Bab 8. Terjebak Kepedihan

1082 Words
Di ujung bar yang redup, Tuan Hawthorne duduk seorang diri, mengapung dalam keheningan dengan jari-jari meratapi kehampaan pada gelas birnya. Lampu remang menyelimutinya dengan cahaya yang tak sepenuhnya menghangatkan. Theodore melangkah masuk, matanya menyapu ruangan yang hening. Sudah pukul 10 malam, tapi Tuan Hawthorne masih setia dalam kesendirian. Menyaksikan sosoknya yang sekarang membuatnya merasakan kepedihan yang membebani kedua bahu pria itu. "Apa bar ini buka?" Perhatian Theodore tertuju pada pasangan yang hendak masuk ke bar. "Sepertinya buka, tapi kenapa begitu sepi di jam ini?" Seorang pegawai bar muncul menghalangi mereka. "Maaf, tapi bar sudah disewa sepenuhnya untuk malam ini," ucapnya dengan sopan. "Begitu, ya? Sayang sekali," ucap pelanggan wanita dengan wajah putus asa. Tatapan dua pelanggan kecewa itu tiba-tiba mengarah pada Theodore yang berdiri tak jauh dari mereka. "Apa kau yang menyewanya?" tanya pelanggan pria. Dihadapkan dengan pertanyaan tajam itu, Theodore tampak bingung bagaimana menjelaskan situasinya. "Itu ...." "Kami sudah menargetkan tempat ini jauh-jauh hari, tapi kau justru menyewanya di hari ulang tahun kekasihku." Kekecewaan terlukis jelas di wajah pelanggan pria. Theodore menunduk dengan sopan. "Maaf, sudah menghancurkan momen kalian." "Apa-apaan dia? Membuatku ingin memakinya saja," ucap pelanggan pria itu kembali, tampak tak puas dengan jawaban Theodore. "Sayang ... kita bisa mencari tempat lain. Ayo, kita pergi saja," ucap pelanggan wanita, mencoba menenangkan pasangannya. Setelah dua pelanggan pergi, pegawai bar mendekati Theodore dengan wajah penuh penyesalan. "Maaf atas kejadian tak enak tadi, Mr. Theodore." Theodore mengangguk, tersenyum lembut sebagai tanggapan. Dengan langkah hati-hati, dia memutuskan untuk menghampiri Tuan Hawthorne yang masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tuan Hawthorne menyadari kehadiran Theodore, dia berkata, "Aku tak memintamu datang." "Ini inisiatif saya sendiri." "Ingin minum?" tanya Tuan Hawthorne tanpa menoleh. "Tidak, Tuan Hawthorne. Saya kemari ingin mengingatkan Anda soal waktu. Bukankah sebaiknya Anda menyelesaikan acara minum-minum ini?" Suara Theodore mengandung kekhawatiran mendalam. Tuan Hawthorne menyeringai. "Aku tak ingat pernah memperkerjakanmu untuk melarangku melakukan ini dan itu," ucapnya, kemudian meneguk bir perlahan. "Saya tak berani melarang Anda, Tuan Hawthorne. Ini hanya saran. Anda tak bisa datang ke pertemuan besok dalam keadaan mabuk." Tuan Hawthorne tak mengindahkan perkataan Theodore, justru memesan bir tambahan. Theodore tampak putus asa mencari cara agar atasannya itu pulang, ternyata tak semudah yang dibayangkan. Suasana kembali hening, Tuan Hawthorne tetap bungkam. Sampai pada suatu waktu, dia terpikirkan satu hal, berharap dapat menemukan jawabannya dari Tuan Hawthorne. "Tuan Hawthorne, sejak tadi siang saya ingin menanyakan hal ini, tapi tak menemukan kesempatan. Anda berkata akan pulang untuk melihat kondisi Nona Everhart. Bagaimana keadaannya sekarang, apakah sudah membaik?" Mendengar nama wanita itu, Tuan Hawthorne tercenung. Dia menghela napas sambil berdiri dari tempatnya, menciptakan kebingungan di wajah Theodore. "Apa Anda akan ke kamar kecil?" Hanya itulah yang terlintas di benak Theodore. "Aku melupakannya." "Melupakan ... apa?" Theodore berusaha keras mencari jawaban, lalu dia berkata lagi, "Jadwal Anda terorganisir dengan baik, saya sudah memeriksanya berulang kali. Hari ini segalanya berjalan lancar dan tak ada yang terlupakan." "Sekarang pukul berapa?" tanya Tuan Hawthorne tiba-tiba. Theodore melirik jam tangannya, menjawab dengan perlahan, "Hampir mendekati sebelas malam." Tuan Hawthorne mengusap mukanya seolah-olah sedang menyadarkan diri. "Aku pulang sekarang." Sebelum Theodore sempat berbicara, Tuan Hawthorne sudah lebih dulu melangkah keluar dari bar. Dia hanya bisa melihatnya dalam kebingungan sebelum memahami situasinya. Tuan Hawthorne berada di bar sejak sore hari hingga mendekati tengah malam. Jadwal Mrs. Ramsey hanya sampai sore hari. Dengan kata lain, Jasmine tinggal sendirian di penthouse untuk waktu yang cukup lama. *** Tuan Hawthorne menarik kerah bajunya dengan kasar saat melintasi ambang pintu. Ingatan masa lalunya sudah mengubah udara malam yang seharusnya dingin menjadi panas. Kekuatannya saat ini masih mencukupi untuk menangani minuman beralkohol, sehingga dia tak pulang dalam keadaan mabuk berat. Pandangannya tertuju pada ruangan di lantai atas, tak tampak tanda-tanda aktivitas. Tanpa ingin berdiam diri, dia langsung menuju kamarnya yang terletak di lantai atas. Sesampainya di kamar, dia terkejut karena tak melihat Nona Everhart di ranjang, seperti yang diasumsikannya karena sekarang sudah larut malam. Dengan cepat, dia keluar dari kamar dan mulai mencari wanita itu. "Nona Everhart." Hanya sekali panggilan sebelum Tuan Hawthorne menyadari siapa dirinya. Langkahnya terhenti di ruang tengah, tangannya bersedekap. "Aku tak ingin bersusah payah mencarimu. Kau yang keluar dari persembunyian dan mendatangiku. Apa kau mendengar itu?" Waktu menunggu berlalu beberapa menit setelah Tuan Hawthorne berbicara, tapi sosok Jasmine masih belum muncul. Tuan Hawthorne menghela napas panjang, berkata lagi, "Kau tak ingin aku bersikap kasar padamu, bukan? Jadi, keluarlah sebelum kesabaranku habis." Suara bergerak dari arah kitchen island memancing perhatian Tuan Hawthorne, dan di sana, dia menemukan sosok yang dicarinya. Tuan Hawthorne menyeringai. "Kau bersembunyi untuk menyantap es krim lagi?" ucapnya, sambil mendekati Jasmine yang masih berdiri di tempat dengan kepala menunduk. Semakin mendekat, Tuan Hawthorne memperhatikan hal lain, ada banyak pecahan kaca di lantai. Tuan Hawthorne mengawasi situasi dengan saksama, alisnya terangkat. "Lagi-lagi, apakah kau berpikir untuk mengakhiri hidupmu?" "Aku ...." Jasmine terdiam sejenak, menatap beling yang berantakan di lantai dengan kebingungan, mencari jawaban atas keadaan yang tiba-tiba menjadi rumit. Sebelumnya, Jasmine merasa haus dan berniat mengambil minuman. Sikunya tak sengaja menyenggol tepi meja, membuat tangannya lemas, dan dia berjongkok sambil menahan rasa sakit. Tak lama kemudian, dia mendengar suara pintu, yakin bahwa itu adalah pemilik rumah. "Bukan seperti yang kau katakan, aku hanya tak sengaja memecahkan gelasmu," ucap Jasmine dengan nada membela. Gerakan mengusap siku seolah-olah baru saja terkena sial membuat Tuan Hawthorne percaya. Kedua tangan Tuan Hawthorne terbuka, tindakan tersebut menimbulkan kebingungan dalam diri Jasmine. "Mau apa?" ucap Jasmine dengan kewaspadaan. "Melompatlah padaku, aku akan menangkapmu." Jasmine paham bahwa ucapan tersebut disampaikan karena pecahan kaca bisa mencelakainya jika bergerak. "Lebih baik carikan sapu untuk membersihkan beling ini." "Aku tak tahu di mana sapu yang kau maksud." Dahi Jasmine berkerut, ekspresinya penuh ketidakpercayaan. Senyuman sinis merekah di bibirnya. "Aku lupa bahwa kau adalah orang kaya, Tuan Hawthorne." "Cepatlah," desak Tuan Hawthorne dengan kesal sambil mengguncangkan tangannya. "Aku akan menghitungnya sampai tiga. Satu, dua—" Pada hitungan kedua, Jasmine berhasil melompat ke pelukan Tuan Hawthorne. Matanya terpejam sejenak, dan saat merasakan pegangannya begitu erat di tangan pria itu, kesadarannya kembali. Diamnya Tuan Hawthorne membuat Jasmine penasaran untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan pria itu. Perlahan, dia mengangkat kepala sambil membuat jarak di antara mereka. Wajah Tuan Hawthorne terlihat cukup merah. Apakah sebelumnya juga sebegitu merah? Jasmine tak memperhatikannya. "Tuan ... Hawthorne?" "Nona Everhart." "Ya?" Jasmine refleks menyahuti. "Kau membuat jantungku berdebar kencang." Ucapan Tuan Hawthorne membawa keintiman, Jasmine ikut berdebar oleh perkataan itu. "A—apa?" "Seharusnya kau melompat pada hitungan ketiga." Tuan Hawthorne tiba-tiba mendorong Jasmine, memudarkan suasana keintiman dalam sekejap mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD