Kafka tidak akan pernah menyangka, jika selama ia hidup, dua minggu akan terasa seberat ini. Waktu yang ia lewati terasa seperti berabad-abad lamanya. Dua minggu yang tidak akan pernah terpikirkan jika sebesar ini kekosongan yang ada di dalam hati. Tidak pernah satu hari pun laki-laki itu habiskan dengan bahagia. Hanya ada kehampaan dan kesakitan. Membuka mata dan menyadari jika ia tinggal di apartemen ini seorang diri adalah hal yang harus ia terima dengan lapang d**a. Tidak ada lagi aroma sedap atau suara gemuruh di dapurnya saat pagi tiba. Saat ia masih tertidur lelap di atas sofa setelah lelah bekerja. Tidak ada yang membangunkannya dengan aroma kopi di pagi hari lagi yang terasa menyenangkan. Semua itu, semua kenangan yang kini telah hilang dalam hidupnya.
Laki-laki itu memandang sudut tiap sudut ruangan yang ada di sini, di apartemen yang dahulu terasa sepi, kemudian datang seorang gadis dengan perangai hangat, mampu membuat dirinya merasa beruntung menemukan seseorang yang dapat membuat hidupnya lebih berwarna, Gadis itu yang mengubah apartemen ini menjadi tempat yang bisa ia sebut rumah. Penuh kehangatan dan kebahagiaan. Hingga kini, sepi itu datang kembali. Membawa ingatan masa lalunya yang menyedihkan. Hidup seorang diri tidak pernah sesepi ini.
Kafka masih memandangi tiap ruangan dengan mata lelahnya, karena tidak setiap malam pun ia habiskan hanya untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Memandang komputer dan gawai di saat bersamaan. Terus seperti itu hingga matanya terasa panas. Tidak ada rasa lelah sebelumnya. Karena itu ia lakukan untuk mengenyahkan semua bayangan menyenangkan yang kini tidak bisa lagi ia rengkuh. Hembusan napas kasar terdengar, menandakan seberat apa hari-hari yang ia lewati selama ini.
Hingga suara dering terdengar dari gawainya yang berada di atas meja. Laki-laki itu mengambil gawai dengan tidak berniat sedikit pun. Karena pasti, jika bukan email pekerjaan yang harus ia tangani, paling pesan tidak jelas dari beberapa temannya yang mengajak hang out bersama. Namun kali ini tidak. Kafka mengerjapkan mata setelah melihat dari siapa sumber pesan itu masuk. Meski harus mengucek mata beberapa kali untuk menyadarkan pikirannya dari bayang-bayang yang selama ini tidak bisa hilang. Setelah yakin matanya masih bisa melihat jelas sebuah nama yang tertera di sana sebagai pengirim utama, barulah Kafka merasakan mulas di perut. Ia yakin jika bukan kopi penyebab utamanya.
Mengepalkan tangan, Kafka membaca kembali pesan itu sekali lagi. Gadis Paling Manis Se-Antapani. Begitu nama kontak sang pengirim. Tidak mungkin salah baca karena saat ini ia terjaga seratus persen. Kafka berusaha meredakan debaran jantungnya dengan cara menggenggam gawai itu sekuat tenaga. Siapa lagi nama panggilan itu jika bukan diberikan untuk Biandra? Kafka masih memberikan nama itu untuk kontak Biandra di gawainya.
Bisa kita bertemu hari ini?
Kafka menekuni kata tiap kata yang tertera di layar sana. Laki-laki itu masih tidak percaya akan mendapatkan kabar kembali setelah beberapa lama ia hanya mendamba sebuah ketidakpastian. Hari ini, gadis itu menghubunginya kembali. Kafka mati-matian menahan debaran kencang yang ada di dadanya. Sebuah rasa asing yang sanggup membuat perutnya melilit. Rasa asing itu kembali menghampiri, padahal mereka pernah sedekat nadi. Selama ini, ia menahan diri untuk tidak menghubungi lebih dulu. Tidak pernah menyangka juga jika gadis itu akan memberikan sebuah rasa membuncah seperti ini hanya karena sebuah pesan.
Dengan keberanian yang ia pupuk dalam, Kafka menekan gambar gagang telepon hingga suara dering terdengar. Ia menghubungi Biandra dengan perasaan tidak karuan. Semua rasa itu beradu padu dalam hatinya. Menyatu dengan perasaan rindu yang kentara. Sudah di dering keempat, dan masih tidak ada jawaban. Apa mungkin keputusannya untuk menelepon Biandra adalah sesuatu yang salah? Baiklah, jika seperti itu, ia akan mematikan sambungan-
“Halo.”
Kafka bergeming seketika setelah suara itu terdengar indah di telinga. Suara itu, suara yang selama ini menjadi bayang-bayang setiap malam. Kini kembali terdengar nyata. Masih sama seperti dulu, indah dan terdengar menenangkan. Bedanya kali ini, suara Biandra sanggup membuat gemuruh hebat dalam dadanya. Menyatukan segala perasaan yang tercipta.
“Pak Kafka?”
Kafka menutup mata saat getaran itu terasa semakin nyata. Saat Biandra menyerukan namanya demikian. Sebuah panggilan seperti seorang asing saat pertama kali mereka bertemu. Bukankah semakin jelas jika Biandra sudah menganggapnya tidak sedekat itu lagi?
Pak Kafka.
Laki-laki itu tersenyum pedih. Apakah benar jika Biandra akan melupakannya seperti ini? Gadis itu akan meninggalkannya setelah panggilan ini usai?
“Kepencet, kali ya?”
Terdengar suara gadis itu yang berbisik pelan. Berbicara dengan diri sendiri.
“Halo, Biandra.” Kali ini Kafka mengeluarkan suaranya. Ingin memberikan sebuah aksi nyata, jika panggilan ini bukanlah sebuah kesalahan. Sama seperti perasaan mereka selama ini. Kafka menelan ludah dengan susah payah setelah tidak ada lagi sahutan dari seberang telepon. Mungkin Biandra juga bergeming, karena Kafka masih bisa merasakan napas gadis itu yang mulai memberat. Butuh waktu bagi keduanya untuk menetralkan perasaan masing-masing.
“Hari ini Bapak sibuk?”
Kafka membawa kesadarannya kembali saat Biandra bertanya seperti itu. Hening terhempas setelah beberapa saat mengambil alih waktu mereka.
“Tidak, saya tidak sedang sibuk.” Saya memiliki banyak waktu untuk kamu, Bian. Kapan pun itu, saya akan selalu memiliki waktu.
Setelah itu, suara Biandra kembali terdengar. Mengalun indah dengan sebait kalimat yang hampir membuat jantungnya berhenti berdetak.
"Kalau begitu, hari ini bisa kita bertemu? Nanti saya kirimkan alamatnya."
Masih meredakan debaran di d**a, laki-laki itu mengangguk. “Boleh,” jawabnya. Hanya satu kata, karena Kafka tidak kuasa untuk mengatakan banyak hal meski dalam dirinya, tersimpan banyak sekali kalimat kerinduan untuk gadis itu. Setelah sekian lama tidak bersua, Kafka merasakan perasaan aneh saat Biandra mengajaknya untuk bertemu.
“Kalau begitu, saya tutup telfonnya-“
“Kamu apa kabar, Bian?” Kafka memotong kalimat yang belum sempat Biandra selesaikan. Menahan gadis itu agar panggilan mereka tetap terhubung.
“Baik. Sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.” Biandra menjawab pelan. Tak lama setelah itu, Biandra bertanya hal yang sama seperti yang Kafka berikan. “Bapak bagaimana?”
Buruk. Buruk sekali setelah kamu tidak di sini.
“Baik, saya juga baik.” Laki-laki itu tersenyum pedih. Bisa Kafka dengar jika Biandra menghela napas lega dan ucapan rasa syukur dari bibirnya. Setelah itu, Kafka mengucapkan sebuah permintaan dengan gamang. Tidak akan merasa kaget jika Biandra menolaknya. Ia hanya ingin mengucapkan keinginan yang tersimpan di hatinya selama ini.
"Bian, boleh saya meminta satu hal dari kamu? Hari ini ulang tahun saya."
Tidak ada jawaban dari sana. Kafka sampai harus melihat layar gawainya untuk memastikan jika panggilan mereka masih tersambung.
“Iya, saya tahu hari ini Bapak ulang tahun.”
“Kalau begitu, boleh?” Kafka kembali bertanya.
“Apa itu?” Suara Biandra kembali terdengar pelan.
"Bisa kita menghabiskan satu hari sebagai pasangan yang bahagia?" Kafka mengambil napas kemudian menghembuskannya pelan-pelan. "Hanya satu hari ini saja."
Biandra tidak menjawab. Kafka tersenyum pedih. Benar, tidak apa jika gadis itu menolak menyanggupi permintaannya kali ini. Bukankah sudah dibilang, jika Kafka hanya ingin mengatakan kalimat itu saja? Kafka hendak mengakhiri panggilan mereka, hingga gadis itu menjawab lebih dulu.
“Boleh.”
***
Baru kali ini Kafka menunggu seseorang dengan perasaan aneh. Jantung berdegup dengan perut melilit, juga kedua kaki di bawah sana yang tidak mau berhenti bergerak. Saat pertama kali melakukan kerja sama dengan perusahaan besar pun tidak pernah perasaan seperti ini menghinggapi. Bagaimana mungkin, hanya menunggu seorang gadis, memberikan dampak sebesar ini? Padahal biasanya, menunggui Biandra adalah hal yang sangat menyenangkan bagi Kafka.
“Pak,” panggil sebuah suara dari arah belakang. Laki-laki itu menoleh dan sekonyong-konyong, tubuhnya seakan terpaku pada sosok gadis yang saat ini sudah berpindah ke hadapannya. Biandra terlihat berbeda dengan penampilannya sekarang. Rambut pendek sebahu dan riasan di wajahnya sehingga terlihat lebih segar dan ..., cantik. Kafka sampai tidak bisa menghentikan matanya untuk menatap Biandra.
Sadar jika diperhatikan sedalam itu, Biandra menyugar rambut pendeknya ke belakang. Semakin menimbulkan keinginan Kafka untuk mengelus rambut itu. Namun sadar, jika ia tidak bisa melakukan hal seperti itu lagi sekarang. Jadi yang hanya bisa Kafka lakukan, hanyalah meremas kencang gelas minumannya.
Tidak sesulit itu permintaannya untuk Biandra. Kafka hanya meminta untuk menghabiskan waktunya di tempat bermain yang sama seperti yang pernah mereka kunjungi. Bedanya dulu mereka ke sini bersama anak kecil, kali ini mereka hanya berdua. Sesuai permintaan Kafka. Laki-laki itu bangkit setelah mereka hanya menghabiskan waktu dengan saling diam.
“Mau main apa?” Biandra ikut bangkit dan berdiri di sampingnya. Kafka menahan kencang keinginannya untuk meraih jemari gadis itu untuk digenggamnya. Jarak mereka sungguh tidak berarti. Bahkan hanya cukup satu gerakan kecil untuk kedua bahu mereka bersentuhan.
“Kamu mau main apa?”
Gadis itu menatapnya. "Ini hari ulang tahun Bapak, Bapak boleh meminta apa pun kepada saya hari ini.”
Kafka menatap balik kedua mata bulat itu. “Saya boleh meminta apa pun?”
Gadis itu mengangguk yakin.
Kalau saya minta kamu tetap di sini, apakah bisa kamu sanggupi?
“Saya mau kita mengenakan baju couple.”
Gadis itu memandang Kafka beberapa saat. Mengangguk penuh sebagai jawaban bahwa Biandra tidak salah mendengar. Maka di sinilah mereka. Berdiri dengan canggung setelah mengenakan pakaian serupa berwarna senada. Terlihat tidak terlalu mencolok dengan warna yang dipilihkan Biandra.
“Mau makan es krim?” Kafka menoleh kepada Biandra, dan gadis itu mengangguk sebagai jawaban.
“Boleh.”
Kafka kembali dengan dua bungkus es krim di tangan. Satu rasa coklat, satu lagi rasa vanila. Memberikan rasa vanila untuk Biandra. Mereka duduk bersisian sembari menatap ke depan sana. Kafka membuka es krim dan menggigitnya dengan santai. Seolah tidak merasa ngilu saat krim beku itu mengenai giginya. Namun tidak ada pergerakan dari gadis di sampingnya. Laki-laki itu menoleh dan langsung menemukan es krim berwarna putih itu tepat di depan wajahnya, bahkan hampir mengenai hidung.
Tanpa menunggu detik ketiga, Kafka melahap es krim yang disodorkan Biandra untuknya. Hingga gadis itu mengerutkan alis, terlihat kesal.
“Kok punya saya dimakan?”
Es krim yang ia gigit terasa susah untuk ditelan. Kafka menatap gadis si sebelahnya dengan takut.
“Saya minta tukar dengan rasa coklat, padahal.” Biandra memberengutkan wajah. Membuat Kafka mati-matian untuk tidak tertawa dan mencubit pipi gadis itu yang semakin terlihat berisi. Laki-laki itu memperlihatkan es krim coklat yang masih dipegangnya.
“Tapi es krim ini sudah saya makan.”
“Ih, curang,” keluh Biandra. Meski begitu, tangannya mengambil es krim dari tangan Kafka. “Tidak papa kalau masih satu suapan.”
“Bapak juga mau rasa ini? Kenapa tadi tidak beli rasa coklatnya dua saja?”
Kafka tertawa mendengar gerutuan itu. Matanya menatap Biandra dengan tidak putus hanya untuk melihat wajah yang semakin terasa berbeda di pandangannya. Biandra seperti wanita dewasa dengan potongan rambut seperti itu. Kafka asik berjibaku dengan pikirannya hingga Biandra meraih tangannya dengan semangat saat melihat antrean semakin panjang di depan sana. Saat Kafka menahan diri dengan kuat, kini Biandra meruntuhkan pertahanan itu dengan menggenggam tangannya.
“Tinggi saya cukup, tidak ya untuk naik wahana ini?” Biandra bertanya pelan. Merasa tidak yakin sendiri. Tanpa diduga, gadis itu mengeluarkan beberapa lembar tisu dari dalam tasnya untuk kemudian memasukkan gulungan tisu itu ke dalam sepatu. Satu tangannya berpegangan pada lengan Kafka karena tidak menemukan tumpuan lain di sana. Tentu saja laki-laki itu tidak merasa keberatan.
“Sstt ..., jangan bilang siapa-siapa, ya.”
Kafka tertawa seketika. Sebuah tawa yang membawa tangannya tidak sadar untuk mengacak rambut gadis itu. Beberapa detik, tawanya berhenti dan memandang Biandra dengan tatapan canggung yang kentara.
“Maaf, Bian. Saya tidak sengaja.”
“Tidak papa, biarkan saja seperti ini. Tangan besar Bapak bisa menghalangi panas matahari di kepala saya.” Biandra menahan tangannya di sana. Kafka hanya bisa bergeming setelahnya. Tidak peduli tangannya dijadikan tameng. Ayo matahari, tunjukkan sinarmu lebih berani.
***