Retrouvaille

2444 Words
Sulit melupakan seseorang yang memberimu begitu banyak kenangan, baik kenangan pahit maupun kenangan manis.   -          Anonim   *****   Kim Nara paling tidak suka jika ada orang yang menyentuh atau bahkan memeluknya secara tiba-tiba. Apalagi, jika yang melakukannya adalah orang asing. Dorongan, pukulan membabi buta, dan berbagai sumpah serapah pasti akan langsung Nara berikan pada orang itu. Namun, hal berbeda justru ditunjukkan olehnya paska seorang pria memeluknya tanpa izin beberapa saat lalu. Gadis itu terdiam dengan wajah yang tampak tak menyangka. Seulas senyum tipis dan mata berkaca-kaca turut menghiasi raut cantiknya.   Nini, Nara membatin penuh suka cita. Ya, rupanya pria lancang yang hampir Nara serapahi tadi adalah Kim Jeongin, kembarannya. Pria yang saat ini sudah berusia tiga puluh empat tahun tersebut memeluk Nara guna menyelamatkan gadis itu dari tabrakan sepeda.   “Nona, kau tidak apa-apa, kan?”   Suara Jeongin yang mengalun dengan lembut membuyarkan lamunan Nara begitu saja. Gadis itu segera mengerjap dan menetralkan ekspresi wajahnya. Sungguh, tidak biasanya Nara bersikap melankolis. Saat bertemu dengan Sehan saja ia tidak sampai bereaksi seperti ini. Ya ampun, kenapa aku jadi cengeng begini? Nara merutuk.   Nara berdeham sebelum menjawab, “Y-Ya, aku baik-baik saja, Ni—Mm, maksudku Tuan.“ Kemudian senyum manis ditampilkan oleh gadis itu.   Jeongin mengembuskan napas leganya. “Syukurlah kalau begitu. Maaf, tadi aku refleks memelukmu—“   “Eh, tidak apa-apa, kau tidak perlu meminta maaf, Tuan. Aku justru sangat senang karena kau memelukku.”   “Hah?” Sontak saja pernyataan Nara membuat Jeongin membelalakkan mata terkejut. Pria itu menatap Nara yang tersenyum manis dengan tatapan bingung.   Alih-alih merasa gugup dan salah tingkah karena berbicara terlalu frontal, dengan percaya dirinya Nara berujar, “Karena aku fansmu, itu sebabnya aku begitu senang dan merasa terharu tadi.”   Jeongin tampak semakin tak menyangka. “Kau tahu … siapa aku?”   Nara mengangguk dengan mantap. “Tentu saja! Kau adalah Kim Jeongin, ballerino dan koreografer terkenal asal Korea Selatan yang selama hampir sebelas tahun ini tinggal di LA dan kerap melakukan kerja sama dengan penyanyi-penyanyi papan atas Hollywood.”   Jeongin menatap Nara takjub sampai tidak bisa berkata-kata. Ia bahkan tidak berkedip untuk beberapa saat. Jeongin tersipu. “Aku tidak menyangka kalau aku punya fans,” ujarnya sambil mengusap tengkuk.   Nara hanya mengulum senyum. Sebenarnya ia tidak sepenuhnya berbohong saat bilang bahwa ia adalah fans Jeongin. Sejak kecil Dain memang mengagumi bakat menari yang dimiliki oleh sang kembaran dan selalu bilang bahwa ia adalah fans nomer satu Jeongin. Bahkan sampai detik ini pun klaim itu masih berlaku.   “Tapi kenapa kau mengidolakanku? Maksudku, remaja seumuran dirimu biasanya menggilai para aktor atau grup idola, tapi kau justru menyukaiku. Padahal aku tidak seterkenal para anggota grup idola.”   Karena kau kembaranku dan aku tahu kau adalah penari yang hebat, lebih dari siapapun. “Aku memang punya selera yang berbeda dari remaja kebanyakan,” Nara menjawab sambil mengangkat bahunya dan tersenyum manis. Membuat Jeongin mengangguk-angguk mengerti dan ikut tersenyum.   “Terima kasih karena mengidolakanku, Nona ….”   “Kim Nara. Lihat! Bahkan marga kita pun sama.”   Jeongin tertawa mendengar celetukan Nara. Astaga, tawa Jeongin masih serenyah dulu. Nara jadi  ingin memeluk pria itu lagi, tapi apa daya, ia harus menahan diri.   “Oh ya, omong-omong sedang apa kau di Seoul? Berlibur?” Akhirnya Nara menyuarakan pertanyaan yang sejak tadi berputar-putar di kepalanya. Seingatnya, Jeongin beberapa bulan terakhir disibukkan dengan berbagai workshop dan project di Amerika Serikat. Lantas, kenapa sekarang ia berada di Seoul?   “Ah, sebenarnya sudah tiga hari aku pindah ke kawasan ini—“   “Jadi kau sekarang menetap di Seoul? Lalu bagaimana dengan karirmu di LA?” Reaksi Nara yang tampak berlebihan membuat Jeongin mengernyitkan dahi. Namun, sedetik kemudian Jeongin justru terkekeh.   “Kontrakku di LA sudah habis dan aku pindah ke Seoul karena mendapatkan kontrak kerja di sebuah agensi hiburan.”   “Wah!” Nara bertepuk tangan. Rautnya yang tadi tampak begitu kaget tergantikan dengan raut gembira sekaligus bangga. “Itu artinya aku bisa sering bertemu denganmu, kan? Apalagi kita juga bertetangga. Aku senang sekali!”   “Bisa dibilang begitu.” Jeongin mengangguk.   “Kalau begitu mampirlah ke rumahku!”   “Eh?”   Nara tertawa melihat keterkejutan Jeongin atas ajakannya. “Kenapa kau bereaksi begitu? Aku kan hanya bersikap selayaknya tetangga yang baik. Nanti kapan-kapan aku yang akan berkunjung ke rumahmu dan membawakan tteokbeokki. Itu makanan favoritmu, kan?”   “Dari mana kau tahu itu makanan favoritku?”   “Aku kan fansmu, itu sebabnya aku tahu banyak soal dirimu,” Nara mengatakannya dengan penuh rasa bangga. Membuat Jeongin lagi-lagi terkekeh karena tingkah lakunya.   “Jadi, bagaimana? Kau mau kan mampir sebentar ke rumahku? Aku hanya ingin mengenalkanmu sebagai tetangga baru sekaligus idolaku kepada Ayah dan Ibu. Kumohon!”   Jeongin tampak menimbang-nimbang begitu melihat permohonan Nara. Tak lama kemudian, anggukan pelan pun ia berikan sebagai jawaban. Membuat Nara bersorak kegirangan karenanya.   “Ayo!”   *****   “Kenapa sejak tadi kau terus tersenyum seperti orang gila?” Chaeyoung bertanya dengan nada heran sebelum meletakkan pantatnya di kasur. Gadis itu baru kembali dari dapur, mengambil makanan dan minuman untuk Nara. Mereka sedang belajar bersama di rumah Chaeyoung guna menghadapi ujian yang sudah ada di depan mata. Oh, atau lebih tepatnya Nara datang untuk mengajari sahabatnya itu.   Masih dengan senyum di wajah, Nara menggeleng. “Aku hanya sedang senang saja.”   “Senang karena?”   Alih-alih menjawab, Nara justru mencubit pipi Chaeyoung dan membuat sahabatnya mengaduh.   “Aw!”   “Makanya jangan banyak bertanya! Kau ini cerewet sekali.”   “Nara, aku kan hanya ingin tahu! Lepaskan! Ini sakit, tahu!” Chaeyoung masih berusaha melepaskan diri, sementara Nara terkekeh melihat ekspresi gadis itu.   Beberapa detik kemudian, Nara pun melepaskan cubitan pada pipi Chaeyoung. Chaeyoung menatap Nara sengit sambil mengusap-usap pipinya yang merah. “Kau ini sahabat macam apa sih? Hobi sekali menyakitiku.”   “Itu tanda sayangku padamu, Chae.”   “Tanda sayang apanya? Cih!”   Nara hanya sibuk tertawa kemudian meminum jus yang dibawakan oleh Chaeyoung. Entah kenapa belakangan ini mengganggu Chaeyoung terasa lebih menyenangkan daripada biasanya. Ah, bahkan rasanya Nara memang terlihat lebih ceria usai membuat kesepakatan dengan Sehan dan bertemu dengan Jeongin. Nara merasa hidup kembali.   "Kau sedang jatuh cinta, ya?" tuduh Chaeyoung sembari memicing curiga.   Nara langsung tergelak dan balik melontarkan pertanyaan. "Kenapa kau berpikir begitu?"   "Akhir-akhir ini kau bersikap di luar kebiasaan. Benar-benar tidak khas Kim Nara. Kau juga terlihat lebih ceria dan bersemangat daripada biasanya. Aku yakin kau pasti sedang jatuh cinta, kan? Mengaku saja!"   Bukannya menjawab, Nara justru berpura-pura berpikir, sengaja membuat Chaeyoung semakin penasaran. Tak lama kemudian, dia merangkul bahu Chaeyoung dan berujar, "Asal kau tahu saja, Chae, perasaan ini lebih hebat daripada jatuh cinta." Senyum lebar di wajah Nara menjelaskan betapa bahagianya di saat ini, tapi tetap saja Chaeyoung masih tidak mengerti.   "Memang perasaan apa yang lebih hebat daripada jatuh cinta?" tanya Chaeyoung dengan nada polos. Nara hanya tersenyum penuh teka-teki.   "Sulit menjelaskannya, tapi yang jelas aku merasa sangat bahagia saat ini dan itu bukan hanya karena aku jatuh cinta."   "Eh, tapi siapa orang itu? Maksudku, orang yang membuatmu jatuh cinta. Apakah ...." Raut Chaeyoung terlihat gugup saat akan melanjutkan. " ... Jung Jaeyoon?"   Yang sontak saja membuat Nara langsung tertawa terbahak-bahak bahkan sampai memukul paha. Chaeyoung merengut melihat respons gadis itu.   "Ya! Kenapa kau tertawa seperti itu?" Chaeyoung merajuk.   Memulihkan diri dari tawanya, Nara pun menjelaskan, "Astaga, Park Chaeyoung. Mana mungkin aku jatuh cinta pada Jung Jaeyoon? Aku sudah kenal dia sejak kecil dan aku tahu semua tentang dia. Aku tidak akan jatuh cinta padanya."   "Seperti katamu tadi, kalian kan kenal sejak kecil, mana mungkin kalian tidak pernah punya perasaan satu sama lain?"   "Begini, Chae, aku dan Jaeyoon tidak memandang satu sama lain sebagai lawan jenis. Bahkan kami berdua berani bertaruh kalau kami tidak akan pernah bersama walau nanti dunia kiamat. Lagi pula ...." Nara sengaja menjeda demi memerhatikan wajah Chaeyoung yang tampak sekali penasaran. Senyum menggoda Nara tampilkan sembari berujar, "... Jaeyoon kan menyukai gadis lain dan aku tahu siapa gadis itu."   Seperti dugaan Nara, Chaeyoung langsung membelalak terkejut dan beringsut. "Si-Siapa? Apakah Kim Yeri? Oh, atau jangan-jangan Kang Mina? Jung Chaeyeon? Siapa, Nara?"   Alih-alih menjawab, Nara lagi-lagi tertawa. Membuat Chaeyoung menjadi gemas karena pertanyaannya tidak segera membuahkan jawaban. Dia terus merengek membujuk Nara agar segera memberikan jawaban.   "Kau ini benar-benar tidak peka, ya?" Nara mendengus. Chaeyoung menatapnya bingung. Nara hanya menggeleng dan membuka buku Matematika. Mencari halaman tertentu kemudian menunjukkannya pada Chaeyoung.   "Kerjakan soal nomer 1 sampai 5. Kalau kau benar paling tidak tiga nomer, akan kuberitahu siapa yang disukai Jaeyoon saat ini."   Chaeyoung mengerang. "Nara ...."   "Kerjakan saja. Tujuanku ke sini adalah untuk mengajarimu. Kalau kau ingin menanyakan sesuatu di luar materi, kau harus menjawab soal-soal itu dulu. Hanya perlu tiga soal yang benar kok."   “Baiklah, akan kukerjakan,” desah Chaeyoung kemudian yang membuat Nara tersenyum geli.   *****   Kegiatan belajar pun berlanjut sampai jam makan malam. Karena kedua orang tuanya berada di luar negeri dan kakaknya belum pulang kerja, Chaeyoung mengajak Nara agar sekalian makan bersama. Nara menyanggupi.   “Tidak usah, aku pulang sendiri saja,” tolak Nara paska Chaeyoung menawarinya agar diantar pulang oleh Paman Shin, sopir keluarganya. Chaeyoung berdecak dan menggeleng tegas.   “Kau tidak boleh pulang sendiri! Ini sudah malam dan aku tidak mau terjadi apa-apa padamu. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena telah mengajariku dan memberitahuku soal Jaeyoon.” Chaeyoung tersenyum malu sambil berkata begitu.   "Ingat, kau harus berpura-pura tidak tahu sampai Jaeyoon menyatakan perasaannya sendiri padamu," Nara berpesan. Chaeyoung mengangguk.   "Kupanggilkan Paman Shin, ya agar kau diantar oleh Beliau."   “Tidak usah, Chae. Aku kan sudah sering pulang sendiri—“   “Aku tahu, tapi tidak ada salahnya kan kalau kau diantar pulang kali ini? Paling tidak dengan begitu aku bisa tenang.” Chaeyoung mulai melancarkan jurus andalannya berupa aegyo. “Kumohon, Nara. Kau tidak mau melihatku mati cemas, kan?”   “Baiklah,” Nara menghela napas pasrah. Dia memang paling tidak tahan jika melihat sahabatnya itu sudah bersikap sok imut. Baginya itu menggelikan! Jawabannya berhasil membuat Chaeyoung berdecak senang.   “Baiklah kalau begitu—“   “Biar aku saja yang mengantarnya pulang.”   Sebuah suara mendistraksi atensi kedua gadis remaja itu. Mereka menoleh dan mendapati Chanyoung sudah berdiri di ambang pintu sambil tersenyum lebar. Sepertinya pria itu mendengar percakapan Nara dengan sang adik.   Nara buru-buru menjawab, “Tidak usah. Aku diantar Paman Shin saja.” Sungguh, Nara paling tidak suka kalau disuruh berurusan dengan kakak sahabatnya itu. Entah kenapa, sejak awal bertemu Nara tidak suka dengannya. Ada rasa tak nyaman yang sulit dijelaskan ketika dia berdekatan dengan Chanyoung. Apalagi ketika Nara mulai menyadari sesuatu tentang pria itu.   Chanyoung menampakkan senyum yang seolah mengejek. “Sayangnya, Paman Shin baru saja berangkat ke bandara untuk menjemput Ayah dan Ibu. Itu artinya yang tersisa hanyalah aku.”   “Lho, bukannya Ayah dan Ibu baru pulang lusa?” Chaeyoung lebih dulu memberi respons atas pernyataan Chanyoung. Chanyoung mengangkat bahu.   “Sesuatu terjadi, itu sebabnya Ayah dan Ibu memajukan jadwal kepulangan. Aku baru tahu dari Paman Shin tadi sebelum dia pergi.”   Chaeyoung mengangguk mengerti. “Kalau begitu biar Kakak saja yang mengantarmu pulang, Nara.”   Nara sudah hampir melancarkan penolakan, tapi urung dia lakukan karena tidak ingin berdebat lagi dengan sahabatnya. Maka dari itu, Nara pun mengangguk walau setengah hati. Dia bertekad tidak akan mau diajak bicara Chanyoung selama di perjalanan pulang nanti.   *****   “Kenapa sih kau membenciku?”   Itu adalah hal pertama yang Chanyoung tanyakan di sepanjang sepuluh menit perjalanan mereka. Dan seperti tekad Nara tadi sebelum berangkat, dia tidak menjawab sama sekali. Akan tetapi, Nara cukup merasa terkesan karena Chanyoung seolah dapat membaca isi hatinya kepada pria itu. Apakah terlihat sekali dari sikap dan raut wajahnya?   “Apa ini karena kejadian di minimarket waktu itu? Bukankah harusnya aku yang marah padamu? Tapi kenapa justru kau yang bersikap seolah memusuhiku?”   Nara masih menerapkan silent treatment dan melengos begitu saja. Menjawab pertanyaan Chanyoung dinilainya terasa percuma. Nara juga tidak tahu alasan pasti kenapa dia tidak menyukai Chanyoung. Ya, Nara bukannya benci pada pria itu. Dia hanya merasa tidak suka dan tidak nyaman berada di sekitar Chanyoung dan itu bukan semata-mata karena kejadian di minimarket.   Sadar kalau pertanyaannya tidak akan berbuah jawaban, Chanyoung hanya mampu menghela napas pasrah. Fokusnya kembali terarah ke depan. Sisa perjalanan mereka dilewati dalam kesunyian.   "Aku tahu kau tertarik padaku."   Kalimat itu terlontar dari bibir Nara tepat ketika mobil berhenti di depan rumahnya. Chanyoung menatap Nara terkejut. Nara pun mengalihkan atensi kepada pria di sampingnya.   "Aku tahu aku pasti terdengar terlalu percaya diri, kan? Tapi aku sudah tahu kalau kau memiliki ketertarikan padaku sejak kau mengantarkanku pulang untuk pertama kali. Itu juga yang membuatku tidak nyaman berada di sekitarmu."   Nara bisa melihat Chanyoung terperangah tak percaya karena mendengar penjelasannya. Dia menyeringai kemudian melanjutkan, "Maaf, Kak, tapi aku harus bilang padamu kalau sudah ada pria lain yang kucintai. Jadi, sebelum perasaanmu semakin dalam, lebih baik kau hilangkan saja perasaanmu itu. Ini bukan soal umur kita yang berbeda jauh atau statusmu sebagai kakak dari sahabat baikku. Hanya saja, perasaanku memang sejak awal hanya untuk pria ini."   "Pria?" Chanyoung tampak keheranan. "Maksudmu, orang ini ...."   "Ya, dia seseorang yang lebih tua dariku dan mungkin seumuran denganmu. Itu sebabnya tadi aku bilang ini bukan masalah umur, bukan? Ini soal perasaan. Aku mencintainya sejak dulu dan rasa cintaku terlalu dalam untuknya. Maka dari itu, aku ingin kau menghilangkan perasaanmu padaku."   Chanyoung tampak terdiam, mencerna semua perkataan Nara. Beberapa detik kemudian, keterdiamannya berubah menjadi seulas senyum getir.   "Baiklah kalau itu maumu. Aku akan berusaha menghilangkan ketertarikanku padamu."   "Good for you."   Nara sudah hampir keluar mobil ketika suara Chanyoung mendistraksi niatannya. "Tapi kita masih bisa menjadi teman, bukan?"   Nara tersenyum, tapi senyumnya tampak meremehkan. "Maaf, tapi aku tidak berteman dengan orang yang menyukaiku." Begitu saja, kemudian Nara benar-benar keluar dari kuda besi Chanyoung.   "Kim Nara!" Sebuah suara terdengar sekeluarnya Nara dari mobil. Senyum merekah terukir di wajah gadis itu saat melihat sosok Kim Jeongin berjalan ke arahnya. Pria itu melambaikan tangan yang langsung dia balas dengan antusias.   "Kau mau ke mana?" Nara bertanya begitu Jeongin berada tepat di hadapannya.   Jeongin menjawab, "Aku baru pulang kerja dan mau mampir ke rumahmu sebentar untuk mengantarkan ini." Pria itu menyerahkan sebuah flashdisk yang menuai kerutan di dahi Nara.   "Ini apa?"   "Kim Nara, ponselmu ketinggalan."   Alih-alih jawaban Jeongin, suara dan kehadiran Chanyoung-lah yang menyapa Nara. Pria itu mengulurkan tangannya yang memegang ponsel.   Nara terkesiap. "Oh, terima kasih," ujarnya. Namun, usai Nara menerima ponsel dan mengucapkan rasa terima kasihnya, Chanyoung tidak kunjung beranjak. Membuat Nara dilanda kebingungan.   "Hei, kenapa kau diam saja dan tidak segera pergi?" tanya Nara ketus. Dia menatap Chanyoung yang justru terdiam—nyaris melamun dengan tatapan jengkel. Akan tetapi, pada detik selanjutnya ia menyadari sesuatu.   Chanyoung terdiam seperti patung karena melihat sosok Jeongin di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD