6th

2389 Words
          Mas Bejo ingin menelepon pujaan hatinya tiba-tiba. Dia ingin mendengar suara Heru, meski dia baru saja bertemu dengan remaja tanggung tersebut. Mas Bejo mupeng ingin dengar. Tadi Heru melarikan diri darinya, lalu pulang dengan wajah bersungut-sungut kesal. Bejo ingin tertawa, namun kalau dia tertawa, Heru bisa saja makin menjauh darinya. Heru itu nggak semanis Chiko, tapi Heru itu menarik. Untuk kategori wajah ganteng majalah, Heru itu nggak masuk kriteria. Yang menarik darinya adalah tingkahnya yang selalu nyengir itu, jadi orang merasa nyaman bersamanya. Poin lainnya adalah ketika Heru marah. Ah, kalau itu hanya Bejo yang tahu! Jangan sampai ada orang lain yang melihat Heru dalam keadaan marah! Namun nyatanya memang Heru itu nggak pernah marah di depan orang lain. Ketika kesal, dia akan mengeluarkan senjata sarkas yang lebih menyakitkan hati daripada sekadar umpatan. Kalau Heru mengeluarkan sarkas kebanggaannya, hati siapa pun pasti rapuh dan tersindir sempurna. "Halo..." Suara Bejo kembali menyapa gendang telinganya. Heru merengut nggak suka. Dia ada di perjalanan, namun karena malas berhenti untuk menerima telepon... Heru menerima telepon sambil menyetir. Heru itu sakti, tahu! Ah, nggak... dia hanya sudah terbiasa melanggar peraturan. Naik motor sambil menerima telepon. Untung saja nggak ada polisi di jam begini! "Apa lagi?" Heru menyalak mirip anjing. Dia tahu siapa ini meski hanya dengan mendengar suaranya. Heru menyelipkan HP-nya di antara helm, khas ibu-ibu yang sedang teleponan sambil mengendarai motor. "Kamu di mana sekarang?" Heru nggak menjawab pertanyaan Mas Bejo, namun malah mengajukan pertanyaan lain. "Ngapain nanya-nanya?" "Galak banget, ih! Kayak Sherly." "Jangan main nyamain orang, Mas b***t!" "Aku nggak nyamain kamu sama orang, kok! Kan tadi kamu udah ketemu sama Sherly." Mas Bejo tergelak. Heru mengerem motornya mendadak karena shock. Jadi Mas b***t itu memang ada masalah dengan otaknya. Mungkin dia absen waktu ada pembagian otak. Atau mungkin karena dia datang terakhir, jadi kebagian sedikit. Tapi kan... kan... Mas Bejo itu pintar, lho di bidang akademik dan kedokteran. Dia sangat cekatan meski masih berstatus mahasiswa. "Ternyata g****k itu emang nggak ada batasnya, ya?" Heru mendengus. Dia berhenti di tepi jalan. Jalanan agak sepi, namun dia sengaja memilih jalan seperti ini. Lagi pula, dia juga nggak membawa barang berharga. "Pasangan itu saling melengkapi, lho! Kalau satunya g****k, satunya pinter. Kan kamu pinter..." Kok Heru jadi makin kesal, ya mendengar ucapan Mas Bejo itu? "Aku nggak gila pujian, Mas." "Tahu, makanya aku jarang muji kamu. Tapi kan boleh ngutarain pendapat..." Mas Bejo cekikikan. Heru nggak tahan lagi. Kesabarannya teruji hanya dengan ucapan seperti itu dari Mas Bejo. Entah menyindir atau apa, tapi rasanya jleb di hati! "Boleh aku bilang sesuatu yang super kasar sekarang?" Heru menggerutu. Mas Bejo di sana sudah duduk nyaman dan siap mendengarkan. Bejo itu aneh. Ketika ada orang yang mengumpat dan berkata kasar, dia akan menegur dan merasa nggak nyaman. Tapi ketika Heru yang melakukan itu... Anehnya, Bejo malah suka! Ah, sudah bilang berapa kali kamu, Jo? Memang hanya kamu yang menganggap Heru itu lebih lucu ketika marah. Padahal ketika Heru bicara, sarkasnya sangat menakutkan. Semua orang bisa saja tersinggung dan terusik dengan ucapannya, tapi kamu malah bahagia begitu! Nagih, malah! "Anjingmu itu cowok, Mas! Jantan! Lelaki! Ngapain dinamain Sherly?!" Heru menjerit nggak terima. Bejo melongo. Dalam sekian detik, dia tertawa kencang. Lagi, Heru memang masih menempati urutan pertama sebagai orang yang dia kagumi. Orang yang membuatnya panas-dingin dan kembang-kempis nggak keruan. Bejo itu bukan homo, ya pada awalnya! Mantan ceweknya cantik-cantik. Seksi dan pintar, lagi! Beda jauh, lah kalau dibandingkan dengan Heru yang masih tanggung dan juga nggak ganteng-ganteng amat itu! Heru itu menawan di mata Mas Bejo, tahu! Mungkin ganteng bisa diciptakan, tapi cinta itu muncul dari hati. Aseeek! "Kamu peduli banget sama Sherly.... Peduli sama aku kapan, Ru?" Heru nggak akan pernah bisa mundur dari perang nggak jelas ini. Kenapa hanya gara-gara nama anjing saja membuat Heru terusik? Padahal itu bukan urusannya! Ayahnya pernah membawa anak kucing ke rumah. Heru memberinya nama Tukimin, meski jenis kelaminnya betina. Sayangnya anak kucing itu ditabrak mobil dan mati di tempat. Karena itulah Heru trauma, nggak mau memelihara binatang apa pun lagi! Kapok! "Siapa yang beri nama?" Heru masih bertanya tentang asal-usul nama Sherly itu. "Aku, sih! Soalnya namanya imut gitu..." "Hm... pantesan..." "Pantesan kenapa, Ru?" "Nggak kaget kalau yang beri nama macam orang nggak jelas gitu, jadi bentuknya juga nggak jelas!" Heru mendengus. Dia menghela napas, lalu memutus sambungan telepon Mas Bejo. Heru menghidupkan mesin motornya lagi, namun ketika di jalan, lagi-lagi Mas Bejo menghubunginya. Dia nggak peduli, namun lama-lama getaran di sakunya makin mengganggu. Heru menerima telepon itu dengan separuh hati. Bahkan karena sudah berada di jalan tanpa Om Pol, Heru melepas helm-nya. Tangan kanan sibuk menyetir, tangan kiri menerima telepon. "Aku lagi di atas motor, jangan telepon-telepon!" "Kamu lagi di motor? Kok bisa teleponan sejak tadi?" "Getaran HP tuh ganggu, tahu! Nggak usah... huaaaa...." Brak! Tuuuuutttt... Suara kencang menembus gendang telinga Bejo. Bersamaan dengan itu pula telepon Heru terputus. Jantung Bejo seakan berhenti. Tubuhnya membeku. Heru... Heru... Bejo panik seketika. Dia melompat dari tempat duduknya, menyambar kunci mobil, lalu berlari kencang. Bodohnya, dia nggak tahu di mana Heru sekarang berada. Bayangan Heru yang terluka atau berdarah membuatnya hilang kendali. Bejo sudah sering melihat darah dan luka, bahkan pada tubuhnya sendiri. Namun ketika membayangkan Heru yang mengalami itu... sebagian dari dirinya terasa direnggut paksa. Namun kejadian yang terdengar seperti tragedi berdarah itu nggak benar-benar terjadi. Meski terdengar menakutkan, namun kejadian sebenarnya nggak seseram itu. Heru nyengir di sana, motornya menubruk tempat sampah. Ah, kemampuan menyetir dengan satu tangannya mulai nggak berfungsi! Tadi ada polisi kurang ajar, main tidur sembarangan di tengah jalan, jadi motonya oleng dan menabrak tempat sampah. Sudah begitu, dia hanya menyetir dengan satu tangan. Dia nggak terluka sedikit pun. Heru menggaruk tengkuknya, lalu mulai membenarkan posisi tempat sampah itu. Dia kembali menghela napas dan lanjut pulang. HP di sakunya mati. Dia nggak tahu kalau sekarang ada seorang cowok yang kelabakan karena mencarinya. Bejo yang super panik itu mencoba menelepon Heru, namun sayangnya... Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi! Apa-apan ini? Bejo makin gemas dan cemas nggak keruan. Dia mencoba menghubungi Chiko, namun seperti biasa, Chiko nggak tahu apa-apa. Mereka nggak bareng, bahkan tadi Heru pulang sendiri. Heru melarikan diri darinya. *** Heru sampai di rumahnya lebih dulu. Dia nggak peduli dengan kondisi HP-nya yang mati. Dia nggak eksis di dunia maya, jadi dia nggak terlalu ambil pusing. Dia hanya butuh online untuk streaming film-film gratisan di youtube, atau sekadar mencari bahan untuk tugas. Sudah, hanya itu saja! Dulu butuh itu untuk mencari gebetan, tapi karena dia mengalami kejadian buruk dan trauma, akhirnya dia nggak mau lagi main begituan. Takut salah batangan lagi! "Kok baru pulang?" Bundanya muncul ketika Heru memarkir motornya di garasi. Heru menelan ludah dan nyengir dengan ekspresi bersalah. "Baru main, Bunda." "Main ke mana? Ke rumah Chiko?" Kok ya Chiko lagi? Memangnya Heru nggak punya teman lain, apa? Punya banyak, kok! Bahkan temannya itu selalu mengerubungi Heru. Sayangnya bunda hanya tahu Chiko, karena papa Chiko kenal ayahnya. "Ke rumah temen lain, Bunda." "Udah makan?" Heru menggeleng. "Temen yang ini pelit, Bunda. Nggak kayak mama Chiko. Masa aku bertamu ke sana nggak diberi makan! Malah aku mau digigit sama anjingnya, gara-gara dikirain mau rebut makanan dia." Bundanya tergelak geli. Heru selalu saja begitu. Anak sulungnya itu selalu menciptakan kelakar dan tawa meski di situasi sulit. Heru nyengir dan masuk ke dalam rumah, hingga akhirnya bundanya kembali memanggil. "Ru, ada yang nyari lagi, nih!" Heru curiga. Ketika dia sampai di pintu depan, matanya melotot terkejut. Mulutnya melongo. Dia nggak tahu kalau akan ada cowok ini lagi. Sudah begitu, dia bawa mobil. Mau apa bawa mobil segala? Mau rekreasi? "Ngapain Mas b***t di sini?" Heru melongo. "Ru, mulutnyaaaa...!" Bunda melotot galak. "Bejo masuk dulu, ya! Tante baru aja masak buat makan malam. Makan malam di sini, ya!" Heru menelan ludah. Kok malah ditawari makan? Bejo mengangguk sembari tersenyum, namun senyumannya terlihat aneh. Wajah Bejo nggak terlihat baik-baik saja. Pucat. Juga terlihat ketakutan setengah mati. Heru curiga. Jangan-jangan Mas Bejo sedang dihantui, jadi dia melarikan diri ke rumahnya! Kalau sampai setannya membuntuti sampai ke sini bagaimana? Heru, jangan konyol! Bunda masuk ke dalam lebih dulu. Bejo melangkah gemetar, namun ketika sampai di ambang pintu, Heru menghadang jalannya. "Mas dikejar apaan?" tanya Heru cepat. "Kamu bakalan menyesal karena udah buat Mas kayak gini, Ru!" "Apanya?" Heru bingung. Mata Bejo berkilat. Ini rekor. Ini pertama kalinya Bejo terlihat begitu ketakutan setengah mati. Dia terlihat seperti mayat hidup. "Beneran ada hantu yang ngikutin, ya?" Heru mengguncang lengan Mas b***t. Bejo mengerjap beberapa kali, namun hatinya nggak sekuat itu untuk bertahan. Dia menarik lengan Heru spontan, bahkan memeluknya erat. Dia nggak peduli kalau ada orang yang memergokinya bertingkah bodoh begini. Heru nggak terluka. Heru nggak apa-apa. Bahkan dia terlihat baik-baik saja! Bejo benar-benar bersyukur dan lega, namun rasa takut masih membayangi hatinya. "Ngapain, sih peluk-peluk kayak anak TK?" Heru protes. Dia nggak melepaskan diri dan mendorong Mas Bejo. Dia membiarkan Mas Bejo bertingkah seperti itu. Dilarang juga percuma. Heru juga sering memeluk teman-teman cowoknya. Bahkan sesekali dia mencium pipi mereka sambil tergelak geli. Mereka akan menjerit jijik dan mengumpat pada Heru, namun mereka tahu itu hanya bercanda. Karena memang begitulah adanya. Mereka bercanda dengan sangat berlebihan. Sudah main fisik! "Kamu nggak apa-apa, kan?" "Apanya? Aku apa-apa sekarang. Aku laper!" Bejo lega sekali. Dia hampir gila tadi. Ternyata rasa kehilangan dan ketakutan karena orang yang berharga mengalami kejadian seperti ini lebih menakutkan daripada yang dia duga. Padahal dia sering melihat pasien dalam kondisi kritis, lalu keluarganya panik. Sekarang Bejo tahu rasanya sepanik itu. Tahu bagaimana jadi Chiko yang kelimpungan ketika Gigih menghilang. Tahu rasanya sekarang! Dan dia nggak mau merasakan itu lagi! "Kenapa kamu teriak tadi? Kenapa telepon kamu putus?" Bejo masih menginterogasi. "Nggak sengaja nabrak tong sampah." "Mulai besok, jangan bawa motor lagi! Aku jemput!" Bejo memutuskan dengan semena-mena. Heru melongo. Bejo sedang gila atau nggak waras sekarang? Dia sudah diajari untuk jadi orang waras, kan? "Nggak, ah! Jijik!" "Kenapa?" "Malu! Apa kata temen-temen kalau aku masih dijemput?" "Gigih dan Chiko saling jemput." "Mereka itu beda!" "Bedanya sama kita apa? Kita sama-sama punya batang. Punya nyawa juga. Dan lebih bikin aku yakin, kamu lebih bahaya daripada Gigih. Gigih mungkin masih bisa dengerin orang lain, tapi kamu? Kamu seenaknya sendiri. Naik motor pake satu tangan, lalu teleponan di jalan..." Bejo mengomel panjang lebar tanpa henti. Ini kali pertama Bejo begitu marah. Dia lepas kendali. Begitu melihat Heru baik-baik saja, separuh hatinya bersyukur, namun juga gemas nggak keruan. Kalau sampai Heru terluka sungguhan bagaimana? "Emang Mas pikir aku lagi ditelepon siapa waktu itu?" Heru bertanya pelan, namun tajam. Bejo bungkam. Dia menelan ludah gugup. "Maaf..." "Lagian Mas kan dokter. Kalau aku luka, Mas bisa ngobatin. Aku minta gratisan..." Heru mencoba mencari kesempatan dalam kesempitan. Namun Bejo menggeleng kencang. Ekspresi Heru berubah. "Perhitungan banget!" "Aku nggak bakalan mau ngerawat kamu bukan karena mau kamu bayar, tapi karena aku nggak mau kamu yang jadi pasien! Jangan sampe kamu jadi pasien, bahkan ke dokter lain sekalipun!" "Ah, kalau aku sakit mending ke dukun aja gitu, yak?" Bejo gemas setengah mati. Sekarang ini Heru lebih berkuasa atas dirinya. Kemarin-kemarin Heru yang mati kutu, namun sekarang Bejo yang kalah dan tunduk. Memang pembalasan itu selalu ada. Sekarang Heru yang bahagia karena berhasil menumbangkan Mas Bejo. Hanya saja ada kesalahpahaman di sini. Kelemahan Bejo adalah Heru. Sesederhana itu. Namun Heru nggak sadar kalau dirinya punya andil besar terhadap kelangsungan hidup Bejo. Heru malah mengira Mas Bejo terusik karena dia lebih memilih dukun daripada dokter. Pasti kode etik profesinya terluka sekarang. Halah! Iri, ya? "Jangan sakit!" "Mana bisa gitu! Sakit itu manusiawi!" "Kamu bukan manusia." "Aku emang bukan manusia! Aku sahabat Sherly!" Heru mengutarakan kekesalannya dengan mengiyakan, dengan cara yang lebih absurd lagi. Heru menggerutu. Dia nggak suka berlama-lama di sini, jadi dia memutuskan untuk pergi dari sana. Bunda sudah berteriak-teriak dari ruang makan agar Bejo segera makan. Heru memang lapar, tapi dia nggak mau makan bersama Bejo. Jadi, Heru hanya menonton TV bersama dua adiknya. Mereka menempeli Heru sayang, bahkan mengecupi pipi Heru berkali-kali. Heru tergelak lagi. Meski galak dan sarkas begitu, tapi Heru itu penyayang. Ah, Bejo ingin sekali jadi salah satu adik Heru kalau sudah begitu! Dia ingin mencium Heru juga! Ah, kalau begini Bejo jadi nggak fokus makan! "Tante, boleh, nggak kalau Bejo ajakin Heru keluar?" Suara Bejo terdengar lembut. Heru menoleh spontan. Kok nadanya jadi mirip lamaran begitu? Mirip cowok yang minta izin pada orang tua pacarnya! "Boleh, kok! Kan kalian cowok, udah besar juga... Tante yakin nggak bakalan aneh-aneh selama main sama Bejo." Bunda nggak tahu aja, Bundaaaa! Mas b***t itu lebih berbahaya dan lebih aneh daripada kelihatannya! Heru menggeleng kencang dan mendekat ke arah Mas Bejo. "Siapa yang bilang aku mau keluar?" "Kan kita udah janji." "Kapan?!" "Kemarin. Makanya aku mintain izin buat kamu sekarang." Kenapa Mas b***t suka sekali berdusta? Heru menatap budanya, namun bundanya lebih sibuk dengan kedua adiknya. Pokoknya bunda sudah memberi izin. Dan itu sudah cukup jadi bukti kalau Heru memang boleh keluar. Kalau sudah begitu, Heru bingung. Padahal awalnya dia ingin menjadikan izin bunda sebagai alasan, namun ternyata bunda malah mengizinkan. Bunda hanya belum tahu topeng sebenarnya Mas b***t ini seperti apa! "Nggak mau, ah! Masa iya keluar berdua, cowok dan cowok!" Heru menggerutu. "Heru, nggak boleh melanggar janji!" Bunda masih sempat memberinya ceramah. Heru menggeleng kencang. "Tapi, Bunda! Kan berdua aja, cowok sama cowok. Nggak ada ceweknya, nggak seru, lah!" Heru protes. Bunda melotot galak. "Kamu mau ngapain main sama cewek? Mau macem-macem?" Duh, Heru salah bicara! Dia melirik Mas Bejo yang tampak ayem dengan acara makannya. Padahal di sini Heru sudah kelimpungan apa yang harus dia lakukan. Dia nggak tahu harus bagaimana lagi sekarang. "Kan main kalau ada ceweknya tuh seru, Bunda. Ada yang bisa dilihat gitu!" Heru beralasan lagi. "Bunda nggak pernah ngelarang kamu pacaran, tapi Bunda juga nggak mau kamu bawa anak orang ke sana kemari tanpa izin." "Ntar Heru izin dulu sama orang tuanya." Bunda melarang bukan karena alasan. Heru itu tipe yang mudah gonta-ganti pacar. Bunda dulu pernah memergoki seorang cewek berdiri di depan gerbang rumah. Ketika ditanya, dia menjawab kalau Heru memutuskannya secara sepihak. Bunda yang kesal dan marah-marah waktu itu. Kalau nggak salah, waktu itu Heru masih SMP. Belum lagi ketika bunda melihat foto-foto di galeri HP Heru yang didominasi oleh cewek yang berbeda. Bunda nggak mau anaknya jadi playboy dan menyakiti hati banyak cewek. "Kamu contoh Mas Bejo, tuh, Ru! Dia pinter di bidangnya, ganteng, udah gitu dia jago bersosialisasi. Ikut organisasi juga." "Aku udah ikut organisasi, Bunda. PMR, tuh!" "Kamu ikut PMR biar bisa nebeng tidur di kasur UKS, kan?" Ah, ketahuan! Heru nyengir. Mas Bejo sudah menyelesaikan makannya dan menatap Heru. Heru balas menatapnya nggak suka. "Aku nggak mau ikut, Mas! Males jalan, pengennya tidur!" "Jangan kebanyakan tidur, Ru! Nggak baik." "Ini badanku sendiri!" Heru sudah jadi orang paling kekanakan sekarang. Dia nggak tahu kalau Mas Bejo harus begitu keukeh memaksanya melakukan hal yang paling dia benci. Dia suka jalan-jalan, kok! Hanya saja dia benci partner-nya. Nggak suka pokoknya! Kalau yang lain, sih ayo berangkat! "Hari Minggu besok aku jemput kamu! Jam delapan sudah harus siap!" Sialan, Mas b***t begitu pemaksa! Kan Minggu jadwalnya tidur! TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD