“Ammar! Di depan anak ini kamu tega mengatakan hal demikian?!” Ketus Nissa kesal.
”Kamu juga, harusnya kamu bilangin dia untuk gak panggil kamu mama di depan umum apalagi di depan Kinanti! Lihatlah, Kinanti jadi berfikiran macam-macam. Aku yakin Kinanti menjadi curiga tentang anak ini. Arggkhh!” Ammar meremas rambutnya dengan kesal.
”Dia masih kecil, Mar. Wajar kalau dia lupa dan gak mudeng yang dia lakukan salah apa bener!” Ketus Nissa tak senang sang kekasih memarahinya di hadapan sang puteri.
”Ya, kalau udah tahu gitu, harusnya kamu ajarin dulu sampai pinter biar dia gak serampangan manggil kamu mama! Pakai otak kamu sedikit, Nissa!” Tegur Ammar dengan keras.
“Dia anak kecil dan dia gak harus ikut dengan permainan kotor kita, Ammar!” Nissa tidak terima anaknya di perlakukan sekasar itu oleh ayahnya yang sangat berambisi dengan harta.
“Terserah kamu, pokoknya aku gak mau ada kejadian dimana Kinanti membenci anak ini. Kamu harus didik dia buat mengambil hati Kinanti sampai kita benar-benar membunuhnya?!” Tegas Ammar
”Pa-pa…maafin Anya, jangan marah ke mama, Anya gak mau mama sedih…” anak kecil itu menggandeng tangan sang ayah, tapi karena kekesalan hatinya dengan cepat Ammar mengibaskan tangannya.
”Papa-papa!” Ketus Ammar lalu menatap ke arah Nissa. “Ntah iya dia anak aku sendiri atau ada orang lain, seenaknya manggil papa-papa bikin pusing aja!” Ketus Ammar, dan dia langsung meninggalkan kamar itu lalu menghempaskan pintu dengan keras, hingga terdengar dari kamar Kinanti pertengkaran mereka, karena Nissa keluar kamar mengejar Ammar dan melupakan bahwa kamar Kinanti tidak pernah tertutup rapat sejak dirinya di nyatakan lumpuh.
”Ammar! Kamu bilang apa? Anya bukan anak kamu dan ada anak pria lain?! Tega kamu, ya? Aku selama ini setia ke kamu malah kamu nya begini!”
”Kamu yang buat aku curiga. Kenapa kamu gitu ngotot masukin anak ini kesini dan berakhir Kinanti curiga padaku! Kalau memang kamu yakin anak ini mau di bawa kesini, harusnya kamu ajarin dulu dia bagaimana harus bersikap! Anak bego banget!!” Ketus Ammar mengibaskan tangan Nissa yang mencoba menahannya.
”Kamu mau kemana?!”
”Aku stress di rumah ini! Aku mau keluar cari angin!”
”Keluar kemana kamu?! Jangan sampai kamu main dengan prempuan lain, ya?!” Ancam Nissa lagi.
”Jaga suara kamu, Nissa. Kamu lupa kita sedang berada di luaran?!” Ancam Ammar meraih kerah pakaian yang dikenakan Nissa.
”Mamaaaa….” Tangis Vanya puteri mereka ketakutan dan memegangi ujung baju ibunya.
”Urus anak kamu ini! Nyusahin banget jadi orang! Puihhh!” Ketus Ammar lalu menuruni tangga dengan cepat, sedangkan Nissa langkahnya tertahan karena puterinya menarik pakaiannya.
”Mamaaa…jangan tinggalin Anyaaa…Anya takut di rumah asing, Anya takut di jahatin ibu-ibu lagi. Anya mau dekat mamaa…” tangisan sang puteri membuat Nissa menarik nafasnya dan meraih tangan sang puteri.
”Makanya kamu ini jangan bawel! Mama udah bilang ke kamu buat tidak boleh panggil mama di rumah baru. Tapi kamu malah panggil mama! Sini kamu!” Nissa menarik tangan bocah kecil itu ke kamar dengan geram, hingga membuat bocah kecil itu menangis.
Mendengar bocah kecil itu menangis, Kinanti mencari kesempatan untuk menuju meja telpon di kamarnya dan mencoba menghubungi ke pekerja lainnya di bawah.
“Mbok…bisa ke atas bentar, saya pengen buat menu baru dan saya bisanya bahas ini ke mbok…” ucap Kinanti dengan jantung berdegub kencang, karena dia juga tidak tahu masih adakah orang yang menjadi pekerjanya setia padanya, atau semua sudah di bawah kendali sang suami.
”Baik, Nyonya. Tapi, sebenarnya kami tidak boleh sampai jauh dari area kerja kami. Apalagi sampai ke kamar Nyonya. Apakah tuan tidak murka nantinya?” Tanya simbok dengan suara sedikit kawatir.
”Justru suami saya yang minta buat ngubungin si mbok, selama ini saya kan tidak pernah berhubungan langsung ke mbok karena ada Nissa. Sedangkan sekarang Nissa sedang sibuk dengan calon anak angkat kami. Dan kak Ammar keluar menemui klien…” kilah Kinanti dengan jantung berdegub kencang.
”Hmm…kalau begitu, saya akan segera naik ke kamar, Nyonya. Saya bawa buku sama pena ya?”
“Baik, Mbok. Cepat, ya? Saya tunggu…takut keburu lupa soalnya, Mbok…” sahut Kinanti beralasan. “Mbok, sekalian bawa hape ya? Saya mau cari contoh bahan-bahannya sekalian…” ucap Kinanti dengan bergetar.
”Oalah, hape ya? Saya ambil di kamar dulu, Nyonya.”
”Jangan lama, Mbok. Keburu ngantuk saya…”
”Baik, Nyonya.”
“Oke, saya tunggu segera. Nanti langsung naik saja masuk ke kamar, ya? Kamar saya tidak di kunci…”
”Baik, Nyonya…”
Kinanti dengan bergetar menutup gagang telpon dengan menutup mata. “Ya, Allah…berilah aku jalan keluar terbaik dari permasalahan ini. Aku tidak mau terus terkurung dalam kebodohan seperti ini. Ini neraka untukku…” bisiknya perlahan lalu dia melihat map yang di bawa sang suami tadi. Dengan cepat dia menumpahkan toner wajahnya ke atas map berisi surat pemindahan saham yang telah di rancang oleh Ammar sang suami.
”Semoga dengan begini, kak Ammar tidak curiga padaku…” bisiknya lalu membiarkan toner miliknya miring dengan tutup terbuka di samping map dan membuat map itu basah dengan begitu semua tulisan luntur.