"Adik lu tuh si Edel ya? Masih ngabolang dia? Kerjaan pastinya Edel apa sih? I mean for living gitu. Bokap lu gak marah-marah Edel gak punya kerjaan tetap?"
"Edel? Mmm... kerjaan dia ngabisin duit bokap gue laah xixi. Kata dia, tugas Kak Mawar cari duit, tugas Edel ngabisin duit. Asem banget kan? Untunglah gue sayang banget ama dia."
"For her living cost? Ayolah masa sama sekali gak kerja tapi punya gadget yang mahal-mahal gitu, mobil rubicon yang harganya kan selangit buat gue."
"Gue gak tahu sih, tapi kata Edel dia sering ikut lomba foto ini itu. Hadiahnya gede loh. In USD pulak! Gak tahu tuh anak kapan mau menetap. Pergi melulu. Tapi kayanya sih dia lebih concern ke kegiatan sosial. Kemarin itu, habis kejadian itu, dia bikin yayasan sama teman-temannya. Nyokap gue donatur utama pastinya."
"Eeh... kita ngobrol sambil maksi yuk. Laper gue. Si bos juga masih ke mana gak jelas kan?" Ajak temannya.
"Resto sebelah aja ya. Males keluar gue. Banyak banget pikiran. Ilyas, bokap, Edel." Jawab Mawar segera mengambil pouch kosmetiknya dan touch up seadanya. Dia yakin dengan kecantikannya, tanpa dandan berlebih pun dia sudah sangat menarik.
"Nah panjang umur nih, baru juga diomongin udah kerasa aja nih anak, tumben nelpon. Pasti ada maunya deh." Mawar melihat layar ponselnya yang baru saja bergetar. Tertera nama adiknya.
"Hal...."
".........."
"Ya ampuuun Edel! Kakak belum selesai bilang halo kamu udah nyerocos aja. Apa lagi sih? Eeh tumben sinyal bagus nih gak putus-putus. Lagi di mana?" Mawar malah salah fokus karena biasanya kalau menelpon Edel suara sering terputus, tidak jelas karena berada di antah berantah.
"..........."
"Ya udah sih, kamu pulang dulu sebentar. Tiga harian gitu cukuplah. Habis itu kan bisa pergi lagi. Kasian mama, sering nangis kalau khawatir sama kamu. Kamu-nya iya seneng keluar masuk hutan, yang di rumah sempet kamu pikirin gak perasaannya? Papa ama mama sering bersitegang gegara kamu."
"........"
"Iya.... nanti kakak bantu bilang ke papa. Kita berdua kan emang gak ada yang mau, Edel. Gak mau kerja di perusahaan papa. Tapi ya gimana lagi? Ketiga anak papa kan perempuan, ya kita ini!"
" ... "
"Iyaa nanti kakak bantu bilang ke papa. Asal kamu janji mau pulang ya."
~~~
Tiga minggu berlalu. Mawar yang tenggelam dalam kesibukannya bahkan sampai lupa sejenak akan Ilyas. Hidupnya tiga minggu ini hanya berkutat rumah ke hotel tempatnya mengais rupiah. Pergi pagi, pulang malam. Jarang sekali bertemu papa mama dan adik kecilnya.
Kesibukan pekerjaan yang sangat luar biasa, apalagi sebagai PR & Marcomm Manager, membuatnya praktis tidak punya waktu untuk bersenang-senang. Me time. Padahal mah me time-nya sangat praktis. Berendam di bath up hingga kadang tertidur.
Sementara itu di rumah Ilyas, sang bunda malah kangen akan Mawar, menanyakan ketidakhadiran Mawar pada putra tercinta.
"Mas..., sudah tiga minggu-an nih Mawar gak ke rumah. Kenapa ya? Gak ada kabar ya? Kangen bunda." Tanya Rania tiba-tiba.
"Kenapa nanya ke Mas sih bun? Mas kan bukan pengasuhnya. Lagipula kenapa bunda malah nanya Mawar? Bukan Alya?"
"Laah Alya kan baru ketemu kemarin di toko buku. Kalau Mawar kan memang sudah lama gak ketemu. Kirain Mas tahu kabarnya Mawar gitu."
Ilyas melirik ponselnya. Biasanya memang Mawar mengirim pesan w******p receh ke nomor ponselnya. Tapi sudah dua minggu ini, ponselnya tenang, aman, damai. Tidak ada pesan receh dari gadis itu. Seketika dia menyadari bahwa dia merasa kehilangan. Kehilangan apa coba? Mawar? Dia menggeleng, tentu saja menolak pemikiran aneh itu.
"Bun, besok Mas sama Yasa mau ada acara di Hotel Le Rose Blanche ya. Sekalian ketemu Fandi. Dia kan jadi salah satu narsum."
"Event apaan sih? Yasa sampai sibuk gak jelas gitu."
"Kayanya sih bikin SOP penanganan bencana gitu deh bun, yang mengadakan LSM. Jelasnya Mas gak tahu. Ini gegara Yasa aja nih nyuruh Mas ngikut. Mayan katanya proyek akherat."
"Kalian wisuda kapan sih? Perasaan yudisium udah lama kan?"
"Insya Allah bentar lagi bun... "
"Pantesan sekarang lagi bingung mau ngapain ya. Jadi Mas langsung ambil master?"
"Insya Allah, bunda doain ya. Uangnya jug sudah Mas siapin kok. Alhamdulilah bisa nabung dari hasil bengkel sama sebagian dari uang ayah."
"Kamu gak mau cari beasiswa Mas?"
"Sementara enggak bun. Bunda tahu kan Mas gak mau terikat sama salah satu instansi. Ntar kaya Om Syahrur, ambil doctoral di Hiroshima sono dan salah satu syaratnya bunda tahu kan? Tinggal di sana sepuluh tahun. Kasian si tante."
"Ya wis, terserah Mas Ilyas saja. Kalau butuh tambahan, bilang bunda ya Mas. Gimanapun juga pendidikan Mas dan Yasa, tetaplah tanggung jawab bunda dan papa. Jangan memendam semua sendiri. Gak mau merepotkan orang lain itu bagus, tapi sebagai manusia, kita tetap butuh bantuan dari orang lain. Apalagi dari orang tua. Ingat itu Mas!" Rania tahu sifat Ilyas yang tidak pernah mau merepotkannya, sedari dulu. Apalagi Ilyas sekarang sudah punya penghasilan sendiri. Semakin mandiri saja, hingga kadang Rania rindu masa-masa Ilyas berkeluh kesah padanya, bermanja padanya.
"Iya bunda. Bunda tenang aja, Mas kan gak kemana-mana kalau butuh bantuan, pasti ke bunda dan papa."
Lusa, tampak Ilyas dan Yasa menjadi peserta sebuah seminar di sebuah hotel berbintang tujuh. Hotel yang sangat mewah, hingga kategori bintang lima juga lewat! Hotel La Rose Blanche, tempat Mawar mencari tambahan sebongkah berlian.
Istirahat makan siang, Ilyas yang merasa bosan berusaha mencari udara segar. Dia menuju parkiran mobil dan berusaha menelpon Alya, gadisnya. Tapi langkahnya terhenti saat melihat siluet bayangan seorang gadis sedang berjongkok dan seperti asyik bicara sendiri. Perlahan Ilyas mendekati tapi tetap berusaha menjaga jarak aman agar tidak ketahuan oleh siapa pun itu.
Ternyata gadis itu adalah Mawar, yang sedang asyik mengelus anak-anak kucing kecil lucu, dengan suara mengeongnya. Kucing-kucing kecil itu tampak senang dengan kehadiran Mawar. Ternyata Mawar memberi makanan dan s**u pada anak-anak kucing kecil itu.
"Euum... kasian kamu sayang. Masih kecil gini udah ditinggal aja sama mama ya? Kamu mau Aunty Mawar jadi ibu angkat? Kalau sampai besok mama kalian belum datang, Aunty bawa ke shelter ya." Mawar berkata seorang diri, tidak mempedulikan sekitar. Rok pinsilnya yang ketat, membuat paha putih mulusnya menjadi terekspos. Ilyas segera berucap istighfar dan membuang pandangan ke arah lain, tidak mau fokus lagi ke arah situ.
Sesaat kemudian, Ilyas melihat Mawar menuang s**u untuk kedua anak kucing itu. Ilyas berjalan menjauh. Cukup sudah pemandangan tadi, apa pun yang dia lihat tadi, sedikit mengubah pandangan negatifnya pada Mawar. Ilyas kira Mawar hanyalah anak orang kaya pada umumnya yang hanya suka hura-hura saja, acuh pada sekitar. Tapi apa yang dia lihat tadi membuktikan bahwa anggapannya salah. Ada rasa hangat mendadak menyusup masuk ke hatinya. Ilyas menggeleng, mencoba menolak rasa itu. Baginya sekarang, hanya ada Alya. Yaa, Alya seorang. Bukan perempuan lain! Bukan pula gadis super cantik yang ada di depannya ini. Hatinya sudah mantap hanya pada Alya seorang.