Episode 10 : Mengenai Perselingkuhan

1912 Words
-Sebuah perselingkuhan terjadi bukan hanya karena adanya kesempatan, tetapi karena pihak yang menjalani juga sama-sama menginginkan bahkan menikmati. Jadi, bukan hanya pihak ketiga saja yang salah. Karena si pelaku bahkan meski dia orang yang teramat kita cintai, justru jauh lebih bersalah. Dia menikmati perselingkuhannya dan dia bahkan lebih memilih selingkuhannya ketimbang anak dan istrinya yang selama ini menemaninya berjuang dari nol!- *** Kesempatan kedua meski itu demi masa depan anak, Arunika merasa dirinya tak perlu melakukannya. Arunika tidak akan memberi kesempatan pada Dimas bahkan meski Dimas menceraikan Kenanga. Arunika yakin dunianya tidak akan kiamat meski tidak ada Dimas di dalamnya. Termasuk untuk kehidupan Dika, Arunika memastikan Dika akan paham. Persetan dengan cinta dan rumah tangga. Arunika telanjur kecewa dan tak percaya lagi dengan semua itu. Yang ada di pikiran Arunika sekarang hanya balas dendam dengan cara elegan. Arunika akan bekerja keras dan menjadi orang sukses yang juga patut diperhitungkan hingga ia dan orang-orangnya disegani banyak orang. Nantinya, selain akan terus bekerja keras demi mencukupi kebutuhan Dika hingga Dika memiliki kehidupan layak layaknya anak pada kebanyakan yang memiliki orang tua lengkap, Arunika juga akan memberi Dika pengertian perihal hubungan Dimas dan Arunika yang sudah tinggal sebatas mantan. Arunika yakin keputusan tersebut merupakan keputusan terbaik apalagi sampai detik ini, belum ada itikad baik dari Dimas walau hanya melalui sambungan ponsel. Menerima ponsel yang ia beli secara kredit, Arunika memaksakan diri untuk tersenyum meski pikirannya sedang sangat keruh. Jangankan menghabiskan waktu dengan menangis, tidak langsung bunuh diri saja setelah yang Dimas lakukan, Arunika merasa bersyukur. Arunika menghela napas pelan kemudian menandatangani surat perjanjian yang harus ia tanda tangani. Dalam kasus ini, Mbak Kenanga bukan terdakwa tunggal. Aku pun tidak akan menyalahkan semuanya mutlak kepada Mbak Kenanga. Bagiku, aku juga salah karena selama ini aku selalu percaya pada Mas Dimas. Sementara dari semuanya, Mas Dimas lah yang paling salah! Sebuah perselingkuhan terjadi bukan hanya karena ada kesempatan, tetapi karena pihak yang menjalani juga sama-sama menginginkan bahkan menikmati. Jadi, jangan salahkan aku bila aku sampai menganggap mereka layaknya sampah yang sangat menjijikkan. Dan aku akan membuang sampah-sampah itu ke tempat yang tepat—masa lalu. Bukankah masa lalu, ibarat kuburan yang hanya sepatutnya kita ziarahi untuk bekal kehidupan lebih baik lagi, tanpa harus berlarut-larut dengan kesedihannya? Sekarang aku merupakan orang tua tunggal, dan aku juga akan menjadi penentu kebahagiaan sekaligus masa depan Dika dan keluarga kecil kami. Aku Arunika, detik ini juga aku makin mantap melupakan masa laluku agar aku tidak menjadi wanita pendendam atau justru manusia lemah! Aku bisa dan aku akan membuktikannya! Arunika mengayuh sepedanya dengan semangat menggebu. Ia ingin segera sampai rumah dan mengabarkan kabar baik yang ia miliki pada Dika dan juga ibu Ningsih. Alasan Arunika setegar karang, bukan karena Arunika tidak merasa terluka. Bukan juga karena Arunika tidak sedih melihat masa depan Dika tumbuh tanpa kasih sayang ayah. Melainkan, Arunika sadar, luka-lukanya tidak akan sembuh begitu saja hanya karena ia menghabiskan waktu dengan meratapi nasib hubungannya dengan Dimas. Termasuk mengamuk dan menghabisi Dimas maupun Kenanga menggunakan pisau beserta benda tajam lainnya seperti yang Arunika inginkan. Arunika yakin, semua itu hanya akan membuat keadaan menjadi makin keruh. Semua itu hanya akan membuatnya terlihat menyedihkan bahkan hina di mata orang-orang khususnya Dimas sekeluarga. **** Kabar baik yang Arunika bawa membuat ibu Ningsih tak hentinya bersyukur. Dagangan ibu Kasih bahkan masih tersisa setengah, tapi Arunika sudah pulang dan sampai membawa kabar baik. Sambil menjelaskan sistim kerja untuk dagangannya, Arunika membiarkan ponsel barunya dimainkan oleh Dika yang duduk di pangkuannya. Arunika yakin Dika sudah sangat rindu bermain ponsel. Andai, Dika memiliki papah waras yang tidak menyeleweng seperti Dimas, tentu Dika yang cepat tanggap dan bisa belajar dari setiap video yang ditonton akan makin merasa bahagia sekaligus nyaman karena memiliki papah yang perhatian. “Jadi, yah, Mak. Ke depannya Mamak cukup di warung jualan seperti biasa. Karena yang pesan ini secara online lewat aplikasi ponsel, nanti mereka datang sendiri apa pakai jasa antar dan mereka juga yang bayar jasa antarnya, bukan kita.” “Enggak apa-apa lokasi kita di pelosok, asal sudah cocok dengan rasa dan pelayanan terbaik kita, pembeli pasti tetap mengejar. Nantinya, Insya Alloh akan makin ramai. Tentu saja aku juga akan memikirkan menu lain semacam minumannya. Pelan-pelan kalau sudah makin ramai, aku juga mau rekrut orang buat kerja. Terus, aku juga mau renovasi warung, apa aku renovasi rumah saja, ya? Nanti aku akan bilang ke Mbak Wiwin buat pindahin semua bunga-bunganya ke rumah dia. Apa-apaan, masih muda kok hobinya minta bantuan tanpa melakukan timbal balik? Iya kalau dia mau bantu renovasi. Beliin bilik pengganti saja dia enggak!” Arunika menutup ucapannya dengan menghela napas pelan. Di pangkuannya, Dika masih asyik menonton video meski jaringan sinyal yang tidak mendukung membuat videonya terputar sangat lamban sekaligus tidak jelas. Saking pelosoknya, semacam jaringan sinyal memang ikut bermasalah hingga membuat hidup masyarakat di sana yang sudah penuh beban, menjadi makin beban. Tak jarang, entah siapa yang mewariskan, ada beragam trik yang dilakukan masyarakat setempat hanya untuk mendapatkan jaringan sinyal. Semacam memanjat pohon dan bertahan di sana, naik ke tempat dataran tinggi berupa tanggul, atau pergi ke hamparan tempat yang tak dihiasi bangunan gedung semacam sawah dan tanah lapang. “Wah ... Mas Dika sama Mamah masih liburan di sini?” sapa seorang tetangga yang mengemban bayi dan kiranya berusia sekitar empat bulan. Wanita tersebut bernama Mira. Mira datang untuk membeli pecel lontong lengkap dengan gorengan untuk pekerja yang sedang memborong tandur di sawahnya. Tanpa beban, Arunika yang duduk di bangku panjang dan ada di depan warung, membalas ibu Mira dengan senyuman. Beruntung, Mira tidak menanyakan Dimas. Meski sebenarnya Arunika sudah langsung deg-degan menahan tegang karena pertanyaan perihal Dimas pasti tetap akan ia dapatkan. “Dika, coba bentar, ya. Dedek bayinya lucu banget, tuh. Cantik pakai bandana pink gambar apa yah, itu bandananya?” ucap Arunika sambil menurunkan Dika dari pangkuannya. Dika melihat bayi perempuan yang dimaksud kemudian fokus pada bandananya. “Elsa sama Anna. Flozen, Mah.” “Uh ... pinternya Mas Dika hafal Elsa sama Anna, sama apa lagi tadi? Frozen? Mbah Mira saja enggak tahu, siapa itu Elsa, Anna, apalagi Frozen,” balas ibu Mira terkagum-kagum. Sementara di dalam warung, ibu Ningsih yang tengah membungkus setiap pecel pesanan ibu Mira menggunakan daun pisang, tak hentinya tersenyum bangga. “Eh ini ada banyak kontainer, jadi memang benar kamu juga jualan keliling, Ka?” lanjut ibu Mira yang menjadikan kontainer wadah jualan Arunika dan ada di bangku sebelah Arunika duduk, sebagai fokus perhatian. Duh, pertanyaan ibu Mira sama saja dengan hama. Ya sudahlah enggak apa-apa, apalagi cepat atau lambat, aku juga harus jujur. Mungkin besok malam, atau nanti malam sepulang dari acara prasmanan di tahlilan, aku akan jujur, batin Arunika sungguh-sungguh dengan niatnya. Ia akan menceritakan mengenai nasib hubungannya dengan Dimas. Arunika mantap cerai. “Jadi, kamu dan Dimas mau tinggal di sini, apa sedang coba-coba dagang pecel lontong dulu? Kalian mau coba usaha baru, begitu, ya?” Arunika menyikapi keadaan dengan elegan, tersenyum sambil bertutur santai dan terus begitu seolah semuanya baik-baik saja. Belum sempat menjawab, ada ibu-ibu yang datang dan langsung berisik karena ibu-ibu berambut keriting tersebut sedang mengobrol melalui sambungan telepon. Tampak tangan kanannya yang menempelkan ponsel pada telinga kanan. Kenyataan tersebut membuat Arunika bersyukur karena dengan begitu Arunika sengaja tidak menjawab. “Rame banget, ada apa, Bu Siti?” tanya ibu Mira yang juga menjadikan ibu-ibu yang baru datang dan bernama ibu Siti, sebagai pusat perhatian. Bu Siti menatap ibu Mira dan nyaris menjawab. Namun, ketika tatapannya tak sengaja terempas pada keberadaan Arunika yang masih duduk, napasnya langsung terengah-engah. “Jadi benar, Ka, kabar yang di pasar? Yang kamu bilang di pasar, benar?” ucapnya refleks sambil menatap iba wanita muda pengena pashmina hitam di hadapannya. Mendapat pertanyaan tersebut, Arunika refleks menelan salivanya. Arunika ketar-ketir, yakin bila kabar yang ia beberkan di pasar mengenai hubungannya dengan Dimas, telah menyebar bahkan sampai tetangganya. Celaka, Arunika harus segera menghentikannya agar ibu Ningsih baik-baik saja. Arunika harus menggunakan cara khusus agar kesehatan sang mamak tidak terguncang. Tak bisa berkata-kata, Arunika yang justru menjadi terengah-engah menahan rasa syok, mengangguk. “Tahan, Wa. Tolong, demi Mamak!” lirihnya benar-benar memohon. Arunika pastikan, hanya ibu Siti yang mendengar balasan darinya. Tak terpikir oleh Arunika bila keputusannya jujur dan membeberkan hubungan Dimas dan Kenanga justru menjadi ancaman nyata untuknya. “Ya Alloh,” lirih ibu Siti yang seketika itu menjadi sibuk menghela napas. Berkaca-kaca ia menatap Arunika yang detik itu langsung menunduk. Wajah Arunika langsung terlihat murung dikuasai mendung kelabunya kehidupan. “Ada apa sih, Mbak? Sampean tadi ngomong apa?” tanya ibu Mira penasaran. Ia menatap ibu Siti, kemudian berganti pada Arunika, silih berganti. Mendengar pertanyaan penasaran tersebut, Arunika langsung merasa