Suara jeritan melengking terdengar dari balik bilik di klinik. Mara menjerit saat merasakan bokongnya dipukul dengan keras. Ia yang sebelumnya tengkurap, reflek membalikkan tubuhnya melihat tersangka yang sudah melakukan kekerasan padanya.
“Kau pikir apa yang kau lakukan?!” teriak Mara yang tak dapat membendung emosinya. Ia marah, tentu saja, mengesampingkan keadaannya yang setengah telanjang di hadapan Regan. Mungkin ia lupa dan belum sepenuhnya mengumpulkan kesadaran setelah terbangun dari tidur dengan cara tak biasa. Ia tertidur karena menunggu terlalu lama.
“Kukira kau mati,” ucap Regan tanpa ekspresi berarti.
Mara meringis mengusap bokongnya yang terasa perih dan panas sampai dirinya baru menyadari bahwa saat ini hanya memakai hotpants.
Mara segera menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, membungkus tubuhnya seperti roti selimut.
“Apa yang anda lakukan di sini?”
“Menurutmu, apa yang orang lakukan di klinik,” jawab Regan sarkas. Sontak jawaban itu membuat Mara mengumpulkan kembali kekesalannya.
“Sebaiknya anda segera pergi. Anda harus bersyukur aku tidak akan mengatakan pelecehan yang sudah anda lakukan padaku tadi. Jadi jangan sampai aku berubah pikiran.”
Regan menatap Mara dengan tatapan menghina, seakan ancaman Mara sama sekali tak membuatnya takut. Ia yang sebelumnya berdiri di dekat sudut ranjang, mengambil langkah dan berdiri di sisi ranjang. Melihat itu, Mara pun menyeret bokongnya mundur untuk mengambil jarak.
“Kalau begitu, aku juga bisa melaporkanmu. Apa kau ingat malam itu? Kau yang memasuki mobilku, duduk di pangkuanku dan memaksaku melakukannya.”
Wajah Mara tampak pucat. Mulutnya terbuka tertutup ingin menjawab tapi ia tak mampu melakukannya. Ia tak bisa mengelak bahwa yang Regan katakan benar.
“Ta- tapi kau mau-mau saja. Kau juga menikmatinya!”
“Aku akan bilang pada polisi karena kau mengancamku. Kau mengancam akan berteriak dan memfitnahku jika aku tak melayani nafsumu.”
“A- a- apa?”
Seketika Mara menjadi gagap, telinganya memerah dan menjalari wajah. Kalimat terakhir yang Regan katakan seakan menelanjanginya.
Regan tak tahu kenapa dirinya merasa sangat senang melihat ekspresi wanita di hadapannya itu. Ia yang sebelumnya merasa sakit kepala hingga ke klinik untuk meminta obat, seketika sembuh hanya dengan mempermainkan Mara.
Duagh!
Secara tiba-tiba Mara menendang s**********n Regan. Ia tak dapat berpikir jernih seakan ada ribuan lebah terbang zig-zag dan tak tentu arah dalam kepalanya saat kalimat terakhir Regan terngiang-ngiang dalam kepala. Rasa malu dan marah menjadi satu membuat kakinya seolah bergerak sendiri memberi Regan pelajaran.
“Rasakan itu pria sinting!” ucap Mara kemudian segera turun dari ranjang dan memakai roknya lalu bergegas pergi.
Regan merosot perlahan memegangi asetnya yang seakan remuk. Ia mengerang kesakitan seraya mengumpat mengucap sumpah serapah untuk Mara.
“Sialan! Awas kau wanita gila,” geram Regan dengan tangan meremas kuat pinggiran ranjang melampiaskan rasa sakit yang teramat di bawah sana.
Sementara itu Mara berlari keluar klinik dan segera menuju mobilnya di tempat parkir. Ia sudah seperti dikejar hantu di sore yang sedikit mendung.
“Persetan jika dia memecatku,” ucap Mara dalam hati. Sama seperti Regan, ia juga mengucap sumpah serapah untuknya.
Kembali ke tempat Regan, dokter Sofia baru saja kembali. Ia mendapat telepon darurat yang mengharuskannya pergi. Seorang karyawan mengalami pendarahan hingga ia melupakan Mara.
“Maaf, aku baru saja–”
Suara dokter Sofia terhenti saat ia menyibak tirai bilik dan tak menemukan pasiennya lagi. Yang ia temukan justru Regan yang berjongkok di lantai di sisi ranjang dengan kedua tangan meremas tepi ranjang.
Regan masih mengumpulkan kekuatan menahan rasa ngilu di bawah sana. Dan saat suara dokter Sofia kembali terdengar, ia segera mengangkat satu tangan sebagai isyarat agar wanita itu diam meski belum menyelesaikan ucapan.
Regan bangkit berdiri dan merapikan jasnya, bersikap seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya. Tanpa mengucap kata, ia pun menyibak tirai dan berniat pergi dari sana.
“Um, maaf. Apa … apa anda melihat pasien wanita di sini? Tadi aku meninggalkannya karena mendapat telepon darurat,” tanya wanita bermata sayu itu.
Regan menghentikan langkah sejenak kemudian setengah menoleh. Entah apa yang ia pikirkan tapi, tanpa menjawab ia kembali menghadap ke depan dan melanjutkan langkahnya.
Wanita yang bertugas menjaga klinik itu sejak perusahaan didirikan, hanya bisa menatap kepergian Regan dalam diam. Ia tidak berani kembali bertanya mengingat seperti apa sikap Regan.
***
Regan menjatuhkan bokongnya ke sofa dengan sedikit kasar. Melonggarkan dasi, ingatan apa yang Mara lakukan sebelumnya kembali berputar dalam kepala. Setelah merasa lebih baik akibat tendangan maut Mara, ia segera meninggalkan klinik dan pulang.
“Dasar wanita sialan,” gumam Regan. Wajahnya tampak kusut seperti singa tak makan seharian.
Regan merogoh saku celana mengambil ponselnya saat merasakan getar tanda pesan. Menggeser layar, dibukanya pesan dari seseorang.
[Ada waktu? Besok pulang lah.]
Raut wajah Regan menjadi tak terbaca setelah membaca pesan tersebut. Pesan itu dari ayahnya dan Regan menebak, pasti ada sesuatu hal penting yang ingin ayahnya itu bicarakan. Dan rasanya, ia bisa menebak hal penting apakah itu.
Ibu Jari Regan terlihat menari pada layar mengetikkan pesan balasan.
‘Aku ada urusan,’ tulis Regan.
Tak perlu waktu lama, Regan mendapat balasan dari nomor yang sama. Namun, kali ini balasannya adalah panggilan langsung, bukan lagi pesan.
Regan menatap ponselnya selama beberapa saat seakan merasa enggan mengangkat panggilan dari ayahnya. Namun, pada akhirnya ia mengangkat panggilan.
“Ada apa,” ucap Regan saat ponsel telah menempel di telinga.
“Ada sesuatu yang harus dibicarakan,” jawab pemilik suara di seberang sana.
“Katakan saja sekarang.”
Terdengar helaan nafas panjang dari seberang sana diikuti suara berat yang kembali terucap.
“Ini penting, menyangkut masa depanmu. Ayah tunggu jam delapan malam.”
Belum sempat Regan menjawab, panggilan telah terputus.
Regan menatap ponsel yang diremasnya setelah menurunkan dari telinga. Dugaannya benar, pasti ayahnya ingin membicarakan mengenai perjodohan dan entah itu dengan siapa. Ia pun merasa muak hingga membanting ponselnya ke sofa.
Di sisi lain, Mara menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuknya dengan posisi tengkurap. Wajahnya terbenam pada bantal dan terangkat saat ia mulai membutuhkan oksigen untuk bernafas. Ia kemudian membalikkan tubuhnya membuatnya berbaring menatap langit-langit kamar.
Saat ini Mara telah berada di rumah kontrakannya. Ia sengaja mengontrak rumah sebab merasa lebih nyaman daripada kos-kosan.
Ringisan samar terdengar lolos dari mulut Mara diikuti tangannya yang mengusap bokongnya.
“Orang itu benar-benar tak waras,” umpat Mara teringat kesialan yang menimpanya hari ini.
Sembari menahan perih, Mara bangun dan bangkit berdiri lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Hampir 15 menit kemudian, Mara keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk. Berjalan menuju lemari di sisi ruangan, ia tak segera mengambil pakaian melainkan melepas handuknya kemudian membalikkan tubuhnya di depan cermin lemari guna menengok bokongnya untuk melihat lukanya.
“Sssh, sial. Bagaimana aku mengobatinya?” desis Mara sambil berusaha melihat jejak luka tadi siang.
“Mau kubantu?”
Deg!
Mata Mara melebar saat sebuah suara menginterupsi pendengaran. Tubuhnya terasa kaku seperti mendengar suara hantu. Mengumpulkan keberanian, ia menoleh perlahan ke sumber suara dan mendapati seseorang berdiri di ambang pintu kamar.