Waktu masih pagi saat mobil butut Mara tiba di perusahaan baru tempatnya bekerja. Ia diterima dan hari ini adalah hari pertamanya sebagai karyawan.
Mara mengarah spion tengah padanya dan bicara pada diri sendiri. “Ini hari pertamamu, kau pasti bisa,” ucapnya kemudian segera turun dari mobil.
Mara menatap gedung tinggi yang mulai hari ini menjadi tempatnya mengais rejeki. Ia harap di tempat barunya ini dirinya dapat menemukan sesuatu yang yang baru, tak lagi menemukan para pengkhianat, orang-orang jahat seperti Ranu, Viola dan Salsa. Menarik nafas panjang dan mengembuskannya dari mulut, Mara siap menjalani dunia kerja barunya. Ia pun melangkah meninggalkan area parkiran penuh semangat. Namun, saat hampir mendekati lobi, tiba-tiba langkahnya terhenti saat pandangannya menangkap sosok seorang pria baru saja turun dari mobil yang berhenti di depan lobi.
Dahi Mara berkerut saat menajamkan penglihatannya. ”Dia … kenapa rasanya aku pernah melihatnya?” gumam Mara dan berusaha mengingat-ingat sampai tiba-tiba ia menutup mulutnya dengan mata melebar sarat keterkejutan. Pria itu adalah pria yang mengambil kesempatan dalam kesempitannya, pria yang mengambil keperawanannya dalam mobil malam itu.
Wajah Mara seketika pucat, dan semakin pucat saat pria itu menoleh ke arahnya.
Pria itu menatap Mara dalam diam, cukup lama dengan pandangan tak terbaca kemudian melanjutkan langkahnya yang tertunda memasuki lobi.
“Dor!”
Mara terjingkat hingga nyaris berteriak saat seseorang mengejutkannya, menepuk bahunya dan berteriak di dekat telinga.
“Hahaha, Mara … Mara, apa yang kau lakukan di sini?” ucap wanita yang menjadi tersangka mengagetkan Mara.
Mara masih menepuk-nepuk dadanya berusaha menetralkan deru nafasnya. Hampir saja ia jantungan.
“Kau mau membuatku mati jantungan?!” sungut Mara.
Wanita itu hanya terkekeh. “Hehehe, sorry, habisnya kau kelihatan melamun. Kan gawat, nanti bisa-bisa kau kesurupan.”
Mara mendelik, itu sama sekali tidak lucu.
Melihat tatapan Mara, akhirnya wanita bernama Orin itu meminta maaf.
“Hehehe, iya-iya, sorry. Jangan menatapku seakan kau mau memakanku begitu.”
Mara menatap Orin dengan pandangan tak terbaca dan pada akhirnya mengembuskan nafas panjang nan lelah. Orin adalah teman barunya. Setelah interview kemarin, ia dibawa ke lantai yang akan menjadi tempatnya bekerja dan tempat duduknya bersebelahan dengan Orin. Orin pun mengajaknya berkenalan bahkan memaksa meminta nomornya. Orin merupakan orang yang supel, mudah berteman dengan siapa saja. Ia banyak dan pandai bicara membuat Mara yang berniat membatasi pertemanan, dengan terpaksa meladeninya. Tapi, ia tak akan menjadikan Orin sahabat dekatnya merasa trauma dengan Viola dan Salsa.
“Oh, ya. Apa kau lihat orang yang baru masuk tadi? Dia siapa?”
Orin tampak berpikir sejenak. “Yang mana? Maksudmu pak bos?”
Kerutan di dahi Mara kembali tercipta. “Pak bos?” tanyanya.
“Ish, jangan bilang kau tidak tahu. Yah, tapi wajar sih, kau kan anak baru. Ya sudah, kuberitahu, tadi itu pak bos, pemilik perusahaan ini. Dia tampan, tapi kuperingatkan, jangan jatuh cinta padanya. Dia itu belok.”
Mara nyaris menganga mendengar kalimat terakhir. “Belok?”
Orin mengangguk cepat dan segera meletakkan jari telunjuk di depan mulutnya.
“Ssst, jangan keras-keras. Kalau gosip ini menyebar, bisa tamat riwayat kita. Kalau riwayatmu sendiri sih aku tak peduli, kau kan anak baru.”
“Kau yakin?” tanya Mara penuh selidik mengabaikan kalimat sarkas Orin di akhir kalimatnya. Rasanya ia tak percaya. Kalau benar pria itu belok, tak mungkin mereka bisa melakukannya, bukan?
“Ck, tentu saja. Gosip itu sudah lama menyebar bahkan sebelum aku bekerja di sini. Orang-orang bilang pak bos tidak tertarik pada wanita,” bisik Orin seakan yang dibicarakannya sangatlah rahasia dan tidak boleh diketahui orang lain apalagi didengar oleh pria itu sendiri.
“Dari mana mereka tahu?” tanya Mara. Ia masih penasaran mengenai pria tersebut.
Orin memutar bola mata malas. “Temannya teman pak bos adalah temanku. Dia bilang pak bos pernah disewakan wanita bayaran. Wanita itu bahkan sudah telanjang tapi, pak bos justru mengusirnya. Menurutmu, untuk apa temannya pak bos sampai melakukan itu kalau bukan karena pak bos itu belok? Temannya pak bos pasti mau menyembuhkannya, tapi sia-sia.”
Mara hanya diam mencerna penjelasan Orin. Jika yang Orin katakan benar, kenapa pria itu bisa melakukannya dengannya malam itu?
“Haish, sudah-sudah, berhenti memikirkan pak bos. Aku tahu kau juga pasti sayang kan, pria setampan itu harus jadi kaum belok. Harusnya pak bos itu dapat wanita yang sempurna. Haish, amit-amit, semoga anak keturunanku jangan sampai jadi sepertinya.” Orin berdecak seraya menggelengkan kepala seakan begitu resah dengan kelakuan bosnya. Padahal, semua yang dikatakannya belum tentu benar.
“Ngomong-ngomong, siapa namanya?” tanya Mara sambil melangkah mengikuti Orin yang berjalan lebih dulu.
“Ck, ck, ck, kau masih bertanya? Kau nanti juga akan tahu. Tapi, karena aku baik hati, jadi aku memberitahumu langsung sekarang. Pak bos kita itu namanya, Regan Anjaswara.”
Di lain sisi, pria yang namanya baru saja disebut itu berjalan memasuki ruangan yang berada di lantai paling atas gedung perusahaannya. Ia merupakan pria berusia 28 tahun dengan segala kesempurnaannya. Tampan dan mapan dan merupakan anak bungsu dari keluarga Anjaswara, salah satu keluarga terpandang di kota.
Regan berjalan menuju meja kerjanya, membuka laci dan mendapati beberapa lembar uang di dalamnya. Uang yang merupakan uang pemberian Mara di hari itu, uang yang sengaja Mara tinggalkan seakan dirinya adalah lelaki penghibur.
Seringai bengis tercipta di bibir Regan saat mengambil ponselnya dari saku celana dan menghubungi seseorang.
***
Mara baru saja keluar dari toilet saat tiba-tiba ia dikejutkan dengan keberadaan seorang pria di hadapannya. Dan siapa lagi jika bukan Regan. Terlalu terkejut, Mara sampai tak bisa menghindar saat pria itu mendorongnya kembali ke dalam toilet.
Buk!
Mara terduduk di kloset duduk saat Regan mendorongnya. Ia mendesis dan mendongak menatap Regan yang menatapnya tanpa mengatakan sepatah kata. Mara tak tahu bagaimana menghadapi situasi seperti ini. Apakah ia pura-pura tidak tahu saja?
“A- apa yang anda lakukan? Ini toilet wanita, bagaimana bisa anda di sini?” ucap Mara. Ia berusaha bicara dan menunjukkan wajah berani.
Tap!
Tangan Regan menekan dinding di belakang Mara, ia menunduk membuat wajahnya dan Mara cukup dekat.
Mara sempat terpaku sesaat melihat dengan jelas ketampanan pria di depannya. Namun, ia segera mengenyahkan pikiran itu.
“Terlalu sedikit.”
Mara terkejut. Ia tidak tahu maksud ucapan pria di hadapannya itu.
“Kau kira beberapa lembar uang itu cukup untuk membayarku?”
Deg!
Tubuh Mara menegang. Ia tahu ke mana arah pembicaraan Regan sekarang.
“A- apa maksud anda? A- aku … aku sama sekali tidak mengerti,” ucap Mara masih berpura-pura. Ia kira Regan akan melupakannya.
“Jangan berpura-pura. Sekarang, berikan sisanya. Sembilan puluh sembilan juta lima ratus ribu.”
Mara membelalakkan mata. Apa ia tak salah dengar?
Regan menyeringai di balik senyum tipisnya saat melihat wajah Mara amat pucat menatapnya. Salahkan pada Mara sendiri yang sudah menganggapnya sebagai lelaki penghibur dengan memberinya uang recehan.
Bibir Mara tampak bergetar saat ia bicara. “A- apa? Anda sudah kaya, bukankah anda terlalu serakah? Lagipula anda yang diuntungkan karena itu adalah pengalaman pertamaku!”
Regan seketika memasang wajah dingin. “Kau kira aku peduli? Kau yang membuatku memasang tarif.”
Regan menegakkan punggung, berdiri tegak dan bersedekap d**a tanpa melepas pandangan dari Mara. “Kuanggap kekurangan itu adalah hutang. Jadi jangan berpikir kabur sebelum kau melunasinya.”
Setelah mengatakan itu, Regan berbalik dan melangkah keluar dari bilik toilet tanpa menutup pintu. Ia ingin memberi Mara pelajaran karena sudah menganggapnya seperti gigolo.
Bugh!
“Akh!”
Regan meringis dan memegangi kepala belakangnya saat merasakan sebuah benda menghantam. Dan benar saja, benda itu adalah sepatu Mara yang kini teronggok di lantai di dekat kakinya.