sangat nelangsa. Hatinya remuk redam, kembali merasakan kehancuran akibat luka yang telah Dimas torehkan. “Mir, pesanannya sudah beres,” ujar ibu Ningsih dengan senyum ramah khasnya. Ia menyodorkan satu kantong pesanan yang dimaksud kepada ibu Mira. Sementara yang dituju justru tampak sibuk menatap penasaran Arunika dan ibu Siti, silih berganti. Awalnya, ibu Ningsih menyikapi keadaan tersebut dengan serius. Namun, ibu Ningsih terusik dengan kedatangan Wiwin. Tak biasanya Wiwin datang sebelum sore atau langsung pagi-pagi buta untuk mengambil bunga-bunganya. Dan bila Wiwin sudah datang di lain kedua waktu tadi, biasanya ada masalah serius. Lihat saja, Wiwin sampai mengerem mendadak motornya dan nyaris jumping. Tanah di sekitar sana sampai cekung mengikuti gerak roda motor bagian depan Wiwin. Pandangan Wiwin langsung fokus pada Arunika yang masih menunduk. Ibu Ningsih berpikir, jangan-jangan pembeli pecel lontong Arunika kembali mengusik Wiwin dan membuat Wiwin tak nyaman. Sementara maksud kedatangan Wiwin sekarang karena Wiwin akan memarahi Arunika lagi? “Win, si Dimas kawin maning! Nih, video Arunika viral! Judulnya, Viral, Ditinggal Menikah Lagi Oleh Suami, Wanita Muda Ini Jualan Lontong Pecel Di Pasar Demi Menafkahi Sang Putra! Kisahnya Benar-Benar Pilu, Mirip Sinetron Ikan Terbang!” “Aku lihat sendiri, Win. Istri muda Dimas ternyata si Kenanga! Tadi aku sengaja mastiin, dia order makanan dan yang menerima pembantunya! Pas aku tanya ke pembantunya, dia baru kerja hari ini! Walah, melepas Arunika, Dimas sewa pembantu cuma buat urus Kenanga! Wajib dibawa ke orang pinter ini, Win! Aneh saja, sudah dikhianati, si Dimas tetap menikahi Kenanga diam-diam padahal Arunika sudah banyak berkorban!” Teringat ucapan temannya, serta sederet ucapan lainnya mengenai hubungan Arunika dan Dimas yang ternyata sudah kandas karena Dimas telah menikahi Kenanga, tubuh Wiwin seperti dipanggang. Wiwin merasa dari tubuhnya seolah mengeluarkan kobaran api. Matanya sampai basah dan menitikkan air mata hanya karena menatap Arunika sementara adiknya itu langsung menepis tatapannya. Di tengah tubuhnya yang gemetaran hebat, ia bahkan masih duduk di motornya sementara helm masih menghiasi kepala, ia berkata, “Ka ... kamu mau aku ke rumah Dimas, apa langsung ke bank dia kerja?” tegasnya dengan suara yang juga sampai gemetaran. Arunika menatap takut Wiwin. Ia makin terengah-engah kemudian menggeleng. “Mbaaak,” lirih Arunika benar-benar memohon. Arunika tak mau sampai terjadi keributan yang bisa berdampak fatal pada kesehatan Ningsih. Namun karena Wiwin sudah langsung menyalakan mesin motor tanpa peduli pada penjelasan yang akan ia lakukan, Arunika buru-buru menurunkan Dika dari pangkuannya. “Mbak, tunggu, Mbak! Dika, Dika sama Nini lagi, ya? Dika yang pinter, ya. Mamah hanya pergi sebentar, kok!” pamit Arunika kalang kabut. Apalagi Wiwin sudah langsung melajukan motor. Arunika berlari kencang mengejar Wiwin yang akhirnya berhasil ia susul di jalan depan rumah. “Wiwin?” seru ibu Ningsih dari pintu warungnya sengaja menegur kelakuan sulungnya. Ia dapati, Arunika sudah duduk dibonceng Wiwin. Entah apa yang terjadi kenapa keduanya terlihat sangat buru-buru selain Wiwin yang terlihat sangat emosi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD