"Makan! Makan! Makan!" heboh Nara.
"Traktir! Traktir! Traktir!" heboh Teo.
Husein hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan keduanya yang tak berubah sama sekali. Adit pasrah saja dibawa menuju kantin. Padahal mood-nya hari ini kacau sekali tapi agak terobati dengan kehadiran ketiga sahabatnya ini. Ia dirangkul Nara dan Teo menuju kantin sementara Husein berjalan di belakang ketiganya. Sejujurnya, ia juga rindu suasana seperti ini. Suasana merecoki Adit. Rasanya, ia pun sudah lama tak bertemu Adit. Hanya sering menghubungi melalui telepon. Itu juga lebih banyak membahas pekerjaan karena ia sangat sibuk hingga kurang meladeni hal lain. Kalau Nara dan Teo kan kepo. Tapi Adit sering malas mengangkat telepon dari keduanya karena apa? Tidak berkesudahan. Apalagi kalau sudah bertelponan dengan Nara, tidak akan ada ujungnya.
"Gitu dong, Dit! Senyum dikit kek! Kan cakep! Dibanding si Teo, masih bagusan elo yang senyum!" serunya yang sekaligus meledak Teo. Cowok itu hendak melayangkan toyoran tapi Nara berhasil menghindar sambil terkikik-kikik. Sementara di pojok kantin, rekan satu tim Adit tampak duduk bersama. Kehadiran Nara, Teo, Husein dan Adit tentu saja sudah menyita perhatian mereka. Terlebih......
"Mereka siapa?"
Rena melirik ke arah meja yang jauh di depan sana. Di mana Hussein, Teo, Nara dan Adit duduk bersama kemudian ia kembali menoleh pada gadis yang duduk di sebelahnya.
"Itu orang perusahaan kita juga, Dri."
"Temennya Adit?"
Rena mengangguk. "Tapi beda-beda kantornya. Mereka pernah setim dulu."
Indri mengangguk lagi. Paham. Ia memang tak tahu banyak karena masih karyawan baru di sini. Sementara Rena memang jauh lebih lama dibandingkan dengannya. Ia memerhatikan lagi tingkah Nara yang sedari awal mencuri perhatiannya. Sepertinya tampak dekat sekali dengan Adit.
"Memang begitu ya? Cewek itu?"
Ada rasa cemburu di dalam setiap katanya saat melihat Nara begitu menempel pada Adit. Rena cuma terkekeh. Ia tak heran sih dengan sikap terbukanya Indri ini. Sejak awal Rena melihatnya, ia sudah tahu kalau Indri menyukai Adit. Tapi seperhatian apapun Indri pada Adit, Adit tetap sama. Tak terpengaruh. Mungkin Adit sudah punya kekasih, itu pemikiran awalnya. Tapi lelaki itu selalu saja bekerja. Hampir tak pernah berlibur. Jadi, tak mungkin punya pacar, pikirnya. Lantas status Adit apa? Itu lah yang masih menjadi tanda tanya. Rena pun tak pernah mendengar kabar asmara apapun dari Adit. Kecuali ketika ia melihat Adit berjalan dengan seorang perempuan di pemakaman. Ia sedang menerka-nerka, siapa kah perempuan itu bagi Adit?
"Kok kamu gak pernah dekat sih sama mereka?"
Indri heran. Karena sejak kedatangan Nara dan Teo yang begitu heboh pun, Rena cuma tersenyum canggung.
"Aku gak pernah sekantor sama mereka," akunya. "Tim mereka itu pernah dapat penghargaan dari kantor sebagai tim terbaik. Makanya, aku tahu."
Oooh. Indri mengangguk-angguk. Itu alasan Rena. Berhubung, ia memang anaknya pemalu jadi agak canggung kalau mendekati orang terlebih dahulu. Apalagi Nara dan gengnya itu cukup terkenal di kantor mereka yang di Jakarta. Terkenal karena prestasi yang dibangun oleh tim yang dipimpin Husein itu. Walau kini sudah terpisah. Sementara Indriana sibuk memikirkan hal lain. Hal lain yang dimaksud tentunya tak jauh dari memikirkan bagaimana cara mengetahui semua hal tentang Adit. Ia hanya mengira kalau mereka mungkin tahu lebih banyak tentang Adit. Mereka? Tentu saja Nara, Teo dan Husein.
"Apa aku gabung sama mereka ya? Siapa tahu bisa dekat sama cewek itu."
Rena terbahak lantas segera menarik Indri saat gadis itu hendak berdiri. Indri memang tergolong perempuan yang berani. Berbeda jauh dengannya yang agak pemalu kan? Tapi Rena hanya tak ingin Indriana mempermalukan diri sendiri hanya karena persoalan ini.
"Kamu mau ngapain emangnya?"
"Ya biar aku tahu banyak soal Adit."
Rena menganga lantas menoleh ke arah Indri. Gadis itu malah terus melotot ke arah meja Adit. Tak henti mengawasi pola tingkah Nara yang menurutnya centil dan tak elegan. Apalagi tangan Nara yang selalu menyodorkan makanan ke arah Adit. Hal yang membuatnya sangat cemburu karena Adit pun menerima suapan itu.
"Udah lah, duduk aja. Dari dulu juga aku gak tahu apa-apa soal bos kita itu."
"Oh ya?"
Rena mengangguk. Padahal sebenarnya ia agak gugup. Lama-lama tak tahan juga terus berdekatan dengan Indri yang terang-terangan menyukai Adit sementara ia hanya diam saja. Diam menyimpan perasaannya sejak pertama kali melihat Adit dan tim kecenya bersama Hussein mendapatkan penghargaan terbaik di malam ulang tahun perusahaan hampir dua tahun yang lalu.
"Memangnya, dia separah apa sih?" tanyanya. Ya, Indriana memang mengenal Adit sejak di Belanda. Tapi, ia juga tak tau apa-apa dengan Adit kala itu. Sekarang? Ia baru saja bekerja di sini. Jadi, statusnya tak beda jauh dengan ketika ia masih di Belanda. Masih belum tahu apapun tenrnag kehidupan Adit. "Misterius parah kah? Dingin parah kah?"
"Menurut lo?" lempar Tommy. Ekspresi wajahnya agak meledek Indri. Hal yang membuat Indriana melempar tissue ke arahnya. Ia terbahak. "Lagian, lo menanyakan sesuatu yang jelas-jelas sudah thau jawabannya."
Indriana menghela nafas. Maksudnya bukan begitu. Ia hanya penasaran saja kenapa Adit begitu sulit disentuh. Padahal ia yakin kalau Adit pasti tau perasaannya bukan? Lantas kenapa tak begitu merespon?
Aaaah! Apa karena tidak menyukainya? Oke, ia bisa terima itu. Tak masalah. Toh masih ada banyak kesempatan untuk mencoba dan membuat Adit jatuh cinta padanya kan? Namun bukan itu yang menjadi masalah utamanya. Melainkan, status Adit. Adit itu lajang kah? Atau sudah ada yang memiliki?
"Dari sekian tahun lo kerja di perusahaan ini, pernah sekali aja lo dengar dia pacaran atau dekat sama cewek?" tanyanya. Kali ini dengan mencondongkan bibirnya pada telinga Rena.
Rena menghela nafas. "Gak ada yang tahu asmaranya. Dia itu adalah cowok paling misterius yang pernah gue temui selama bekerja di kantor ini."
Indriana mengangguk-angguk. Ya, ia tahu sih. Tapi ia mulai menginginkan lebih. Titik yang lebih terang misalnya.
@@@
Sebelum magrib, Adit sudah rapi mengenakan baju koko. Ia berniat untuk datang ke rumah orang tua dari bosnya, Regan. Hitung-hitung ini akan menjadi kesempatan baginya untuk kembali melihat gadis itu. Sekali berdayung, satu-dua pulau terlampaui. Lumayan kan? Tapi ia tetap punya niat yang baik kok.
Jujur saja, sejak bertemu di pemakaman dan pulang dengan hati yang masih penuh dengan luka malah memotivasinya untuk kembali bertemu dengan gadis itu. Ia tahu kalau ia akan patah hati lagi. Karena apa? Karena tentu saja akan ada penolakan. Tapi apa salahnya mencoba? Walau Adit juga tak benar-benar yakin, apakah ini adalah keputusan yang tepat atau tidak.
Ia keluar dari apartemennya sambil menenteng kunci mobil. Saat hendak masuk ke dalam lift, ponselnya berdenting. Keningnya mengerut melihat ada pesan masuk dari Indriana.
Diiiit! Ada acara gak?
Ia hanya membacanya tanpa berniat membalasnya. Jujur saja, ia agak malas membalas pesan di luar kepentingan kantor. Apalagi ia menganggap Indri hanya sebagai rekan kantor dan tidak lebih. Wajar kan jika ia menganggapnya seperti itu? Terlebih, ia sebetulnya sadar betul kalau gadis itu punya rasa yang berbeda dengannya. Menilik sikap Indriana yang sangat berterus-terang, tentu saja Adit merasakan perasaan gadis itu. Hanya saja, hatinya sudah dipenuhi oleh gadis lain. Dan siapnya lagi untuk gadis itu adalah Adit sudah tak berniat mencari gadis lain.
Tiba di parkiran, ia segera menyalakan mobilnya. Kemusian ia memanasinya sebentar lantas segera menginjak pedal gas. Ia mampir dulu ke masjid yang tak jauh dari rumah yang ia tuju. Kemudian menunaikan solat magrib di sana. Ia sengaja mengambil jalan seperti ini. Agar apa? Agar tidak terlalu membuang waktu. Ini lebih efisien menurutnya. Sementara Dina baru akan pergi ke rumah adik Omanya itu usai membeli buah-buahan untuk tahlilan malam ini. Para Tantenya sampai lupa menambahkan buah ke dalam list belanjaan. Alhasil, ia, Rain, Farras dan Anne repot sekali membawa buah semangka yang gemuk-gemuk itu. Ditambah buah jeruk dan sedikit apel. Semua buah-buahan itu disimpan di dalam kardus. Setelah siap, mereka segera masuk ke dalam mobil dan Dina membawanya menuju rumah adik Omanya.
Usai solat magrib, Adit segera berangkat. Tiba di rumah orang tua bosnya, ia segera menelepon Ardan. Matanya berkeliling demi mencari sosok lelaki sampai melihat badan Ardan yang berdiri di dekat pintu sedang bersalaman dengan rekan-rekan kerja Papanya. Sambil melirik ke kanan-kiri, Adit berjalan. Harapannya sih, ia bisa melihat Dina. Tapi gadis itu tak juga terlihat. Hingga tiga meter ia mendekati Ardan, terdengar suara mobil. Mobil itu memasuki halaman rumah. Farrel, Ferril dan Ando segera berjalan menuju mobil itu. Meminta Dina membuka bagasi mobil sehingga mereka bisa mengambil alih buah-buah itu.
Tak lama, Dina yang duduk dibangku kemudi keluar. Gerakannya diikuti oleh tatapan mata Adit yang memang tak berhenti mengamati. Cowok itu sampai terperangah melihat betapa cantiknya malam itu. Gadis itu mengenakan celana kulot yang super lebar berwarna krem. Dipadu blouse berwarna mocca dengan manik-manik di bagian bawahnya. Mengenakan pashmina dengan warna mocca yang lebih muda. Hal yang tak Adit sangka justru ketika melihat gadis itu keluar dari bangku kemudi. Dua tahun berlalu, akhirnya ia menemukan ada yang berbeda dari Dina.
"Ngeliatnya gitu amat!" ledek Ardan yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya. Ia hanya balas tersenyum kecil. Karena saat ini ia hanya ingin melihat gadis itu.
Iseng, Ardan langsung memanggil Dina yang sedang menenteng jeruk. Gadis itu menoleh lantas hanya tersenyum kecil saat melihat Adit. Ia tersenyum karena Adit pun tersenyum padanya. Saat Dina menghilang, Ardan menyenggol bahu Adit sambil tertawa. Ia sudah bisa menebak kalau Adit masih menyukai Dina. Kalau Dina? Siapa pun bisa menebaknya.
@@@