Yang namanya takdir sudah digariskan bahkan sejak manusia belum lahir ke dunia. Sekeras apa pun menyangkal atau menghindarinya, pasti akan tetap terjadi juga. Termasuk tentang pertemuan dua insan.
*****
“Minggir!”
“Aku tidak mau.”
Nara menghela napas berusaha sabar, tapi tatapan penuh rasa muak dan kesal masih terpancar jelas dari hazelnya. “Lukas Hwang menyingkirlah dari bangku Chaeyoung sekarang juga! Ini masih pagi dan aku tidak ingin mengotori tanganku dengan menonjok wajahmu,” desisnya. Ayolah! Pagi ini mood-nya sudah jelek karena mimpi sialan itu datang lagi. Ia tidak ingin kesialannya berlanjut dengan kehadiran Lukas.
Sambil tersenyum menyebalkan Lukas menimpali, “Aku akan menyingkir asal kau berjanji berkencan denganku akhir pekan ini, bagaimana?”
Nara menggeram marah dan sudah mengepalkan tangannya guna melayangkan bogem mentah, tapi suara melengking Chaeyoung yang baru saja datang menghalangi niatannya.
“Lukas Hwang, minggir!” Dengan tidak sabaran gadis bersurai panjang tersebut menarik-narik tangan Lukas agar bangkit dari bangkunya. Tentu saja pemuda itu berusaha menolak. Bukannya membantu Chaeyoung membuat Lukas menyingkir, Nara justru menonton adegan itu sambil menahan senyum. Ya, paling tidak ia tidak perlu membuang-buang tenaga untuk mengusir Lukas karena sudah ada Chaeyoung yang mewakilinya.
“Nara, kenapa kau tidak membantuku?”
“Nara, terima saja ajakanku dan aku janji akan segera pergi dari sini, oke? Please!”
Bukannya menimpali, Nara justru berdecak dan bangkit dari bangkunya. Tanpa mempedulikan panggilan Chaeyoung dan Lukas, ia pergi keluar kelas. Nara bisa mendengar langkah kaki mendekat yang disusul oleh panggilan dari seorang laki-laki yang ia yakini adalah Lukas. Namun sekali lagi, Nara tidak ingin peduli. Ia tetap mantap melangkah dan otak pintarnya mengirimkan perintah kepada tungkai-tungkainya untuk membelok ke toilet wanita.
“Dasar menyebalkan!” umpatnya sambil masuk ke salah satu bilik toilet. “Kenapa sih dia hobi sekali mengangguku? Seperti tidak ada gadis lain saja! Dia kan populer?” Sampai saat ini Nara juga tidak mengerti mengapa Lukas sangat ingin berkencan dengannya. Padahal pemuda itu sudah ditolaknya berkali-kali, tapi tidak pernah menyerah juga. Bahkan Nara juga kerap mempermalukannya. Nara sampai berpikir kalau Lukas mungkin sudah kehilangan urat malunya.
Tet! Tet! Tet!
Nara bersyukur dalam hati. Akhirnya bel masuk berbunyi juga. Dia berharap kalau setelah keluar dari toilet nanti Lukas benar-benar sudah pergi. Sungguh, ia muak dengan kelakuan pemuda itu. Untung saja kelas mereka berbeda, jadi ia tidak perlu melihat tampangnya lagi.
Dengan tenang, Nara keluar dari bilik toilet. Sedikit merapikan penampilan di depan cermin sebelum keluar dari toilet wanita. Akan tetapi, langkah Nara justru terhenti hanya beberapa meter dari kelas ketika melihat dua orang pria sedang bercakap-cakap di depan pintu. Sebenarnya bukan kedua pria itu yang membuatnya terkejut, hanya salah seorang di antaranya saja. Sebab, yang sedang bercakap-cakap itu adalah Kepsek Jung dan ….
… “Oh Sehan?!”
Kedua pria yang sudah hendak masuk kelas itu pun menoleh ke arah Nara. Raut keduanya tampak heran, terutama sang pemilik nama yang baru saja dilisankan oleh gadis itu.
*****
Satu hari sebelumnya …..
Oh Sehan mengembuskan napasnya kasar, mendapati ia baru saja selesai membereskan apartemennya. Byun Baekwon, yang seharusnya membantu justru pergi duluan guna mencari makanan. Usai memastikan semua sudah tertata rapi dan sesuai keinginannya, barulah ia tersenyum puas. Menghempaskan tubuhnya ke sofa dan berakhir memejamkan mata.
Sehan baru saja pindah dari New York. Ia kembali ke Seoul demi pekerjaan. Sebenarnya Sehan tidak pernah ingin kembali, tapi keadaan memaksanya untuk berbuat begitu. Kenangan buruk yang ia alami bertahun-tahun lalu di kota kelahirannya ini membuatnya trauma. Itu sebabnya, setelah sekian lama tinggal di The Big Apple, baru sekarang ia berani menginjakkan kaki lagi di negaranya.
Niat awal memang mengistirahatkan tubuh sejenak, namun rupanya Sehan justru tertidur pulas sampai bermimpi. Mimpi yang sama seperti saat tidur di malam hari. Bunga tidur yang tidak pernah ia harapkan untuk hadir karena justru menggoreskan luka menganga di hatinya.
“Sehan!”
Sehan tersentak bangun saat merasakan tubuhnya berguncang, ulah Baekwon rupanya. Pria berwajah bayi itu kelihatan panik.
“Kenapa? Ada apa?” Justru Sehan yang melisankan pertanyaan. Baekwon berdecak gemas.
“Harusnya aku yang bertanya. Kau mimpi buruk, ya?”
Raut Sehan yang awalnya bertanya-tanya mendadak berubah. Ia memejamkan matanya kemudian menunduk. Satu anggukan pelan diberikannya sebagai jawaban seraya membuka mata.
“Masih mimpi yang sama?”
Baekwon memperhatikan raut Sehan lamat-lamat. Keterdiaman Sehan sudah cukup menjadi jawaban sehingga ia tidak bertanya lebih lanjut. Sebagai usaha untuk mencairkan suasana, Baekwon mencoba mengajak sahabatnya makan. Memamerkan sebuah kantong yang berisi makanan dan minuman untuk mereka sambil tersenyum lebar.
“Oh ya, ayo kita makan! Aku tahu kau pasti sudah sangat lapar, bukan?” ajak Baekwon dengan nada ceria. Pria itu bahkan menyiapkan bagian Sehan di meja.
Alih-alih menyantap makanannya, Sehan justru banyak terdiam. Ia hanya memperhatikan Baekwon yang makan dengan lahap.
“Hei, kenapa kau tidak makan?” Akhirnya Baekwon menyadari keterdiaman pria yang duduk di sampingnya tersebut. “Kau tidak suka jajjangmyeon?”
Sehan menyunggingkan senyum tipisnya. “Aku suka kok. Suka sekali. Tapi sudah lama aku tidak bisa memakannya.”
“Hah? Kenapa?”
Sehan mengangkat bahunya. Ia menghela napas sebelum bangkit dari sofa. Pria itu menepuk pelan bahu Baekwon sebelum pergi ke kamar meninggalkan sang sahabat.
“Hei, Oh Sehan! Kau mau ke mana? Kau yakin tidak makan? Atau kau mau makan sesuatu yang lain? Akan kucarikan ka—“
“Tidak perlu, Baek! Aku akan memakannya nanti,” ujar Sehan setengah berteriak sebelum menutup pintu kamarnya.
Baekwon tercengang. “Kau sudah gila? Kalau nanti sudah tidak enak lagi. Hei!” Mau tak mau, Baekwon pun membereskan makanan Sehan yang sama sekali belum tersentuh. Ia. Berharap kalau nanti pria itu akan benar-benar memakannya. Kalaupun tidak, Baekwon berharap Sehan akan makan sesuatu sepeninggalnya nanti.
*****
Sehan ada janji temu malam ini dengan seseorang. Padahal belum genap dua puluh empat jam berada di Seoul, tapi ia sudah harus berkendara dengan mobil ke kawasan Gangnam. Jujur saja, Sehan masih mengalami jetlag, tapi ia tidak enak jika membatalkan janji begitu saja. Apalagi, pertemuan ini untuk membahas pekerjaan barunya.
Sehan masuk ke sebuah kafe yang menjadi tempat pertemuan dengan sang mantan guru semasa SMA, Jung Yoonho. Netranya dengan teliti mengabsen sekeliling ruangan bernuansa cokelat kayu tersebut sampai pada akhirnya tertuju pada seseorang yang melambaikan tangan dan berseru, “Di sini!”
Senyum Sehan melebar dan langkahnya pun terayun demi menuju meja tempat Yoonho sudah menunggu. “Apa kabar, Guru Jung?” sapanya begitu sudah berhadapan dengan pria berusia 45 tahun itu sambil mengulurkan jabat tangan.
Yoonho menyambut tangan Sehan sambil tertawa. “Ya ampun, bukannya sudah kubilang jangan memanggilku ‘Guru’? Kau bukan muridku lagi sejak belasan tahun yang lalu.”
Sehan ikut terkekeh. Ia menarik tangannya sambil mengambil tempat duduk di seberang Yoonho. “Maaf, Guru. Aku masih tidak terbiasa memanggilmu dengan panggilan selain itu.”
“Ck! Ya sudahlah, senyamannya kau saja ingin memanggilku apa. Tapi, kurasa mulai besok kau tidak akan bisa memanggilku ‘Guru’ lagi.”
“Ya, kau benar. Karena mulai besok setelah resmi mengajar di sekolah aku harus memanggilmu Kepsek Jung, bukan?”
Kedua pria tampan itu pun tertawa. Sebelum memulai obrolan yang sesungguhnya, Yoonho terlebih dahulu memanggil pelayan dan memesan makanan serta minuman. Setelah itu, barulah mereka mengobrol soal banyak hal, termasuk keluarga.
“Jadi putramu murid Hawon juga?” Sehan agak sedikit terkejut. Pasalnya, saat SMA dulu istri Yoonho memang sedang hamil anak pertama mereka. Ia tidak menyangka kalau putra Yoonho sudah sebesar itu.
“Putraku sudah kelas sebelas, namanya Jung Jaeyoon. Mungkin besok kau akan bertemu dengannya saat mengajar.”
“Aku baru sadar kalau ternyata sudah selama itu ya aku meninggalkan Korea?” Sehan tersenyum kecut. Satu persatu kenangan lama menyeruak di ingatannya, membuat ia rindu sekaligus sakit.
“Ya, kau pergi sudah selama itu. Tapi jujur saja aku cukup merasa takjub karena kau tidak tersesat sampai ke sini.”
Sehan lantas tertawa. “Teknologi sudah canggih, Guru. Ada GPS. Tanpa GPS aku pasti sudah tersesat karena jalanan Seoul yang banyak berubah.”
Giliran Yoonho yang tertawa menanggapi. Keheningan menyelimuti keduanya untuk beberapa saat. Sehan sibuk melihat sekeliling, sedangkan Yoonho justru sibuk memperhatikan gerak-gerik mantan muridnya tersebut. Sedikit banyak Yoonho memang tahu alasan kepergian Sehan ke luar negeri dulu. Sampai saat ini ia masih yakin kalau sebetulnya Sehan masih belum ingin kembali, hanya saja keadaan memang memaksanya untuk mengambil langkah itu. Ia langsung tahu begitu Sehan meminta tawaran pekerjaan menjadi guru baru di Hawon, walaupun ia tidak tahu pasti apa alasannya.
“Lalu, bagaimana dengan keluargamu?” Yoonho melisankan pertanyaan sebelum menyeruput kopi pesanannya yang baru datang. Sehan tidak menjawab dan justru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Hal ini membuat Yoonho semakin yakin kalau keputusan Sehan kembali dipengaruhi oleh keluarganya karena raut pria yang lebih muda belasan tahun darinya itu tampak mengeras. Sehan kelihatan tidak suka.
Yoonho baru saja akan mengalihkan topik pembicaraan ketika Sehan menjawab dengan nada pelan, “Mereka baik-baik saja. Oh ya, omong-omong, siapa saja guru masih mengajar di Hawon?”
Sisa malam itu pun dihabiskan oleh Sehan dan Yoonho untuk mengobrolkan hal lain. Tidak ada lagi pembahasan soal keluarga Sehan, apalagi tentang seseorang yang tidak ingin mereka bicarakan eksistensinya pada masa lalu karena keduanya pun mengerti, membicarakannya hanya akan membuka luka lama.