Ilyas 2

1929 Words
Ilyas sedang menunggu Yasa, adik kembarnya, di taman kampus. Ini hari Jum'at dan besok tak ada kegiatan di kampus, jadi mereka bisa pulang ke Jakarta. Setiap akhir pekan, mereka akan pulang, bertemu bunda dan keluarga tercinta. Ilyas juga harus memonitor bengkel, biasanya kalau dia di Bandung, papa dan bundanya yang akan memantau kondisi bengkel walau tidak full. Apalagi sekarang akses Jakarta - Bandung semakin mudah dengan adanya kereta api. Dan Sabtu besok, Iyah ikut lomba kempo di sekolahnya. Iyah sudah mengingatkan mereka untuk hadir dari jauh hari, katanya sih untuk jadi supporter. Walaupun Ilyas tahu maksud tersembunyi Iyah, tentu saja untuk memamerkan kedua kakak kembarnya yang super cakep ini. Sebenarnya dia merasa tak nyaman duduk sendirian begini. Dikaruniai wajah tampan, postur tubuh bagus, dan kulit putih, malah kadang membuatnya risih sendiri jika ada gadis-gadis yang melihatnya tak berkedip. Yasa mana sih? Lama banget! Udah tahu aku paling suka kalau menunggu sendirian begini. Diambilnya ponsel dan segera ditelponnya adik kembarnya itu. "Sa... masih lama? Cepetan dong, Sa...!" Didengarnya suara tawa kecil di seberang sana, membuatnya tambah meradang. "Kenapa sih? Udah digangguin sama cewek-cewek ya? Sesekali dinikmati sih mas, disyukuri gitu loh, punya fisik sempurna seperti kita ini." "Disyukuri mah pasti! Tapi aku gak mau jadi kaya pajangan dilihat-lihat gitu. Udah buruan, 10 menit lagi kamu gak sampai sini, aku duluan ke stasiun." Segera diakhirinya panggilan itu. Merasa semakin kesal karena suara tawa yang tak henti di seberang sana. Salahnya dia juga, hari ini dia lupa membeli koran. Biasanya kalau sedang menunggu seperti ini, dia akan membeli koran dan membacanya dengan serius, koran itu menutupi wajahnya, sebenarnya lebih agar wajahnya tak terlihat gadis-gadis. Jadi dia hanya bisa menunduk sambil memainkan ponsel pintarnya. Sesekali melihat ke jam tangannya. Dia mendengar suara bisik-bisik gadis yang melihat ke arahnya sambil berjalan. Beberapa bahkan sambil cekikikan. Dan jika ia melihat ke arah gadis-gadis itu, bahkan cuma beberapa detik saja, tapi efeknya sungguh luar biasa. Mereka menjerit tertahan! Mungkin kaget melihat wajahnya. Dan sialnya, ada dua orang gadis yang nekat menghampirinya, dan duduk di bangku sebelahnya. "Boleh saya duduk di sini?" Tanya salah seorang dari gadis yang berani itu. "Silakan!" Jawabnya pendek. Dalam hati dia semakin misuh pada Yasa yang tak kunjung datang. Ilyas segera menggeser duduknya, mencoba menjauh dari gadis centil, yang nekat mendekatinya. Dia paling tidak suka dengan tipe gadis seperti ini. "Sendirian kak?" Tanya salah satu dari mereka. Ilyas diam, ragu antara mau menjawab atau tidak. Nih cewek punya mata apa enggak ya? Udah tahu sendirian, masih aja ditanyain. Terpaksa Ilyas hanya mengangguk. Wajahnya langsung berubah tegang. Dia semakin kesal ke Yasa. "Boleh kenalan? Saya Tiska. Fakultas Teknik Industri." Gadis centil cantik itu mengasurkan tangan kanannya mengajak bersalaman. Menarik nafas, Ilyas menjawab, "Ilyas." Ilyas hanya mengatupkan kedua tangannya di depan d**a, tak mau berjabat tangan dengan gadis centil itu. Hingga gadis itu merasa salah tingkah, dan segera menarik lagi tangannya. Kadung malu deh. "Nunggu siapa, Kak?" "Adik." Ilyas senewen dengan gadis ini. Sekejap dia langsung mengambil ponselnya dan mendial nama seseorang setelah melirik jam tangannya. Sudah siang, dia sudah di rumah pastinya. "Hallo... Assalamualaikum, Sayang, nanti Mas pulang ke Jakarta. Jemput Mas di Gambir ya." "Sayang??" Ilyas dapat mendengar suara bernada keheranan dari seberang sana yang dua detik kemudian terdengar suara kekehan tawa. "Ya sayang, nanti kalau sudah sampai Gambir, Mas kabari lagi ya. I love you..." Ilyas segera menghentikan panggilan di ponselnya sebelum tawa Iyah di seberang sana semakin keras hingga terdengar ke gadis centil yang nekat duduk di sebelahnya sekarang. Duuuh Iyaaah... kenapa gak bisa diajak kerja sama sih? Sementara si gadis centil itu hanya bisa cemberut, mendengar pembicaraan antara cowok super ganteng di sebelahnya dengan seorang gadis pastinya, yang mungkin adalah pacarnya? Aah dia sudah kalah duluan. Tiska, gadis centil itu melirik ke Ilyas, yang kemudian tampak acuh dengan ponselnya. Tiska tak tahu saja betapa Ilyas setengah hidup grogi, misuh pada Yasa yang entah kenapa terasa lama sekali dan sekarang kesal pada Iyah, adik kecilnya yang sudah abg, yang tak bisa diajak kerjasama. Hingga akhirnya Tiska memutuskan untuk pergi dari situ, bersama temannya, meninggalkan cowok ganteng itu kembali ke zona nyamannya, seorang diri. Ilyas menoleh ke arah belakang, saat mendengar suara kekehan yang dia kenal. "Hahaha... kamu lucu banget Mas, sumveeh deh. Barusan Iyah nelpon aku, bilang kalau Mas Ilyas under attack. Langsung aku lari ke sini demi melihat gadis mana lagi yang nekat nyerang cowok sedingin kulkas ini." "Gara-gara kamu tahu!" "Lah kan biasanya juga nunggu di masjid, kenapa juga nunggu di sini sih?" Yasa tak mau disalahkan. Aah iya, kenapa tadi aku gak menunggu di masjid ya? Yasa masih tertawa kecil jikat ingat kejadian tadi tapi dia langsung mengaduh saat tangan Ilyas mengeplak bahunya, tak sakit sih sebenarnya, alay saja dia. Sebenarnya dia sudah dekat saat Ilyas menelpon seseorang yang dipanggil sayang- yang dia yakin itu Iyah -. Mana mungkin kakak kembarnya yang dingin gini memanggil sayang dengan nada mesra ke gadis selain Iyah? "Buru, Sa! Telat gawat, tahu sendiri kan kalau weekend gini ramai banget. Eeh udah pesan taksi online?" "Gak usah pusing, aku minta tolong temen yang kebetulan mau ke arah dekat stasiun. Dia mau nganterin kita kok." Ilyas melihat ke arah Yasa dengan curiga. "Kok aku jadi curiga, Sa?" "Ya Allah...bawaannya mah curigaan mulu sih, Mas! Tuh temenku udah bawa mobilnya kok." Yasa menunjuk ke suatu arah, terlihat sebuah city car warna silver sedang menanti. Dan benar saja kecurigaan Ilyas terbukti, karena ternyata sudah ada dua orang cewek cantik yang menunggu. Satu duduk manis di belakang kemudi, satu lagi duduk di bangku penumpang di belakangnya. Yasa sengaja duduk di depan setelah memastikan bahwa Ilyas sudah duduk di deretan bangku kedua mobil 7 seaters itu. "Nah... kenalin, ini abang kembar gua. See gua gak boong kan? Dah buru berangkat yuk!" Setelah sesi berkenalan singkat dan melihat bahwa Yasa masih duduk manis di bangku penumpang sebelah supir, membuat Ilyas keki. Dia paling tak suka kalau ada perempuan yang menyetir sementara ada lelaki diam saja. "Eeh mbak, biar saya saja yang nyetir mobilnya ya, Yasa memang ya, kebangetan!" Gerutu Ilyas membuat cewek tadi tersenyum senang, segera menepikan mobilnya dan bertukar posisi dengan Ilyas. "Terima kasih ya, Mas!" ~~~ Sesampainya di bengkel, Ilyas segera berkumpul dengan karyawannya. Sekedar memberi oleh-oleh. Dan chit chat segala sesuatu tentang bengkel selama dia kuliah. "Mas Ilyas, kemarin itu yang cewek cuantiikk banget itu datang lagi loh. Udah beberapa kali datang nyari Mas Ilyas. Lah padahal udah dibilang kalau pas hari biasa mah Mas Ilyas masih kuliah di Bandung, eeh dianya gak percaya. Bolak balik datang. Tapi gak papa sih, mayan deh ada yang bening-bening bisa dilihat gitu." "Siapa sih Bang?" Ilyas sedikit kepo, berharap yang mencarinya adalah si gadis berhijab. "Yang bawa mobil X6 putih itu loh Mas!" Ilyas mengerutkan keningnya, tampak berpikir. Hanya ada satu dua pelanggan yang punya mobil mewah itu. Tapi semua laki-laki, bapak-bapak lebih tepatnya. Pun mereka kalau datang ke sini hanya sekedar mengobrol dengannya - salah satunya malahan terus terang memintanya sebagai mantu - tidak servis, karena Ilyas selalu menyarankan mereka untuk langsung servis ke bengkel resmi. Bukan menolak rezeki, tapi dia percaya kalau dia memberi sesuatu yang baik walau hanya berupa nasehat, pasti akan berbuah sama juga. Toh rezeki akan datang dari mana saja kan? Sudah ada yang mengaturnya, tak akan tertukar. "Yang datang pas kita mau libur itu loh, Mas. Barengan ama cewek berhijab yang bawa motor matic." Dul kembali melanjutkan karena melihat bos kecilnya masih berpikir. "Oooh... cewek judes galak itu?" "Emangnya judes ya? Lah wong baik gitu kok. Kita aja dibawain martabak yang muahalll itu loh mas, yang satu martabak tapi rasanya ada banyak banget itu." "Naksir Bang Dul kali, dianya." Jawab Ilyas asal. "Waduuuh Mas.... di mimpi aja saya gak berani tuh cewek cantik naksir sama saya. Udah pasti mah dia naksir sama Mas Ilyas." "Not my type, Bang. Cewek model kaya dia gitu, saya paling gak suka. Hidup bebas, pakai baju irit bahan, dandan cuma buat narik lawan jenis, seneng banget kalau ada lelaki yang memuji kecantikan fisiknya yang palsu. Cewek gak baik-baik itu!" Ilyas berkata sengit, sekelebat teringat perempuan perusak rumah tangga ayah bundanya dulu. Setipe dengan gadia cantik yang kata Dul mencarinya. Dan jadilah dia menyamaratakan semua perempuan dengan model seperti Niana, bukanlah perempuan baik-baik. Sudah tertanam di alam bawah sadarnya seperti itu. Walau pada kenyataannya tidak demikian. "Laah dalah malah emosi. Istighfar Mas, bisa jadi dia memang jodoh Mas Ilyas loh. Siapa tahu itu jadi proyek ibadah Mas Ilyas untuk merubahnya jadi orang baik." "Duuh... gak mau saya! Udah deh, kalau dia nyari saya lagi, bilang aja sih kalau saya sudah punya gadis yang saya suka. Saya mau siap-siap dulu, ada janji, bang." Kata Ilyas dengan bungah. "Widiiih tumben ada janji. Sama cewek ya?" "Iyaa bang, doain ya, ini jodoh Ilyas. Sesuai banget sama kriteria yang Ilyas mau." Sesampainya di tempat janjian, Ilyas celingukan mencari sosok gadis pujaan hatinya. Sudah dua bulan berlalu. Hatinya semakin mantap pada gadis ini. Bundanya pun sudah tahu, hanya berpesan agar Ilyas benar-benar serius, tidak main-main pada gadis itu. Tentu saja dia serius. Dia tidak pernah jatuh cinta sebelumnya. Banyak gadis yang terus terang mendekati dan bilang suka padanya. Tapi dia tidak suka perempuan seperti itu. Gadis yang berbeda umur satu tahun dengannya itu, terlihat di pandangan mata Ilyas. Tampak malu-malu berjalan bersama teman-temannya yang iseng menggodanya, karena dijemput cowok ganteng. Sesekali tersenyum pada Ilyas dan menunduk, tampak semburat pink di pipinya. Membuat Ilyas semakin gemas. "Hari ini kita jadi ke toko buku?" "Iyaaa... ada buku yang harus dibeli, sama mau beli alat tulis, majalah dan n****+ sekalian sih." "Kenapa gak baca online saja dari ponsel? Adikku yang abg itu kalau baca n****+ sukanya dari ponsel. Gratis katanya." Kata Ilyas sambil membayangkan Iyah yang kadang suka ketawa sendiri, nangis, dan ngomel-ngomel. Membuatnya dan bunda kadang kebingungan sendiri. "Sesekali aja baca dari aplikasi. Lebih suka kalau beli versi cetaknya sih. Lagipula sekalian menghargai upaya para pengarang itu. Kalau kita beli versi cetaknya kan mereka jadi dapat royalti." Kadang Ilyas bingung melihat belanjaan yang dibeli gadis itu, banyak, dan berharga mahal. Sepertinya gadis itu dari kalangan keluarga berada. Entalah, dia juga belum tahu pasti. Tiap kali Ilyas menyinggung orang tuanya, pasti gadis itu menghindar, membelokkan topik pembicaraan.  "Mmm... kapan aku bisa main ke rumahmu? Aku pingin sowan ke ayah bundamu. Sekalian bukti kalau aku serius." Kali ini Ilyas tidak mau menunggu. Dia tidak tahu cara menarik hati seorang perempuan. Jadi ya sesuai feeling saja. Gadis itu mendesah, beberapa kali menarik nafas sebelum akhirnya menjawab Ilyas, "Mama papa gak tinggal di Jakarta. Tapi di Balikpapan. Di Jakarta aku tinggal bersama om dan tante." "Kalau begitu, bolehkah aku bertemu Om dan tantemu saja? Mereka perwakilan orang tuamu kan? Aku ingin kenalan." "Aku tanya dulu ya kapan mereka bisa ketemu. Tapi gak keburu-buru kan? Aku belum cerita tentang kamu." "Enggak keburu-buru kok, tapi sekira lima bulan lagi aku wisuda. Aku inginnya hubungan kita sudah pasti. Aku ingin kamu yang menjadi pendamping wisudaku nantinya." Jawab Ilyas, tegas. Matanya menatap tajam ke gadis berhijab yang duduk di hadapannya, sesekali tampak menunduk malu pada pernyataan Ilyas. "Aku inginnya sebelum melanjutkan studi, kita sudah resmi menikah. Jadi aku tidak khawatir meninggalkan kamu di Jakarta. Kemungkinan besar, untuk program master aku akan tetap ambil di kampus lama." Gadis berhijab itu terbatuk-batuk. Kaget. "Kamu melamarku?" "Ya." Jawab Ilyas mantap. "Aku sudah punya pekerjaan sendiri, walaupun melanjutkan usaha ayahku. Tapi aku yakin Insya Allah bisa menghidupi kita. Aku gak mau menunggu terlalu lama, setan kan pintar banget menggoda manusia." "Tapi kita belum saling mengenal. Aku juga belum tahu keluargamu, kamu juga belum tahu keluargaku." "Kita bisa jalani itu pelan-pelan. Aku juga harus bercerita padamu tentang keluargaku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD