“Maaf,” ujar Elard.
Dia memang ingin mencoba menyentuh Seira, tapi akal sehat tetap jalan. Daripada membiarkan nafsu yang menang, Elard lebih memilih segera menyingkir dan menenangkan diri.
Seira tak menjawab sama sekali. Dia terlalu malu untuk menunjukkan reaksi. Cewek itu kini terduduk bengong di atas meja, menutup mukanya dengan telapak tangan. Rasanya ada yang mengacaukan pikirannya tadi.
Sebuah bisikan yang menumbuhkan rasa penasaran ingin melumat bibir Elard membuatnya hampir gila. Seira tak pernah melihat seorang laki-laki dengan cara seperti itu. Pengalaman cintanya nol besar. Jadi kejadian seperti ini memang sesuatu yang benar-benar tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
“Aku mau pulang,” rengek Seira.
Elard jadi tak enak, dia merasa baru saja melakukan hal yang salah padahal sebenarnya belum terjadi apa pun. Dia ingin memulangkan Seira, tapi takutnya kenapa-kenapa nanti. Bisa jadi malah ada kesalahpahaman yang akhirnya membawa-bawa keluarga mereka.
“Tadi itu nggak sengaja, bukannya saya ada niat macam-macam.” Elard mau membujuk saja caranya canggung begitu. Memangnya dia kira siapa yang akan terbujuk dengan kata-kata seperti itu?
“Pokoknya aku pulang!” Seira tak mau dengar. Dia bukannya jadi takut, hanya galau tak jelas. Perasaannya sendiri terasa aneh, membuatnya merasa seperti bukan diri sendiri.
Seira bangkit berdiri, mendorong Elard meluapkan emosi. Matanya melotot tajam. Bibirnya dia gigit dengan frustrasi. Elard jadi merasakan kembali getaran yang sempat dia redakan. Di mata Elard, cara Seira menatapnya tidak seperti tatapan marah.
“Apa kamu merasa gugup? Takut? Berikan alasan yang jelas kalau mau diantarkan pulang.” Akal sehat Elard agar tergeser. Tanpa dia sadari, dirinya malah menekan Seira. Ada rasa ingin tahu yang besar akan apa yang tersembunyi dibalik tatapan menyalak Seira.
Elard melangkah ke depan, refleks Seira mundur karena terintimidasi. “KOK MAKSA SIH!” Tak bisa menjawab, Seira berteriak. Kayak dirinya tahu saja, Seira mana paham apa yang sebenarnya telah melanda perasaannya saat ini.
“Itu karena kamu yang memprovokasi saya.”
Sebaliknya, Elard masih begitu tenang. Dia maju selangkah lagi, menekan Seira hingga batas akhir. Tak ada lagi jalan kabur. Kaki belakangnya telah menempel dengan meja. Di kiri dan kanan terdapat sofa besar yang menghalangi jalan sepenuhnya.
Berkali-kali Seira melirik ke lantai, tempat di mana pecahan dari vas bunga tadi tersebar. Makanya dia tak bisa banyak gerak, berakhir membiarkan dirinya tertangkap lelaki memesona di hadapannya saat ini.
“Ma-mana ada!” Seira mulai tergagap. Tubuhnya menegang saat Elard membelai wajahnya. Rasa panas yang menyebar dari sentuhan kulit itu membuatnya tak berkutik. Ada desiran aneh yang membuat tubuhnya kaku, pasrah membiarkan diri dibelai.
Elard kira, sikap Seira itu merupakan sebuah jawaban. Tanda tidak keberatan. Mereka sama-sama telah dewasa, tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika pendekatan ini terus berlanjut.
Sekali lagi Elard menelan ludah, rona merah di pipi Seira makin bersemu. Pandangan matanya meredup seakan malu-malu mau. Bibir ranum itu sekali lagi menggodanya, membuatnya tak kuasa lagi untuk menahan diri.
Elard memberanikan diri. Dia menunduk menyejajarkan pandangan mata mereka. Mendekatkan wajahnya hingga berjarak begitu tipis dari wajah wanita cantik itu. Ketika Seira memejamkan matanya, Elard tahu kalau dia telah memperoleh izin.
Dia kemudian melumat bibir Seira penuh antusias. Sementara kedua tangannya menarik tubuh Seira mendekat padanya. Pelukan mereka begitu erat, saling menekan memanaskan tensi. Biarpun Seira agak kaku menerima ciumannya, cewek itu mencoba membalas.
“Ayo lanjutkan di kamar,” ujar Elard. Perlahan melepaskan Seira.
Seira menatap Elard dengan sayu. Otaknya belum bisa bekerja dengan baik. Sensasi dari ciuman pertama itu memberi demage terlalu besar. Dia hanya terbengong-bengong, menggenggam tangan Elard, ikut saja tanpa mengerti keadaannya sendiri.
Yang jelas Seira tidak merasa terpaksa harus melakukannya, dia bahkan bisa menikmati pengalaman luar biasa itu.
Sesampai di kamar, Elard menuntun Seira ke kasur. Dia melepaskan bajunya, saat itulah otak Seira baru jalan. Wajah bengong itu berubah panik dan frustrasi. Pipinya memanas, tangannya gerak-gerak tak jelas.
“Apa? Kamu mau bilang apa?” Menyadari tingkah aneh Seira dalam kebisuan, Elard bertanya.
“Ki-kita ... mau ngapain?” Seira malah balik tanya.
Elard kira cewek ini hanya ingin mewarnai permainan, jadi dia mengikuti saja. Perlahan lelaki itu mendekat, meletakkan kedua tangannya di antara badan Seira. Wajahnya berada di depan Seira. Mata yang sempat membuat Seira terpukau itu tengah menatapnya dalam-dalam, seakan sedang mencoba mengontrolnya.
“Menurutmu?” Suara Elard begitu rendah, sangat seksi membuatnya ketir-ketir. Seira jadi tak bisa berkata-kata. Dia hanya meremas bajunya kuat-kuat, menunduk malu-malu.
“Kalau kau jadi takut atau nggak mau bilang yang jelas, kamu bisa keluar. Pintunya nggak saya kunci.” Jalan keluarnya telah Elard berikan, tapi tubuh kencang dengan otot perut mengiurkan di depan mata Seira terlalu menarik untuk ditinggalkan.
Kadang kepolosan Seira itu terlalu, membuatnya gampang terpengaruh karena godaan sesaat. Bilangnya tak mau repot-repot berurusan dengan cowok sok jual mahal, tapi dia malah menggeleng dengan kuat saat diberi kesempatan untuk kabur.
“Aku mau,” kata Seira.
Dalam benaknya dia sudah teriak-teriak sendiri. Mempertanyakan kewarasan yang malah menyerahkan diri dengan sangat mudah. Harusnya tidak seperti ini. Pengalaman pertamanya harus diberikan pada orang yang sungguh-sungguh dia cintai, tapi apa boleh buat. Pesona Elard terlalu kuat untuk dia tolak.
“Jawaban bagus.”
Elard kembali melumat bibir Seira. Kali ini dia menggunakan lidahnya, menjilat bibir bawah Seira, meminta cewek itu membuka mulutnya. Refleks Seira membuka mulutnya, membiarkan lidah Elard masuk mencicipi lidahnya.
Tangan Elard perlahan membuka baju Seira, membuangnya secara asal. Dia kemudian mendorong Seira hingga terlentang. Lalu dia merangkak ke atas tubuh Seira.
Pemandangan yang dia lihat sangat indah. Tubuh yang ramping, d**a yang penuh dan mungil dengan warna merah muda di puncaknya.
Cewek itu pasrah sekali, patuh seakan segala kecerewetannya hilang tak bersisa. Dia menutup mulutnya, berusaha menahan suara aneh yang lolos dari bibirnya ketika Elard mulai menjelajahi tubuhnya. Lehernya basah oleh kecupan agresif, dadanya terasa panas saat tangan Elard bermain di sana.
“Hentikan ... rasanya malu sekali,” rengek Seira.
“Jangan bertingkah kayak gadis perawan.” Elard tak peduli. Dia pikir Seira sudah biasa melakukan hal seperti ini. Berhubung cewek ini lengah sekali, belum begitu kenal sudah mau saja datang ke rumah cowok yang tinggal sendiri. Mau saja diapa-apakan. Elard tak tahu saja, Seira hanya terlalu naif dan b**o.
“Diam! Jangan ngomong apa pun!” Sekali perkataan Elard menusuknya, dia memukul perut Elard untuk menutupi rasa malu.
“Kalau begitu jangan menahan suaramu.” Elard menarik kedua tangan Seira, menarik tubuhnya mendekat padanya.
Seira terkaget saat Elard mendadak melumat bibirnya dengan begitu intens. Tubuhnya menegang kembali ketika bagian bawahnya dimasuki secara tiba-tiba. Rasanya begitu mengejutkan, sedikit sakit dan aneh.
“Eng,” Seira mengerang disela-sela ciuman. Ketika Elard melepaskan tangannya, secara refleks dia memeluk Elard.
Perlahan-lahan tempo permainan meningkat, membuyarkan segala isi pikiran yang ingin dia lontarkan. Alih-alih memohon untuk berhenti, Seira malah mulai merasa terbiasa. Rasanya mulai terasa nikmat, begitu panas melelehkan tubuhnya.
“Aaah! Di sana ....”
“Di sini? Kamu suka di sini?”
“Eng ... ah haa ... ya.”
Seira tak tahu kalau sentuhan seorang laki-laki bisa begitu memabukkan. Dia ingin lebih intens. Ingin Elard menguasainya hingga lepas kontrol sepenuhnya.
Godaan Seira membuat Elard bersemangat, dia memacu gerakannya. Menekan lebih dalam di tiap dorongan. Seira begitu sempit, seperti tidak terbiasa dimasuki, membuatnya merasakan malam yang luar biasa.
***
Pagi harinya, Seira kembali terduduk bengong. Sedang introspeksi diri atas kesalahan malam sebelumnya. Dia mulai mengacak-acak rambutnya, mengutuk kebegoan diri sendiri. Mau sepesona apa, harusnya tidak dia jadikan alasan untuk menjawab rasa penasaran itu.
Sekarang Seira ingin lari dari kenyataan lagi. Niatnya berteman, tapi malah jadi teman dalam artian lain. Elard juga tak kelihatan. Hanya suara pancuran air dalam kamar mandi yang terdengar. Cowok itu mandi lama sekali. Entah memang biasanya lama, atau sengaja memberi Seira waktu untuk mengumpulkan kewarasan.
Sekali Elard keluar dari kamar mandi, Seira buang muka karena malu. Tubuh indah itu yang membuatnya terhipnotis semalam. Jangan sampai terulang kembali.
“Kenapa lagi? Kamu itu entah agresif atau pemalu. Bersikap itu yang konsisten.” Si sumber godaan malah mengkritik reaksinya, membuat Seira ingin ikut mengutuk Elard.
“Bawel! Pakai baju yang cepat!” Seira menaikan suara untuk menyembunyikan rasa malu. Dia masuk kembali ke dalam selimut buat bersembunyi.
“Iya, ini saya sedang pakai. Kamu juga cepat mandi. Saya mau pergi kerja, sekalian antarkan kamu pulang.” Elard tak ada rasa perhatian sama sekali. Sikapnya makin menjengkelkan.
“Nggak usah suruh-suruh! Aku bisa jalan sendiri!” Seira mau marah, tapi gengsi. Jadi dia lari ke kamar mandi, sembunyi lagi.
Elard geleng-geleng kepala melihat kelakuan Seira. Baru kali ini ketemu cewek nggak jelas begitu. Dia lanjut bersiap-siap tanpa memikirkan apa pun. Setelah selesai baru mau membereskan kamar sebelum berangkat kerja. Kebiasaan mau semua rapi dan bersih, jadi pikirannya juga bisa jernih.
Ketika membereskan tempat tidur, Elard sedikit kaget. Dia mengacak rambutnya. Ingin sekali menceramahi Seira. Jadi cewek kok nggak bisa jaga diri. Harusnya bilang yang jelas, dia jadi merasa bersalah, kan.
“Colokan listrik di mana sih? Aku mau pakai hair dryer.” Ini Seira malah muncul di saat tak tepat, pasang tampang masa bodoh.
“Kenapa kamu nggak bilang kalau kemarin itu pengalaman pertama kamu?” Elard jadi geram sendiri, dia bertanya tak sabaran.
Bagi Elard tak masalah main-main dengan cewek, tapi dengan catatan pasangannya juga harus berpikiran sama. Dia tidak pernah mau berurusan dengan cewek serius atau yang masih perawan. Dan sekarang, Elard berasa baru saja melanggar prinsipnya sendiri.
“Jan – jangan tanya hal memalukan!” Beginilah reaksi Seira, membuat Elard ingin sekali menempeleng kepalanya.
“Saya tanya kamu, Seira. Jawab yang benar.” Sekali lagi Elard menekankan. Dia ingin memastikan kalau cewek ini tak ada niat untuk mengikatnya. Jangan sampai dia disuruh menikahi Seira. Ogah banget. Kenal aja belum lama.
“Aku bilang nggak usah tanya!” Seira malah ngotot memaksa Elard melupakan. Dia sedang dalam mode mau lari dari kenyataan. Pura-puranya tak pernah terjadi apa pun semalam.
Karena Seira terlihat galak dan hair dryer di tangannya seperti akan dilemparkan kapan saja ... Elard mundur beberapa langkah mencari jarak aman. “Kamu nggak berniat lapor ke Mama, lalu paksa saya menikahimu, kan?” Habis itu dia bertanya dengan kurang ajar, terlalu terus terang.
“NGGAKLAH! KAMU PIKIR AKU NGGAK PUNYA URAT MALU!”
PRANG!
“APA KAMU SUDAH GILA!? JANGAN LEMPAR-LEMPAR BARANG SAYA!”
“AKU NGGAK PEDULI!”
Mereka berakhir saling teriak selama sepuluh menit. Sampai akhirnya Elard berhasil menjinakkan Seira dan menyingkirkan semua barang yang bisa dilempar darinya. Rasanya capek sekali. Cewek ini buas luar biasa, merusak kamarnya yang sempurna hanya dalam waktu singkat.
“Kamu sudah tenang?” tanya Elard takut-takut. Cek dulu emosi tak stabil Seira.
Seira mengangguk, baru sadar tadi dia mengamuk nggak jelas. “Aku minta maaf, jangan tagih biaya ganti rugi.” Hanya bagian ini yang dia pikirkan, cemas akan nasib duit jajan yang terbatas.
“Saya tidak sepelit itu. Biarkan saja, yang penting kamu jangan merusak lagi.” Seira lega luar biasa. Untung Elard dermawan banyak duit.
Setelah, itu mereka saling diam lagi dalam canggung. “Apa yang terjadi semalam itu rahasia. Jangan cerita ke siapa-siapa.” Sampai akhirnya Elard mulai berani buka mulut. Dia langsung bernegosiasi.
“Oke, kamu juga lupakan. Kita nggak saling kenal. Titik.” Seira oke saja, memang dia berniat menghapus ingatan semalam dari otaknya.
“Kamu dingin sekali,” ucap Elard. Ada sedikit rasa kecewa yang terselip dalam kalimatnya. Rasanya tak senang saat Seira bilang lupakan saja. Padahal itu solusi terbaik untuk mereka berdua.
“Bawel. Kau juga sama saja. Udah ah, cepat antar aku ke kampus! Ada kelas pagi nih!” Kegalakan Seira menepis jauh-jauh rasa kecewa itu sih, soalnya Elard jadi jengkel diteriaki seperti itu.
“Jangan maksa. Saya mau bersih-bersih dulu. Ini salah kamu yang berantakan kamar saya.”
“Pulang kerja baru bersihkan. Ini udah siang tahu. Kamu nggak kerja apa?”
“Tidak mau! Saya tak suka rumah berantakan. Pulang-pulang lihat kapal pecah begini saya bisa stres.”
“Gitu aja dibilang kapal pecah! Lebay amat!” Belum lihat kamar Seira sih, bentuknya tiga kali lebih kacau dari bentuk kamar Elard saat ini.
“Ini salah kamu, bantu saya bersihkan kalau tak mau terlambat. Cepat, saya juga masuk pagi hari ini!” Tentu saja Elard tak mau kompromi, sifatnya itu sudah mendarah daging. Hal kecil saja dipermasalahkan dengan serius.
“Bodoh amat! Angkot banyak kok!” Seira sih ogah. Tak diantar ya sudah, dia bisa pergi sendiri kok. Daripada disuruh bantu bersih-bersih.
“Seira, jangan kabur kamu!”
“Biarin! Kita nggak saling kenal kok!”
Akhirnya Seira tetap kabur. Lari secepatnya demi mengejar jam ngampus. Masa bodoh soal teriakan Elard. Toh, dia berniat untuk tidak pernah bertemu lagi dengan cowok itu.