Beberapa hari berlalu, Amar menemui Kinanti ketika sepulang kantor. Tidak seperti biasa, biasanya sang suami akan pulang larut malam dan tidak memiliki kesempatan untuk sekedar makan malam bersama. Terlebih empat tahun terakhir sejak dirinya di nyatakan lumpuh.
”Sayang…bagaimana kalau malam mingguan kita ke puncak. sekalilgus pendekatan kamu sama Vanya?” Tanya sang suami membuat jantung Kinanti berdegub kencang.
‘Inikah waktunya untuk mereka melenyapkanku? Secepat itu? Apakah mereka takut aku akan berubah pikiran dan menolak anak itu? Sehingga mereka mempercepat eksekusiku? Aku tadi malam tidur pulas, karena aku sangat ngantuk setelah dua malam tidak tidur. Jadi, aku ketinggalan informasi rencana mereka selanjutnya.’
“Sayang…kok malah melamun? Kamu gak suka, ya? Kita mau malam mingguan di villa?” Ulang ansg suami membuat Kinanti menoleh cepat.
”Apa, Kak? Kamu mau kita ke villa?” Tanya Kinanti dengan sorot mata tak percaya. Amar menganggukkan kepalanya.
”Iya, Sayang. Sudah lama bukan kita gak kesana. Aku pikir kamu bosan, makanya aku mau ngajakin kamu kesana…tapi, kalau kamu gak suka yasudah, aku batalin saja. Apapun yang buat kamu suka dan nyaman saja, Sayang…” bisik sang suami sembari membelai rambut sang istri.
“Berangkat kapan, Kak?” Tanya Kinanti menatap kearah sang suami dengan wajah kecut.
”Besok pagi kita dari Jakarta…” jawab sang suami tegas. “Makanya malam ini kita berkemas apa yang dibutuhkan kita bawa. Gitu juga kamu…minta Nissa nyiapin semuanya. Abis itu tidur cepet biar gak kecapek’an.”
”Hmm…karena musim penghujan, bagus juga kalau kita berangkat pagi…” jawab Kinanti membuat Amar Bersemangat. “Tapi, tetap kita gak bisa keliling villa seperti biasa, karena pasti licin, mana di belakang villa jurang, bukan?” Kinanti menahan ekspresi wajahnya agar sang suami tidak curiga.
‘Itu yang aku sengaja, Kinanti. Biar alami…’
Gumam Amar dalam hati. “Kamu jangan kawatir, aku akan selalu menjaga kamu baik di tidur dan kamu terjaga. Gak akan aku biarkan seekor nyamukpun menggigit dirimu, Sayang…” kalimat yang di ucapkan Amar dengan penuh keceriaan pada wajahnya, seolah dia sangat yakin bahwa hari esok yang telah di nanti-nanti sekian tahun akan tiba.
”Ohh…yaudah, aku akan memangil Nissa. Bentar, Kak…” ucap Kinanti dengan cepat memutar kursi rodanya.
”Gak usah sekarang. Nissa lagi bermain dengan Vanya. Dia sangat kelelahan karena harus mengurus kamu dan di tambah mengurus Vanya yang lumayan lincah anaknya.” Sahut Amar dengan cepat. Kinanti tak merespon apa yang di ucapkan sang suami dengan kalimat kasar. Dia memutar kursi rodanya kembali ke kamar.
”Baiklah, Kak. Aku akan menyiapkan apa kebuutuhanku sendiri. Nanti minta bantu Nissa berkemas. Sekarang sudah malam biarkan Nissa istirahat. Lagian dia harus menyiapkan barang milik siapa nama anak itu?” Kinanti menjeda kalimatnya.
”Vanya..”
”Ohh, iyalah. Anak itu…” Kinanti melirik ke arah sang suami. “Kak, menurut kamu Vanya itu anaknya gimana? Kenapa ya, sampai sekarang kok aku gak suka ama tu anak. Kaya buruk aja feel nya ke anak itu?” Kinanti menatap serius sang suami dan menahan tawa. Seketika dia merasa lucu atas ekspresi yang di lukiskan sang suami di wajahnya.
”Dia anak yang cerdas dan baik, Sayang. Kita beruntung memiliki dia…”
”Ohh, ya? Kenapa aku merasa dia anak pembasa sial, ya? Aku kawatirnya dia anak hasil hubungan gelap, loh, Kak. Anak haram gitu…” sindir Kinanti dan lagi-lagi dia tiba-tiba merasa senang melihat ekspresi snag suami yang pucat pasi.
”Kok anak haram? Anak haram juga berhak hidup, Sayang…” jawab Amar lagi akhirnya setelah sekian detik terdiam memucat.
”Bener sih, Kak. Anak itu tidak salah. Perbuatan orang tuanya saja yang biadab karena tega menghianati pasanganya. Semoga Allah melaknat orang tuanya yang tega membuatnya harus terlahir ke dunia begini…” ucap Kinanti membuat Amar membesarkan matanya.
”Kok kamu ngomong gitu, Sayang?”
”Ya, aku merasa Vanya gak pantes mendapatkan biaya hidup dari keluarga Atmanegara. Mungkin aku bisa membantu mencari identitas orang tuanya lewat pengacaraku. Tapi, tidak membiayai dia deh, kayaknya, Kak.” Kinanti nyengir kuda pura-pura lugu menatap ke arah sang suami.
”Kenapa harus repot-repot sih, Sayang?” Tanya sang suami lagi.
”Aku berbuat kebaikan bukan sih, Kak? Kalau mempertemukan dia dengan orang tua kandungnya?” Tanya Kinanti sengaja memojokkan Amar membuat Amar kehabisan peluru untuk menyerbu kembali lawan.
”Iya, sih. Tapi kamu gak perlu repot-repot ginilah, Sayang.” Amar menekan kalimatnya