Heru pulang dengan ekspresi kesal. Dia pulang menjelang malam. Kalau saja dia nggak mengancam akan bunuh diri, mungkin Bejo nggak akan melepaskannya. Meski ancaman itu absurd, namun Bejo juga nggak mau Heru nekad. Dia juga mengancam akan melompat dari jendela kalau Bejo masih menahannya. Awalnya Heru mengatakan kalau dia punya banyak PR, tapi Bejo masih nggak mau melepaskannya. Barulah setelah wajah Heru terlihat putus asa, Bejo nggak tega juga. Mas-mas macho jurusan kedokteran itu melepaskan Heru dengan separuh hati.
Heru pulang dengan motornya. Karena kurang konsentrasi, berkali-kali dia hampir menabrak kendaraan lain. Apalagi kendaraan yang lebih besar. Kalau Heru yang menabrak mereka, dia yang bonyok. Sejak tadi dia juga moody. Kadang cepat sekali, lalu kecepatannya menurun drastis hingga di angka dua puluh. Padahal dia sempat kalap sebelumnya. Pengendara lain juga kesal dibuatnya. Mereka mengumpat, berteriak marah ke arah Heru. Heru yang sedang kehilangan kewarasannya hanya nyengir, lalu mengangguk santai.
Ada satu orang yang juga ikut andil dalam masalahnya kali ini. Cowok yang dulu Heru taksir, yang ternyata menolaknya karena mas-mas nggak "normal" sebelah. Lah? Kok dulu? Sekarang nggak naksir lagi?
Jangan mikir itu dulu! Sekarang mikir bagaimana caranya pulang, Ru! Lah? Iya, sejak tadi Heru berkeliling nggak tentu arah. Bahkan kalau Heru nggak salah, dia sempat melihat gapura selamat jalan dan selamat datang tadi. Jangan-jangan ini sudah luar kota! Atau Heru nggak sengaja masuk ke dalam dunia astral begitu! Ru, sadar! Ini masih dalam satu kabupaten. Lihat saja sekelilingmu!
"Gila, lu! Berhenti di tengah jalan!"
Heru menoleh, nyengir tanpa rasa bersalah. Pengendara itu membunyikan klakson lagi. Heru tersadar seketika. Dia sedang berhenti di tengah jalan. Ketika dia menoleh, beberapa kendaraan sedang berbaris di belakangnya. Ketika supir mereka akan turun, Heru melarikan diri.
Chiko! Kamu harus bertanggung jawab sekarang!
Heru mengeluarkan HP-nya dan merengut. Layar HP itu retak. Ada garis melintang yang sangat mengenaskan di sana. Heru mencoba menghidupkan benda itu. Berhasil. Sepertinya hanya ada kerusakan di layar HP. Ah, ini pasti mahal kalau diganti!
"Ada apa, Ru?" Suara Chiko terdengar ngantuk. Sialan! Ketika Heru sedang galau karena nyasar, Chiko malah asyik menikmati kasur empuknya.
"Kamu emang bener-bener..."
"Kamu marah sekarang? Aku juga lagi nggak mood dengerin orang marah, Ru. Ini udah malam."
"Baru jam delapan!"
"Aku harus tidur jam segini, biar kegantenganku tetap terjaga."
"Buat apa ganteng kalau ending-nya disodok kakak sepupu sendiri!" Nah, omongan Heru makin menyeramkan ketika sedang dalam kondisi begini. Chiko peka. Dia menatap layar HP-nya dan membuka mata lebar-lebar.
"Kamu di mana sekarang?"
"Nggak tahu."
"Lah?"
"Aku emang nggak tahu. Tadi aku naik motor, muter-muter nggak jelas. Masuk gang juga. Diteriakin orang, diomelin, bahkan hampir kena razia satpol PP karena keluyuran pake seragam."
"Kamu belum di rumah, kan?"
Heru menggeleng meski Chiko nggak bisa melihatnya. "Tumben peka."
"Aku denger suara klakson mobil dan bus. Kamu ada di mana, Ru?"
"Aku juga nggak tahu, Ko." Heru sudah lelah mengatakan kalimat itu. Dia memang nggak tahu sedang ada di mana sekarang. Dia tahu nama desanya karena sempat melihat kecamatan, tapi jalan pulang dia lupa.
Kadang dia menemukan gang buntu.
"Kamu nggak nanya orang-orang di sana?"
"Males. Aku lagi nggak ada mood buat ramah-ramahan."
"Kamu beneran nggak apa, Ru? Perlu aku minta tolong Mas Bejo buat jemput kamu?" Chiko menawarkan bantuan yang paling Heru benci.
"Kalau kamu ngelakuin itu, aku janji bakalan ngejar-ngejar kamu, lalu aku sodok kamu sampe Mas Gigih frustasi dan bunuh diri!"
Chiko menelan ludah. Sepertinya memang dia nggak boleh lapor pada Mas Bejo. Tapi sebagai teman, Chiko juga cemas. Dia nggak mungkin membiarkan Heru terlunta-lunta begitu. Bagaimana kalau Heru diculik atau dirampok? Sekarang tindak kejahatan banyak sekali, tahu!
"Aku harus apa?" Chiko menelan ludah. "Kamu beneran nggak apa?"
"Kita beda. Kalau kamu yang nyasar, satu kampung pasti nyariin. Kalau aku yang nyasar, palingan juga ayah dan bundaku yang nyari. Atau paling banter juga adik-adikku."
"Aku juga nyariin, lah! Kan aku temenmu."
"Aku lagi nggak pengen dicari." Heru dalam mode yang benar-benar sulit untuk disentuh dan dirayu sekarang. Chiko nggak mungkin membiarkan Heru berkeliaran di luar sana. Meski badan cowok itu nggak sekecil dirinya, bahkan macho, tapi namanya kejahatan itu nggak pernah pandang bulu.
"Kamu kirim aja lokasimu sekarang di mana! Kirim via SMS atau BBM gitu. Kalau pake BBM kan enak sama kirim fotonya."
"Bateraiku mau habis."
"Trus sekarang kenapa telepon? Kalau dibuat telepon kan bakalan ngabisin baterai juga, Ru."
"Iya juga..."
"Tadi aku bales SMS kamu, kenapa nggak terkirim, ya?"
Ah, Heru ingat semuanya sekarang! HP-nya sudah jadi korban Mas Bejo dan sempat mati. Sekarang baterainya tersisa hanya tinggal beberapa persen. Nggak sampai lima belas persen. Mungkin beberapa menit lagi mati.
"Ntar aku hubungi lagi, Ko. Bateraiku sekarat." Heru menghela napas dan memutus panggilannya. Dia memperhatikan HP-nya. Mulai dari restart, hingga mencoba mengirimi ayahnya SMS, semuanya nggak berhasil.
Gangguan operator?
Tapi tadi dia bisa telepon Chiko. Heru curiga mendadak. Mungkin HP-nya rusak. Layarnya juga bergaris begini. Heru menggaruk tengkuknya. Tadi Bejo melempar HP-nya. Ini HP yang sangat dia sayangi, HP satu-satunya, HP yang dia beli dengan uang sendiri. Ayahnya nggak pernah mengajarinya untuk meminta selama dia bisa mendapatkannya sendiri. Heru berhasil membelinya dari uang saku yang ditabung.
Heru berasal dari keluarga yang berada, tapi dia ogah meminta-minta pada ayahnya. Selain untuk keperluan sekolah, Heru pantang meminta. Dia malu tanpa sebab. Apalagi kalau benda itu akhirnya dipamerkan dan dia gunakan sehari-hari. Bergaya sok kaya, padahal masih dapat minta-minta dari orang tua?
"Kamu mau pensiun, ya?" Heru menepuk-nepuk HP-nya sebentar. "Kamu jangan pensiun dulu, ya! Ayah kagak punya duit."
Heru mulai nggak waras.
Dia kembali menyalakan motornya, dan berkeliling lagi. Uang sakunya masih ada kalau hanya untuk membeli bensin, tapi bukan itu yang jadi masalah. Fisik dan mentalnya sedang dalam keadaan yang nggak mendukung. Heru mencoba bertanya pada orang-orang di sekitarnya tentang jalan menuju ke jalan besar.
Heru nggak tahu kalau sejak tadi ayahnya berkali-kali menelepon. HP Heru mati karena daya baterainya habis. Dia baru sampai di rumah menjelang pukul sepuluh. Ayahnya melotot di ruang tamu, namun lelaki itu nggak bertanya saat itu juga ketika melihat raut berantakan anaknya. Mungkin besok saja. Sekarang anaknya terlihat sangat lelah.
***
Keesokan harinya Heru diinterogasi. Ayahnya masih curiga pergi ke mana Heru hingga baru pulang jam sepuluh.
"Dari mana semalam? Kenapa baru balik?" Ayah bertanya pelan. Heru menatap wajah ayahnya lalu nyengir. Dia nggak pernah serius. Sepertinya memang dia nggak akan pernah serius selain dengan Mas Bejo. Dia selalu nyengir, bahkan ketika dihukum guru BP sekalipun!
"Ayah mau cerita yang panjang atau pendek?"
"Kenapa ada versi panjang dan pendek?"
"Ya karena because." Heru yang jahil itu kembali lagi. Ayah nggak akan pernah sabar ketika anaknya dalam mode iseng begitu. Ayah memilih untuk menuruti permainan Heru dan akhirnya mengatakan sesuatu dengan sangat singkat.
"Panjang."
Heru berdehem. "Suatu hari, hiduplah seorang cowok ganteng, macho, dan juga dewasa. Dia disukai banyak cewek, dielu-elukan oleh banyak orang karena kepintarannya. Lalu..."
"Ayah nggak lagi bercanda, Ru!"
"Tadi katanya Ayah mau yang panjang."
"Yang pendek aja."
"Aku nyasar. Udah." Heru mengangguk cepat.
"Kok bisa? Nyasar ke mana?"
"Tadi katanya mau yang pendek?"
"Ayah nggak lagi bercanda, Ru."
"Ayah mau cerita yang medium? Setengah-setengah?"
Heru itu akan jadi dominan di sini. Dia nggak akan pernah bicara seperti ini kalau nggak ada alasannya. Ayah hafal gelagat anaknya yang ini. Itu artinya Heru malas cerita. Biasanya kalau dia nggak malas, dia akan bercerita sendiri tanpa diperintah. Guru saja sampai pusing kalau Heru dalam mode story teller. Dia akan mengoceh tanpa henti, bahkan hingga jam pulang berbunyi.
Ayah memijat pelipisnya gemas. "Trus kenapa HP kamu nggak bisa dihubungi?"
"HP-ku rusak kayaknya, Yah. Bisa telepon, tapi nggak bisa SMS. Trus juga pas Ayah telepon semalam mungkin baterainya udah sekarat itu."
Ayah sedang nggak kerja sekarang karena libur, jadi Heru santai-santai saja di rumah. Sekolah juga sedang libur karena tanggal merah. Biasanya yang seperti ini sangat menyenangkan. Heru bisa bermain games tanpa henti, seharian. Tapi sekarang dia sedang nggak mood. Ah, ada untungnya juga HP rusak itu! Dengan begitu Heru nggak perlu membaca SMS nggak penting dari Mas b***t.
"Ayah beliin HP baru, ya!"
Ini lucu! Biasanya anak yang meminta HP baru pada ayahnya, namun sekarang malah ayah yang menawarkan diri untuk membelikan HP.
"Nggak, ah!"
"Gimana Ayah bisa hubungi kamu kalau gini?"
"Telepon."
"Kalau Ayah lagi sibuk tapi pengen bilang sesuatu ke kamu gimana?"
"Telepon, Yah."
"Kalau kamu lagi di kelas gimana?"
"Ayah telepon lagi ntar pas istirahat." Heru nggak mau kalah. Dia nggak mau jadi ribut hanya gara-gara HP-nya rusak begitu. Dia menghela napas dan berdehem.
"Aku nabung dulu buat beliin adek."
"Ayah mau beri pinjaman, deh!"
"Nggak mau! Ntar aku nggak bisa bayar." Heru menggeleng kencang. Obrolan antara ayah dan anak itu jadi makin absurd. Ayah hanya nggak paham ke mana jalan pikiran anaknya. Cenderung ke kanan atau ke kiri. Dia sendiri juga nggak tahu apa yang sedang terjadi sekarang. Hanya gara-gara HP, mereka menciptakan obrolan yang sangat jauh antara ayah dan anak.
Obrolan mereka makin ambigu kalau saja bel nggak berbunyi. Ada yang bertamu. Heru membukakan pintu. Mungkin saja Chiko datang untuk minta maaf. Heru nyengir dan membuka pintu itu. Namun sayangnya hari itu dia sial. Lagi.
Mas-mas macho gondrong tetangga Chiko ada di sini. Mungkin ini hanya ilusi dan halusinasi!
Heru mengerjap lagi, namun cowok itu masih di sana. Mas b***t memang ada di depannya. Mas gondrong jurusan kedokteran itu berdiri di depannya. Meski penampilannya agak nyentrik begitu, tapi Mas b***t itu terlihat sangat terampil menangani pasien. Jari-jarinya panjang dan berotot. Pasti jari itu bisa mencari titik tusuk infus dengan akurat.
"Ngapain Mas ke sini?" Heru jadi nggak ramah. Ajaran orang tua untuk berbuat baik pada tamu seketika buyar.
"Ini rumah kamu?" Mas b***t malah bertanya.
"Aku kos di sini. Kenapa? Mau kos juga? Ibu kos bilang udah penuh." Heru masih saja kumat. Ayah penasaran juga pada akhirnya. Apalagi ketika mendengar jawaban Heru tadi. Kos katanya!
"Siapa, Ru?"
"Anak mau kos, Yah! Udah dibilang di sini bukan kos-kosan."
Lah?
Bejo nggak tahan untuk nggak tertawa. Heru selalu berhasil menciptakan tawa di bibirnya. Bejo tersenyum ketika ayah Heru muncul.
"Oalah, Bejo, ya!" Dan ayah Heru tertawa sambil menyalami mas-mas jurusan kedokteran itu. Heru mengernyit. Setahunya, ayah itu berteman dengan ayah Chiko, bukan dengan tetangga Chiko. Ayah itu dokter hewan, sama dengan ayah Chiko. Mereka partner kerja sekaligus teman sehobi.
Sekarang ayah punya teman baru yang lebih muda?
"Yah, sekarang hewan dan manusia punya dokter yang sama?" Heru kembali sarkas. Ayah melongo, lalu menggeleng.
"Ayah kenal Bejo karena seprofesi meski beda pegangan." Ayah mencoba menjelaskan. Heru nggak peduli. Dia masih sakit hati meski hanya untuk melihat Mas b***t. Heru berbalik untuk pergi. Ayah menahan lengannya.
"Ada apa, Yah? Kan urusan bisnis."
"Ini santai aja. Kamu temenin Bejo dulu, Ayah mau cari materi di ruang kerja." Ayah menahan Heru. Heru melongo.
"Kenapa nggak cari bareng aja? Kan enak cepet ketemu."
"Ruang kerja penuh gitu, Ru. Nggak enak, ah kalau nyuruh tamu ikutan nyari."
"Dia kan lebih muda. Harusnya dia bantuin yang lebih tua." Heru protes. Biasanya dia nggak pernah begitu. Perintah ayah adalah perintah yang harus dilaksanakan. Heru selalu melaksanakan perintah ayahnya, namun sekarang dia bisa protes.
Itu namanya durhaka, Ru!
Ah, kalau soal yang lain, Heru sanggup. Kalau soal Mas b***t, Heru nggak bisa. Dia nggak bisa bertahan lama berada di dekat Mas gondrong macho ini. Sudah macho, berotot, gondrong, ganteng... memangnya ada, ya dokter yang begitu? Ada, Ru! Di drama Korea itu begitu!
"Kamu diem di sini! Ajak ngobrol Bejo aja sana! Kalian udah kenal? Kalau belum, kenalan dulu! Dia itu mahasiswa berprestasi di jurusannya, Ru. Kamu bisa nyerap ilmu dari dia."
Heru melongo. Atasan detected. Sepertinya Mas ini memang nggak keperempuan-perempuanan seperti bayangan Heru terhadap Mika. Mas ini memang macho, sesuai namanya. Bejo. Lah?
Ayah masuk ke dalam ruang kerjanya, sementara Heru di sana, duduk bersama Mas Bejo dengan ekspresi kesal. Dia melakukan itu dengan separuh hati!
"Kenapa Mas ke sini?"
"Aku butuh sama ayah kamu, Ru."
"Nggak bisa besok-besok gitu?"
"Kan mumpung libur! Lagian aku nggak tahu kalau kamu juga kos di sini." Mas Bejo tergelak, separuh menyindir. Heru nggak suka menimpali ucapan Mas Bejo karena memang nggak beralasan. Dia bungkam saja.
Hingga akhirnya Mas Bejo kembali bersuara. "Kenapa SMS ke kamu nggak terkirim? Telepon kamu juga sibuk terus."
Ah, Heru balik baper lagi karena ingat tragedi HP-nya!
"Itu artinya emang kita nggak boleh SMS-an!" Heru menjawab singkat. Bejo melongo. Dia nggak terima.
"Pulsa kamu habis?"
"Aku nggak semiris itu!" Heru kesal juga pada akhirnya. Lihat saja! Ketika Heru bicara dengan Chiko ataupun ayah, dia yang bertingkah menyebalkan. Sekarang malah dia yang kesal karena orang lain. Hukum karma sedang menyapamu, Ru!
Lagi pula, ini terlalu kebetulan. Kenapa Bejo mengenal ayahnya? Kenapa mereka kenal? Padahal jurusan mereka berbeda. Ayah lebih senang bermain dengan hewan, Mas Bejo bermain dengan manusia. Apa anatomi manusia dan hewan sekarang mirip? Atau karena mereka berdua ingin menciptakan sebuah makhluk mutan yang terdiri dari gen manusia dan hewan?
Ru, kenapa kamu jadi berpikir yang nggak-nggak sekarang?
"Kenapa ngirim WA ke kamu juga nggak bisa?"
"Aku males ngaktifin pake data, Mas."
"Kenapa?"
"Karena aku hidup di dunia nyata, bukan dunia maya!" Heru menyentuh dagunya sok bangga. Padahal itu hanya sebuah ungkapan karena dia bingung harus bicara apa lagi. Heru sudah nggak tahan lagi dengan obrolan nggak jelas ini. Meski begitu, anehnya dia nggak merasa bosan.
Mungkin karena Mas b***t menyalurkan aura kejahatan, jadi hati baik Heru seolah sedang berusaha untuk menangkal radiasi kejahatan Mas b***t itu. Heru diam di sana, sementara Mas b***t senang sekali menatapnya. Sesekali mas-mas macho itu terkikik tanpa sebab. Sepertinya dia memang sedang senang. Atau rada gila!
Meski Heru masih kesal karena Mas Bejo sudah membuat HP-nya rusak, namun dia nggak mau meminta ganti rugi. Dengan begitu, Heru nggak perlu membalas SMS dan pesan-pesan nggak penting Mas Bejo. Adil sekali, tahu!
Heru ada di sana tanpa melakukan sesuatu yang berarti. Sunyi. Bungkam. Hingga ayah datang, Heru nggak melakukan apa pun dan hanya duduk diam. Ini rekor untuknya. Dia nggak pernah betah untuk diam, namun sekarang dia berhasil melakukan itu! Duduk tanpa melakukan apa pun dan hanya diam. Menunggu ayah datang. Semua itu karena siapa, Ru? Mas b***t. Iya, benar.
***
"Jangan bilang-bilang siapa pun! Kalau kamu bilang, aku bakalan nindihin badan kamu sampe penyet!" Heru mengancam. Chiko menghela napas dan akhirnya mengangguk. Sepertinya Heru serius sekali ketika mengatakan itu.
"Oke... Oke... Aku juga pinter jaga rahasia, kok!"
"Bagus! Dengerin aku sekarang!"
"Iya... Kamu serius banget, Ru! Bukan kayak kamu yang biasanya, tahu!"
"Pokoknya aku nggak mau punya hubungan apa pun lagi sama Mas b***t! Dia udah masuk blacklist pertemananku."
"Beneran kamu nggak mau ngurusin Mas Bejo lagi?"
Heru mengangguk mantap. "Yakin!"
"Awas kena makan omongan sendiri. Karma itu kadang datangnya jahat banget, lho!"
"Kayak kamu yang udah kebanyakan makan karma aja!" Heru menyindir. Chiko bungkam, namun dalam hati dia terkikik geli. Sepertinya mereka berdua memang terhubung oleh nasib dan takdir yang super aneh. Bagaimana bisa ini jadi kebetulan?
TBC