Bab 22 Menjualnya ke Klub Malam

2041 Words
“Siapa yang mengirimimu pesan barusan?” Aidan Huo mencengkeram kuat ponsel Ruby yang telah rusak di tangan kanan, mata dinginnya melirik wanita yang duduk menempel ketakutan di sudut mobil. Pembawaan pria bermantel itu bahkan lebih dingin lagi. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Ruby atas pertanyaan sederhana sang mantan suami. Matanya linglung, bibir dirapatkan kuat-kuat. Benar-benar tidak ingin mengeluarkan sepatah kata pun. “Rubyza Andara, kamu masih ingin menguji batasku?” sinis Aidan dengan suara merendah berbahaya, mata memicing dingin menatap wanita yang tertunduk kelam di sebelahnya. Kesabaran dan kekesalan di hati Aidan Huo bergejolak naik turun. Kenapa dia semakin emosi menghadapi Ruby? Siapa orang yang telah mengirim pesan kepada mantan istrinya dengan begitu berani dan sok romantis? Benarkah dia sangat haus belaian dari seorang pria? Tidak sangka kalau Ruby benar-benar memperlihatkan jati dirinya setelah keluar dari penjara. Hati Aidan seketika saja geram tidak terkendali, tapi masih tetap terlihat tenang. “Apa selama di penjara kamu sangat kesepian? Makanya dengan mudah menjual diri seperti ini? Berapa banyak pria yang telah menidurimu? 10? 30? 100?” Kalimat dingin itu menusuk telinga Ruby, sakit seolah berdarah. Dadanya terasa perih dan meleleh panas. Ekspresinya meringis gelap dipenuhi oleh kekecewaan dan kesedihan. Beraninya dia berkata begitu! Jika di antara mereka ada yang murahan, maka itu adalah dia, Aidan Huo! Selama menikah dengannya dulu, Aidan sangat tidak tahu malu pergi bersama dengan kekasih sialannya itu ke mana pun mereka suka. Tidak peduli dengan perasaan dan status Ruby sebagai seorang istri. Aidan bahkan dengan terang-terangan suka membela Belinda, dan menganggap dirinya seperti udara. Tidak peduli mereka hanya bertiga, atau pun di sedang berada depan umum. Dia hanyalah lelucon di mata semua orang! Walaupun pernikahan mereka di masa lalu adalah pernikahan bisnis, tapi apakah pantas Aidan memperlakukannya seperti itu? Aidan sama sekali tidak pernah menghargainya! Dia bahkan tidak mau repot-repot menutupi gosip perselingkuhannya bersama Belinda, dan berkali-kali membuatnya seperti badut yang ditertawakan banyak orang. Malahan dengan sengaja Aidan mengajak banyak wanita lain sebagai pasangannya ke berbagai pesta. Bagaimana dengan Ruby? Tidak pernah! Dia tidak pernah mengajaknya sebagai pasangan! Bahkan saat acara keluarga pun, Aidan memilih Belinda berdiri di sisinya! Pria berengsek! Kenapa dia benar-benar buta di masa lalu? “Cepat jawab,” bentak Aidan dingin, mata dinginnya menyipit penuh benci. Ponsel Ruby digenggam kuat-kuat seolah akan hancur begitu saja. Ruby terkekeh agak sinting, tersenyum menyeringai dengan mata suram miliknya. “Kenapa? Apa urusanmu kalau aku benar jual diri? Memangnya kamu peduli? Jangan bilang kamu cemburu, Aidan Huo. Setelah bercerai, kamu baru menyadari perasaanmu setelah terlambat? Kamu pikir ini cerita n****+? Aku tidak sudi bersamamu kembali. Lebih baik aku tidur bersama banyak pria di luar sana daripada disentuh olehmu. Lagi pula, Kita berdua sudah tidak punya hubungan apa pun, juga dengan keluargaku. Kalian tidak perlu merasa malu. Kita sekarang, semuanya hanyalah orang asing satu sama lain. Urus masalah sendiri masing-masing.” Ruby meludah jijik ke samping, kedua tangannya terlihat jelas gemetar meremas kedua lututnya. Dia mulai gelisah karena kini menyesal telah memprovokasi Aidan. Dia tahu ucapannya sangat konyol. Aidan mustahil menyukainya yang sudah menjadi monster. Dibandingkan dengan Belinda yang sudah pasti terlihat cantik bak bidadari, dirinya ini hanyalah seonggok sampah. Tidak akan pernah menarik perhatiannya dari dulu sampai sekarang. Namun, detik berikutnya hatinya senang melihat wajah Aidan berubah semakin gelap dan muram. Dia pasti sangat marah dengan sindirannya barusan! Semoga dia mati karena kesal! Dalam hati, Ruby memang takut. Tapi sangat senang telah menghina harga diri mantan suaminya. Ternyata, betapa menyenangkan menghina seseorang seperti ini! Dulu, Aidan suka menghinanya dengan kata-kata menyindir gara-gara mengejarnya tidak tahu malu. Sekarang dia tahu kenapa Aidan sangat suka melakukannya. Rasanya seperti mendapat kemenangan kecil dan hatinya merasa puas! Seluruh darahnya bergejolak! “Kata-katamu semakin berani. Sebelum berkata begitu, apa masih belum menyadari dirimu seperti apa sekarang? Sepertinya otakmu ikut menjadi bodoh di dalam penjara. Sangat pas dengan wajahmu yang menyedihkan itu,” sindir Aidan dingin. Ponsel Ruby masih terus digenggam erat. Malah semakin erat setelah mendengar tuduhannya barusan. Entah kenapa mengguncang sesuatu di dalam diri Aidan. Dia? Menyukai Ruby? Mustahil! Sayangnya, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Aidan tahu kalau dia memang menaruh perhatian aneh kepadanya sejak bertemu kembali di lobi kantornya saat itu. Ruby terkekeh gugup yang aneh. Kedua bola matanya memerah dan membesar mengerikan penuh dendam seperti orang gila kehilangan akal. Wajahnya lebih buruk daripada menangis ketika mendengar hinaan Aidan yang berbalik kepadanya berkali-kali lipat. Sangat pas dengan wajahnya? Heh! Itu, kan, yang dia mau selama ini? Dia sangat membencinya. Segala hal yang dibencinya sudah pasti akan dihancurkan tak bersisa! Aidan sangat tidak suka jika Ruby mulai tertawa gila. Itu mengingatkannya pada kejadian 3 tahun lalu ketika mengunjunginya di rumah sakit untuk meminta kalung Belinda yang dicurinya. Sama seperti saat itu, melihat Ruby tertawa gila membuatnya tidak tahan. Hatinya berputar aneh. Rasa sakit seperti jarum hadir menusuk di dadanya. “Aidan, kita berdua telah selesai. Apa lagi yang kamu mau? Bukankah kamu jijik kepadaku? Kalau memang tidak suka, kenapa harus menangkapku seperti ini? Apakah kamu masih ingin balas dendam? Apa yang membuat marah kali ini? Mobilmu? Jas berhargamu itu? Atau apa? Aku sama sekali tidak mengerti! Cepat katakan apa maumu dan kita segera berpisah untuk selamanya!” Hening. Di mobil itu, hanya ada mereka berdua. Mobil hitam tersebut sengaja diparkir di sebuah tepi jalan, dan di sekitarnya terdapat anak buah Leon yang berjaga dengan sangat menakutkan. Aidan tidak segera menjawab, dan masih sangat kesal tidak bisa mengetahui siapa orang yang baru saja mengirimkan pesan kepada mantan istrinya. Tiba-tiba saja rasa jengkel di hatinya semakin menjadi-jadi. “Kamu masih pura-pura tidak tahu apa kesalahanmu?” ucap Aidan sinis, memecahkan keheningan hingga membuat kepala Ruby yang menunduk naik bertatapan mata dengannya. Wanita berpakaian training merah mudah itu sangat pucat dan kurus. Pakaiannya yang seharusnya berfungsi menyembunyikan tubuh kurusnya, kini menempel di tubuhnya dalam posisi menciut menyedihkan. Persis anak kucing ketakutan yang akan digigit sampai mati. Aidan mengeryitkan kening dan merasa tidak nyaman melihat tubuh kurus Ruby. Dulunya, wanita itu memiliki tubuh yang sangat ideal. Benar-benar sempurna. Tapi sekarang, dia bahkan bisa melihat tulang selangkanya dari balik kerah lehernya yang sedikit melorot. Pakaian training Ruby adalah barang bekas, didapatnya dengan harga murah di tempat jualan kaki lima. Jelas tidak begitu bagus, tapi masih layak pakai. Aidan menatapnya bingung dan sedikit takjub. Wanita yang selalu berpakaian bagus dan mahal, kini memakai pakaian murahan dengan begitu nyaman seolah bukan apa-apa? Di matanya, semua ini tampak salah! “A-apa kesalahanku? Aku akan minta maaf. Kalau minta ganti rugi, aku tidak punya uang. Lebih baik bunuh saja aku supaya kamu puas,” jelas Ruby gemetar, kepala tertunduk kembali, menghindari mata dingin Aidan yang sulit terbaca. Ruby tidak nyaman ditatap seperti itu. Selama mengejarnya bertahun-tahun, Aidan tidak pernah menatapnya dengan cara aneh begitu. Apakah kesalahannya kali ini benar-benar membuatnya marah? Kapan, sih, pria itu tidak marah dengan segala apa yang dilakukannya? Semua hal yang dilakukannya pasti salah di mata pria itu! Hati Ruby menciut sedih. Ada rasa menusuk di hatinya. Dia sangat tahu kalau sudah tidak menginginkan Aidan. Juga tidak mau jatuh cinta lagi. Tapi, kenapa dadanya terasa sesak begini? “Kita berangkat,” titah Aidan dingin melalui alat komunikasinya, ponsel Ruby dimasukkan ke saku mantel. Ruby yang linglung dan bingung tidak mengerti apa yang akan dilakukan mantan suaminya sekarang. Melirik seorang pria berjas hitam masuk dan mulai menyalakan mesin mobil. “Ke tempat biasa,” lanjut Aidan semakin dingin. Aura tubuhnya bahkan lebih dingin hingga Ruby menggigil ketakutan. “Ki-kita mau ke mana?” gagapnya dengan wajah gelisah, merasakan mobil mulai bergerak maju. Wajah tampan Aidan mendekat, membuat Ruby kaget hingga tidak sadar mencengkeram bagian depan mantelnya. Sesaat, Ruby merasa Aidan hampir saja menciumnya, tapi detik berikutnya pria itu menahan gerakannya, dan berbisik jahat, “bukankah kamu suka jual diri?” Napas Ruby tertahan kuat. Sekujur tubuh gemetar tak terkendali merasakan tekanan aura Aidan yang begitu gelap dan dingin. Apa sebenarnya kesalahannya? Kenapa Aidan tidak mau mengatakannya? Selama mobil melaju di jalan, keduanya terdiam. Ruby terus memeluk kedua kakinya, tidak peduli jika pria itu marah mobilnya diinjak sesuka hati. Anehnya, dia tidak marah. Ruby sedikit tidak biasa dengan situasi ini. Padahal di masa lalu, masuk ke mobilnya saja, Aidan pasti mengeryitkan kening tak suka, seolah-olah dia adalah sampah yang tidak pantas masuk ke mobilnya yang berharga. Ruby memejamkan mata, menulikan telinga. Berusaha menganggap semua ini hanyalah mimpi buruk gara-gara demamnya yang masih belu hilang. Sayangnya, semua ini adalah kenyataan. Ketika mobil berhenti di tempat tujuan, Ruby membuka mata dengan linglung. Kepalanya menoleh melihat Aidan bertitah dingin kepadanya. “Turun.” Ruby terbodoh cukup lama. Di mana ini? Ke mana Aidan membawanya? Sepertinya tidak asing. “Masih belum mau turun?” sinis Aidan kesal, mulai kehilangan kesabaran. Ruby bergerak patah-patah. Tidak tahu harus berbuat apa. Kelamaan di dalam mobil dan gerakannya lambat gara-gara lututnya yang sakit, Aidan mendecakkan lidah dan segera menariknya paksa. Tubuh Ruby jatuh dengan keras ke aspal! Suara rintihannya terdengar di udara, tapi pria yang masih mencengkeram tangannya tampak tidak memberikan belas kasihan. “A-Aidan! Tunggu dulu!” pinta Ruby kesakitan, menahan lututnya yang sakit dan terasa menusuk. Akibat berlari sebelumnya, kini lututnya mulai terasa keram dan tidak nyaman. “Jangan bersandiwara lagi. Aku tidak akan termakan akting burukmu itu,” ledeknya dengan tatapan dingin yang menggelap mengerikan, membuat hati Ruby menciut kaget. Kenapa Aidan memasang wajah seperti itu? Jawaban dari pertanyaannya datang dengan cepat. Mendengar beberapa mobil berhenti di dekat mobil Aidan dengan suara-suara tawa dan canda ria, Ruby akhirnya melihat sebuah papan nama yang menusuk mata dan hatinya. Royal Blue Heaven? Bukankah ini klub malam yang biasanya Aidan dan teman-temannya datangi? Ruby bagaikan disiram sebaskom air es dari atas kepalanya. Tiba-tiba saja mulai paham apa maksud ucapan Aidan di dalam mobil sebelumnya. “Kenapa terkejut begitu? Bukankah kamu haus belaian selama di penjara? Aku dengan senang hati akan menyenangkanmu.” Suara Aidan sedingin es. Mata gelap pria itu melintas cahaya dingin menakutkan. Punggung Ruby mulai terasa kebas oleh rasa takut, membeku syok merasakan hatinya seperti dipotong. Sebelum sempat membuka suara, Aidan sudah menyeret tubuh Ruby masuk ke dalam klub. Pemandangan menyedihkan itu membuat beberapa orang terkejut dan tidak percaya. Tapi, begitu melihat siapa yang tengah menyeret seorang wanita dengan begitu tidak manusiawi, seketika mereka langsung terdiam. Tidak berani berbuat apa-apa. “A-Aidan! Aidan, lepaskan aku! Aku mohon, lepaskan aku!” jerit Ruby ketakutan, berusaha melepaskan cengkeraman sang pria dari tangannya sambil terus diseret sepanjang lorong. Di klub malam itu semua orang mengenal siapa Aidan. Dia adalah pengunjung tetap di sana meski sebenarnya bukanlah pria yang suka minum dan bermain wanita. Kadang-kadang hanya menemani beberapa teman untuk bermain dan bersenang-senang, atau pun melakukan pertemuan bisnis dengan santai bersama orang tertentu. Pria yang gila kebersihan dan sangat menjaga kesehatannya seperti Aidan Huo jelas tidak akan mau macam-macam di tempat seperti itu. Dia terlalu gengsi dan punya harga diri tinggi, tidak akan sudi merusak reputasinya yang terlalu bersinar. Ruby sangat tahu dengan baik karena dia sendiri juga selalu datang ke tempat ini hanya untuk menempel dan mengejar Aidan sepanjang waktu. Tidak pernah macam-macam karena ingin dinilai baik olehnya. Hal bagus dari klub malam itu adalah semua jenis minuman dan makanan ringan tersedia di sana, baik yang beralkohol maupun tidak. Sangat lengkap dengan segala fasilitas untuk menyenangkan para tamu yang datang. Sekalipun tidak bisa minum dan tidak bisa makan makanan tertentu karena pantangan keyakinan yang dianutnya, Ruby suka datang ke sana dan melihat sisi Aidan yang lain. Namun, kali ini, Ruby merasa dia akan masuk ke sebuah mimpi buruk tanpa memiliki akhir. Sebuah neraka kedua untuknya setelah penjara. Aidan Huo, mantan suaminya yang pernah dicintainya bertahun-tahun sepertinya akan menjualnya ke klub malam. Ini mematah hati Ruby, darah surut dari wajahnya. Dugaan wanita itu menjadi kenyataan. Tubuhnya dilempar kasar ke dalam sebuah ruangan VIP, dan suara Aidan datang dengan sangat dingin bagaikan pisau es, “mainan baru kalian. Aku yang traktir.” Rubyza Andara yang tersungkur ke lantai dengan wajah bodoh dan linglungnya, menaikkan pandangan kepada beberapa orang yang dikenalnya di meja sana. Hawa dingin menusuk hati Ruby dari dalam. “Kamu yakin?” tanya seseorang ragu-ragu. “Yakin. Dia adalah karyawan baru mulai hari ini. Selamat bersenang-senang.” Bagaikan disambar petir, Ruby membeku mendengar jawaban kejam Aidan di belakangnya. “Aidan!” serunya panik, wajah sangat pucat. Terlambat. Pria itu dengan tega meninggalkannya begitu saja!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD