bc

Just Because

book_age4+
5
FOLLOW
1K
READ
others
drama
tragedy
comedy
sweet
humorous
highschool
another world
friendship
tricky
like
intro-logo
Blurb

"Kamu menyukainya, begitupun aku. Lalu, apa masalahnya?"

Ayi mendapatkan sebuah surat. Surat yang berisi diary seseorang yang sedang merahasiakan hidupnya. Surat yang membuatnya menyadari bahwa ada seseorang yang harus diselamatkan. Surat yang berasal dari masa depan.

chap-preview
Free preview
Hanya karena dia telah pergi.
Jika tak bisa mengingatku sesering mungkin, maka ingatlah aku sesempat yang kau bisa. “Kenapa?” Yandra bertanya pada seorang laki-laki yang terus memperlihatkan punggungnya, tidak mau menampakkan wajahnya. Yandra menatapnya, menuntut jawaban yang memuaskan dengan pertanyaan yang masih sama. “Jika kau tanya kenapa, jawabannya hanya karena ....” “Hanya karena kau lebih menyukainya, lebih dekat dengannya, dan lebih mengenalnya dariku?” Yandra cepat menyambung perkataan dari laki-laki yang kini sudah menoleh, berbalik dengan cepat ketika menatapnya tak percaya untuk sesaat. Lalu, tatapannya kembali menyedihkan seperti sebelumnya. Perubahan ekspresi yang seperti itu membuat situasi antara mereka terasa tidak nyaman. “Aku tidak tahu bahwa kau tahu hal yang seperti itu,” jawabnya. Akan tetapi, sebuah pukulan dilayangkan pada wajah laki-laki itu. Yandra melakukannya sambil menahan sesuatu, kemudian kembali berkata, “Aku tahu, benar-benar tahu!” Ia berteriak. Betapa tidak, seseorang yang berdiri di depannya itu mengatakan agar Yandra segera mengakhiri masa untuk perasaannya yang ia sembunyikan, sedang Yandra tahu bahwa ada hal yang lebih mendesak daripada itu. Sesuatu yang lebih penting. Karena laki-laki yang sudah menjadi temannya itu sepertinya tak berniat untuk menyelesaikan perkataannya. Sama seperti kisah mereka yang sudah sudah dialurkan. “Aku menyukainya, sungguh,” ucap Yandra, masih sambil menangis. “Aku tahu. Untuk itulah tolong jadilah masa depannya.” Yandra hampir menangis. "Kau menyakitinya. Dia akan membencimu jika suatu saat nanti dia tahu." Laki-laki itu hanya diam, ia sudah tahu akan mengalami hal itu suatu saat nanti di masa depan. Namun, ia bisa memastikan bahwa dirinya tidak akan bertemu saat hal itu terjadi. Hidupnya seakan berakhir ketika kisahnya juga berakhir. *** Laki-laki muda berkacamata terlihat duduk di kursi santai sebuah ruangan. Ia sedang membaca buku di perpustakaan mini yang ada di sebelah ruang tamu rumahnya. Masih betah. Laki-laki itu bahkan tak menyadari kedatangan langkah kecil yang tertatih saat mendekatinya. Langkah anak perempuan yang baru berusia hampir satu setengah tahun. Langkah yang masih belia untuk mengenal dunia di luar sana. “Ta … ya.” Cicitan kecil dari gadis mungil itu membuat laki-laki tadi menoleh dan menyadari kehadirannya. Gadis kecilnya dari gadis yang dicintainya. Cinta keduanya. Bergegas menutup lalu meletakkan buku yang sudah tak dibacanya lagi ke atas sebuah meja. “Jia? Mama kamu mana?” tanyanya pada gadis kecil yang masih berusaha berjalan ke arahnya. Laki-laki itu mendekat kemudian menggendongnya. “Mam mam.” Suara gadis kecil itu terdengar lagi. Ia menunjuk ke arah pintu kamar, seolah memberitahukan di mana mamanya berada. Laki-laki tadi tersenyum setelah mencium pipi anaknya. “Sayang!” serunya, memanggil ke arah kamar dengan pintu yang sedikit terbuka. Ia masih menunggu, tapi tidak ada sahutan sampai beberapa saat. Hingga tak lama, muncullah seorang wanita dengan wajah khawatirnya dari balik pintu. “Kamu ada lia–ah! Ternyata ada di sini.” Napas lega terdengar terembus dari wanita itu. Wajahnya yang semula cemas, berubah saat melihat gadis kecil yang dicarinya itu sudah ada dalam gendongan laki-laki yang juga menjadi cinta keduanya. “Kamu udah siap?” tanya laki-laki itu, melihat penampilan orang yang berdiri di depannya. Ia sudah melepaskan kacamata bacanya. Wajahnya sedikit berbeda dari saat ketika ia memakai kacamata tadi. Terlihat semakin ... tampan. Ah, wanita itu sudah jatuh cinta padanya untuk yang kesekian kalinya. Kesekian juta kalinya. Berlebihan? Hampir semua orang pasti akan berlebihan dalam mencinta. Mereka saling tersenyum. “Udah, nih. Aku tadi nyari Jia, soalnya dia nggak ada di kamarnya,” sahut si wanita dengan wajah baby face, kemudian mengulas senyum. Ia terlihat memakai baju rajut tebal berlengan tanggung, dengan celana jeans berwarna cream. Terlihat syal hitam yang mengalung di lehernya. Rambut sepunggungnya terselip di antara lilitan kain melingkar itu. Penampilannya itu memberi kesan manis. “Ta ya!” Lagi-lagi suara gadis kecil yang masih ada dalam gendongan laki-laki itu terdengar, menginterupsi sepasang manusia yang ada di sana. Laki-laki tadi terkekeh, lalu mencium pipi gempalnya lagi. “Iya, iya. Jia nggak nakal, kok,” tuturnya dengan suara membujuk dan mentoel hidung si kecil. “Mam mam,” ujarnya lagi. Kali ini menampakkan gigi kecilnya pada si laki-laki, diiringi dengan tangannya menunjuk wanita yang masih terlihat memperhatikan mereka dari jauh. Laki-laki itu tersenyum, kemudian melangkah mendekat ke arah wanita yang masih berdiri. Ia menatap lembut wajah istrinya dan saling tersenyum. Senyum yang masih sama yang berhasil membuat wanita itu jatuh cinta padanya tiga belas tahun yang lalu. Senyum dan kisah mereka masih manis sampai sejauh ini. “Ini masih pagi,” cibir si wanita, lalu memberikan ciuman pada anaknya yang terlihat memainkan tangannya. Laki-laki tadi hanya nyengir. Suami dan anaknya itu kini sama-sama menampilkan gigi mereka. Sedikit menyebalkan dengan penuh rasa cinta. Sang suami tiba-tiba berubah cemberut dengan gaya yang berlebihan. “Aku nggak, nih?” tuntutnya, ingin diperlakukan sama seperti gadis kecil yang masih dalam gendongannya itu. “Yeee, masih pagi ini. Nggak malu apa?” paparnya, mencubit pipi laki-laki yang sudah menjadi suaminya selama dua tahun ini. “Kamu kok gitu, sih?” seru laki-laki itu. Ia menyembunyikan pipinya yang tiba-tiba memerah. Tersipu jika digoda sang istri seperti ini. Wanita itu terkekeh geli melihat ekspresi suaminya yang terlihat lucu itu. Di umur yang hampir tiga puluh itu, mereka masih saling menggoda satu sama lain. “Yaudah, yuk berangkat sekarang, aku tadi juga udah ngabarin Ahsa sama Dena.” Sambil tersenyum puas, sang istri beranjak ke luar lebih dulu. Laki-laki itu hanya mengangguk dan mengikuti langkah wanita yang dicintainya lebih dulu sejak lebih dari tiga belas tahun yang lalu. Wanita yang juga menjadi cinta pertamanya. Hari ini, ketiga orang itu akan pergi ke tempat yang selalu mereka datangi setiap tahun. Tempat di mana orang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya berada. Seorang yang berharga dan tak terlupakan. *** “Iya Na. Ini masih di jalan.” “Iya, mau beli bunga dulu. Kalian tunggu aja.” “Iya, iya. Dah.” Panggilan via telepon itu berakhir. Wanita yang menjadi lawan bicara orang yang di seberang telepon tadi bernapas lega. “Mereka udah sampai, Bee?” tanya sang suami yang duduk menyetir di sampingnya. “Belum,” sahut wanita itu sedikit menggeleng. Sang suami hanya membalasnya dengan bergumam. Hening. Laki-laki yang menunjukkan ekspresi ragu, akhirnya memutuskan untuk mengatakan apa yang sedari tadi ia pikirkan. “Ayi,” panggilnya pada sang istri. Merasa namanya dipanggil, wanita itu menoleh. Pipinya yang hanya dipoles sedikit make up, kehilangan rona saat ekspresinya berganti serius. Ia tidak berniat merespon. Panggilan itu kali ini terdengar menjurus, tanpa ada embel-embel sayang atau panggilan mesra lainnya. Namanya benar-benar dipanggil oleh orang yang membuat kisah cintanya memiliki alur dan latar, seseorang yang meromantiskan kisah cintanya. Ayi. Nama itu ia ucapkan setelah sekian lama. Nama yang penuh dengan kenangan. Wanita yang dipanggil tak memberikan respon. Seolah mengerti kenapa sang suami memanggilnya. Ia tak ingin lagi. “Kamu masih …. “ Namun, sang suami tak berniat melanjutkan pertanyaannya saat melihat ekspresi sang istri yang tak berubah. Ia memilih untuk menyerah tanpa menyelesaikan kalimatnya, menoleh sekilas pada wanitanya dan kembali fokus pada jalanan di depan. Hening sejenak. Mereka berdua sama-sama berpikir dan menyelami ingatan berharga dengan pikiran masing-masing. Sang istri kemudian menghela napas sebelum akhirnya menjawab, “Kalau kamu nanyanya sampai kapan, aku nggak bisa jawab, Ndra. Tapi ....” Ia menggantung kalimatnya sebelum akhirnya melanjutkan, “kalau kamu nanya untuk sekarang … iya.” Ayi menjawab sambil menatap satu titik di kaca depan mobil. Kata-katanya tegas tanpa ada nada tertekan atau pun terpaksa. Apa yang Yandra maksud adalah tentang bagaimana perasaan Ayi terhadap seseorang yang akan ditemuinya nanti. Suasana kembali hening. Tidak ada di antara mereka yang membuka suara. Rasanya benar-benar canggung. Dua orang itu sepertinya akan tetap begitu jika tidak ada yang bertindak. Untuk itulah, laki-laki yang bernama Yandra memilih untuk mengambil peran itu. Napasnya sudah tenang. “Kamu nangisnya nanti aja, ya. Malu nanti pas beli bunganya,” ledek Yandra, ia yang sudah terkekeh, menghapus semua pikiran yang sempat ia renungkan. Ia berusaha mengembalikan suasana yang sempat canggung. Belum, belum saatnya ia cemburu. “Apaan, sih. Siapa juga yang nangis,” cerca Ayi, wajah cemberut yang hanya sebagian darinya benar. Tawa mereka akhirnya pecah. Suasana kali ini lebih cair. Si gadis kecil mereka masih duduk nyaman di kursi belakang tanpa tahu apa sedang orang dewasa bahas. Ayi merasa tenang. “Sayang,” panggil Ayi lagi. Kecanggungan yang pernah hadir beberapa saat lalu di antara mereka, sudah menguar dan ikut hilang bersama tawa mereka. Terbang bersama udara lembab pagi itu. Mereka masih dalam perjalanan. Panggilan dari Ayi membuat Yandra menoleh. Mereka saling tatap untuk sesaat. Tenang saja, tetap masih ada cinta pada tatapan itu. Ayi memutus kontak mata dan bersandar ke belakang. “Maaf,” lirihnya pelan. Ia tidak tahu apa yang ingin dikatakan pada laki-laki yang menjadi cinta tak disadarinya dulu. Yandra tersenyum, kemudian menggenggam erat tangan kanan Ayi yang kosong. Ia menarik napas dan mulai bernyanyi. Menyanyikan salah satu dari sekian lagu yang disukai istrinya. Lagu untuk seseorang. No apologies He’ll never see you cry. Pretend he doesn’t know That he’s the reason why You’re drowning You’re drowning You’re drowning. Jika ada seseorang di sana, ia juga pasti akan mengatakan hal itu. Ayi sontak menoleh pada Yandra yang kini tersenyum lebar. Ia mengerti dan bergumam pelan, “Taylor Swift.” Ada sedikit rasa aneh saat Yandra yang tersenyum menjawab, “Bukan, tapi I Knew You were Trouble.” Mendengar jawaban itu, Ayi yang mulanya mengernyit, kini berubah terkekeh. Ia merasa perasaannya dilindas oleh potongan lirik yang dinyanyikan Yandra tadi. Potongan kata yang seolah menertawakan keadaanya saat ini. Perasaan itu kembali. Yandra mengulang tarikan napas panjangnya. Ia sendiri mulai ragu antara ingin melanjutkan atau menyudahi saja lirik tersebut. Namun, Ayi terlihat mulai antusias. Jadi, ia memilih untuk melanjutkan saja. Now I heard you moved on from whispers on the street. A new notch in your belt is all I’ll ever be. And now I see, now I see, now I see. Ada jeda di antara potongan lirik kali ini. Yandra menggunakan waktu itu untuk melihat wajah Ayi yang ternyata sudah sedikit berubah. Ada raut rindu dan juga marah di sana, berbaur dengan sedikit ketidakrelaan dan penyesalan. Yandra tahu karena ia menyaksikan apa yang sudah Ayi jalani sebelum menjadi ia yang sekarang. Wanitanya itu memiliki rasa tak rela yang besar. Namun, karena merasa bersalah, Yandra menghentikan lagunya. Ayi yang menyadari itu menoleh, ia segera memasang senyum. Bukan senyum yang Yandra harapkan. Ia terlihat sangat menyedihkan. Seseorang yang sedang minta dikasihani. Namun, Yandra bukanlah seorang yang begitu kuat hingga harus mengasihani orang lain. Mereka saling menatap dalam diam, hingga Ayi sendiri yang melanjutkan liriknya. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya tak selemah itu untuk dikasihani. He was long gone when he met me. Benar. Dia yang saat ini Ayi rindukan, memang telah pergi. Mengingat apa yang akan menjadi kata selanjutnya itu, membuat Yandra sangat menyesali di mana ia menjedakan lirik sebelumnya. Apakah semuanya akan baik-baik saja nanti dan saat ini? Namun, alih-alih menangis seperti yang dikira Yandra, Ayi justru mengeluarkan suara tawa yang mau tak mau membuat perasaan Yandra seperti disiram air dingin. Tawa yang bukan menandakan keriangan seperti Ayi yang ia kenal. Akan tetapi, perasaannya semakin dingin ketika menoleh dan mendapati Ayi yang masih tertawa, tapi … ada air mata yang menyertainya. Ayi menangis. Seseorang di luar sana, kini menjadi pusat kenangannya. Seorang yang sudah tak memiliki apa pun, termasuk hidupnya sendiri.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Head Over Heels

read
15.9K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

DENTA

read
17.1K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.9K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook