yang terjadi kemarin daripada menuduhnya yang tidak-tidak.
“Begini, Rin–”
“Ehm.”
Tubuh Mara meremang seketika sama halnya dengan Orin terlebih wanita itu melihat Regan yang berdiri di belakang Mara dengan aura kehitaman yang seolah menguar dari tubuhnya. Wajahnya tampak suram seperti ingin menelan Mara bulat-bulat.
“P- Pak Bos,” ucap Orin terbata. Ia harap bosnya itu tak mendengar apa yang sudah ia katakan. “Se- selamat pa- pagi, Pak,” ucapnya kembali menyapa. Tubuhnya sudah gemetar bahkan serasa ingin pipis karena ketakutan.
Tubuh Mara tampak kaku hingga menoleh ke belakang pun ia tak mampu, lebih tepatnya ia tidak ingin menoleh dan berhadapan dengan Regan. Entah kenapa perasaannya begitu tidak enak sekarang. Padahal ia sudah menyiapkan diri dari rumah jika akan dipecat tapi, saat berhadapan dengan Regan, keberanian yang ia kumpulkan menguap dan lenyap. Ia hanya takut satu hal, Regan akan melakukan kekerasan padanya, lebih parahnya, menghabisinya karena apa yang dilakukannya kemarin.
“Ke ruanganku sekarang.”
Tengkuk Mara terasa tebal mendengar suara nan berat itu. Dan semakin tebal seperti diduduki hantu saat Regan menarik kerah belakangnya dan menyeretnya seperti seekor peliharaan.
“Tu- tunggu, le- lepaskan.” Mara berusaha melepas cengkraman Regan pada kerah kemejanya tapi ia tak mampu. Ia hanya bisa mengikuti langkah Regan yang menyeretnya memasuki lift.
“Ma- Mara!” Orin hanya bisa memanggil saat Regan dan Mara telah memasuki lift. Ia ingin menyelamatkan Mara tapi, ia terlalu takut melawan Regan. Ia takut akan kehilangan pekerjaannya jika ikut campur. “Ya Tuhan … Mar … semoga kau baik-baik saja. Ck, apa yang harus kulakukan?”
Brugh!
Regan mendorong Mara menghimpitnya pada dinding lift yang mulai bergerak mengantarnya ke lantai di mana ruangannya berada. Ia membuat posisi kabedon yang membuat Mara tak sanggup melepaskan diri terlebih karena tatapannya yang begitu tajam setajam silet. Tak hanya itu, lutut Regan menyelip di antara kedua kakinya.
“Hutangmu dua ratus juta,” ucap Regan.
“A- apa? Ja- jangan mengada-ada. Aku tidak pernah berhutang pada anda.”
“Kau pikir kerugian apa yang akan kutanggung atas apa yang kau lakukan kemarin?”
Mara menoleh mengalihkan pandangan. “Ma- mana kutahu? Lagi pula anda terlihat baik-baik saja sekarang,” kilahnya membela diri.
Regan hanya diam memilih mengamati Mara. Ia dapat merasakan kaki Mara yang gemetar, ia juga melihat Mara tampak ketakutan tapi berusaha menutupi rasa takutnya. Tiba-tiba seringainya tercipta, ia berpikir ingin kembali mempermainkan Mara seperti kemarin.
Regan menjepit dagu Mara dengan ibu jari dan jari telunjuknya yang bekerja sama. Dihadapkannya Mara padanya dan mendekatkan wajahnya.
“Telanjang di hadapanku maka kuanggap lunas hutangmu.”
Mata Mara melebar terkejut dengan permintaan Regan. Apa yang pria itu katakan terdengar begitu jelas.
Perlahan Mara menundukkan kepala sementara sudut bibir Regan terlihat terangkat melihat Mara seperti putus asa. Merasa belum puas, Regan mendekatkan wajahnya di telinga Mara dan mengatakan, “Telanjang di hadapanku dan menarilah seperti b***k penuh nafsu.”
Mara kian menundukkan kepala dengan menggigit bibir kuat-kuat. Tangannya pun terkepal.
Perlahan Mara menegakkan kepala menatap Regan dengan tatapan nyalang. Ia sudah muak, sudah tak peduli lagi dengan semuanya hingga dengan berani ia memberi Regan tamparan.
Suara tamparan Mara terdengar memenuhi lift yang masih bergerak naik.
“Dasar pria m***m b******n! Siapa yang sudi melakukannya?! Mati saja sana!”
Cuih!
Mara meludah tepat di wajah Regan. Sontak hal itu memancing kemarahan pria itu. Dengan kasar diusapnya ludah Mara di pipi kemudian berniat memberinya pelajaran. Akan tetapi, niat itu terhenti saat pintu lift terbuka disertai denting sebagai tanda serta suara seorang wanita.
“Re?”
Tubuh Regan terasa kaku. Tangan yang sebelumnya terulur hendak mencekik Mara, perlahan terkulai lemas di sisi tubuhnya. Mara yang menyadari hal aneh terjadi pada Regan, segera mendorong pria itu melepaskan diri dari kukungannya. Ia pun segera keluar dari lift dengan langkah cepat melewati wanita yang berdiri di depan lift tanpa berhenti menatapnya.
Regan menelan ludah seakan mengumpulkan kekuatan untuk bergerak. Ia seakan kehilangan kendali diri bahkan melepaskan Mara begitu saja saat wanita itu mendorongnya.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Suara Regan terdengar saat ia berhasil mengendalikan dirinya, melangkah keluar dari lift dan berdiri berhadapan dengan Sera.
Wanita berambut panjang yang sebelumnya tak berhenti mengarah pandangan pada Mara, kini menatap adik iparnya dengan pandangan tak terbaca.
“Wah, ini sebuah kejutan. Apa dia kekasihmu?” tanya Sera dengan wajah cerah. Wanita itu sama sekali tak menyadari arti raut wajah Regan sekarang.
Regan hanya diam kemudian berjalan melewati Sera. Melihat itu, Sera pun berbalik dan menyamakan langkahnya.
“Tahu begini harusnya Liam ikut. Dia pasti senang melihat kabar bagus ini. Tunggu-tunggu, aku akan menghubunginya.”
Sera menghentikan langkahnya, mengambil ponsel dalam tasnya berniat menghubungi sang suami yang juga adalah kakak Regan.
Regan menghentikan langkah dan merebut ponsel Sera dari tangan.
“Tak bisakah kau berhenti berbuat semaumu?!” sentak Regan.
Sera menatap adik iparnya itu dengan mata berkedip pelan. Alih-alih marah atau takut, ia justru terkekeh dan membuat jantung Regan berdebar.
“Pft … hahaha, mau bagaimana lagi, Re, daripada kakakmu menganggapmu belok bukankah dia harus tahu kalau kau sudah sembuh? Ngomong-ngomong, siapa namanya? Apa dia bekerja di sini? Dari bagian apa?” tanya Sera bertubi-tubi. Ia merasa sangat penasaran karena ini kali pertama ia melihat dengan mata kepala sendiri Regan berinteraksi intens dengan wanita.
“Bukan urusanmu. Dan aku belum memaafkanmu atas apa yang kau lakukan kemarin. Kau pikir apa yang sudah kau lakukan?!”
Sera mengatupkan tangan di depan wajahnya dan meminta maaf.
“Maafkan aku ya. Habisnya aku tidak tahu lagi bagaimana cara membuat Liam berhenti khawatir. Dia terus saja mengkhawatirkanmu, dia benar-benar mencemaskanmu.”
Regan meremas ponsel Sera dalam genggam tangannya dengan gemeletuk gigi terdengar. Ia ingin marah tapi, melihat sikap Sera membuatnya luluh tak bisa marah padanya.
“Oh, ya, aku sengaja datang ke sini pagi-pagi untuk memberitahumu. Nanti malam kau harus pulang, ini perintah ayah dan Liam. Ayah akan menjodohkanmu dengan salah satu anak temannya. Tapi, setelah aku melihat tadi, kurasa … aku bisa membantumu.” Sera mengedipkan sebelah mata memberi Regan isyarat ia bisa membantunya lepas dari perjodohan berpikir Mara adalah kekasihnya.
“Diam dan pergilah,” kata Regan kemudian memberikan ponsel Sera dan segera berbalik meninggalkannya.
“Eh? Re! Tunggu dulu!” panggil Sera. Namun, percuma, Regan terus melangkah menuju ruangan dan meninggalkannya.
Sera masih berdiri di tempat dan gelengan ringan pun tercipta. “Hah … dasar anak itu.”
Tiba-tiba Sera teringat Mara dan membuatnya segera menghubungi suaminya.
“Sayang, aku punya kejutan. Regan sudah punya pacar.”
Di sisi lain, Regan memasuki ruangannya dan segera meluapkan emosi dengan memukul meja kerjanya menggunakan kepalan kedua tangan. Ia marah kenapa tak bisa bersikap tegas setiap kali berhadapan dengan Sera. Ia marah karena Sera memergokinya dengan Mara. Dan ia marah melihat Sera terlihat senang saat melihatnya bersama wanita lain. Memangnya, apa yang kau harapkan, Re? Tak mungkin Sera cemburu karena yang dicintainya hanya kakakmu, baginya kau hanyalah adik ipar, hanya adik kecil manja yang terus diperhatikan oleh kakakmu!
Kepalan tangan Regan kembali memukul meja. Ia merasa muak dengan dirinya sendiri, marah pada dirinya sendiri. Jika bisa ia ingin berhenti dari perasaannya, melupakan perasaannya pada Sera tapi, sampai detik ini ia belum bisa melakukannya.
Di sisi lain, Mara telah keluar dari gedung menuju mobilnya yang terparkir. Ia memutuskan pulang tak ingin lagi berurusan dengan Regan. Persetan dengan dokumen pentingnya. Ia akan melakukan cara lain agar tetap bisa bekerja. Akan tetapi, sepertinya dewi Fortuna tak berpihak padanya saat ia hendak menyalakan start mobilnya, mesin tidak menyala.
“Ssh, ada apa denganmu, Cimo. Jangan mogok di saat seperti ini. Bisa-bisa aku mati di sini,” keluh Mara memarahi mobil bututnya yang diberi nama Cimo.
Drt … drt ….
Mara nyaris berteriak saat mendengar dering ponselnya. Ia terkejut karena dalam keadaan takut. Mengambil ponselnya, ia pun berkeringat dingin menatap layar yang menunjukkan nomor Regan.
“Ssssh, bagaimana ini?” Mara tampak frustasi. Ia berniat mengabaikan panggilan itu tapi, pesan dari Regan membuatnya bergidik.
“Ke ruanganku sekarang. Jika tidak aku akan mengejarmu sampai lubang semut sekalipun.”