-Hidup ibarat peperangan dan mereka yang bertahan merupakan pemenang.-
***
Saat pulang kerja, Dimas sengaja diam-diam mengintai rumah ibu Ningsih. Dimas tidak berniat masuk bahkan sekadar mengamati dari dekat. Karena sekadar mengamati pun, Dimas yang memakai jaket kulit warna hitam melakukannya sambil duduk di motor dan tetap menutup kaca helm-nya. Dimas tidak mau keberadaannya di jalan depan sebelah rumah ibu Ningsih sampai diketahui siapa pun. Di sekitarnya warga tengah lalu lalang, sementara di pohon mangga depan rumah ibu Ningsih, Arunika tengah bermain ayunan dengan Dika.
Arunika dan Dika tampak sangat bahagia. Keduanya masih bisa tertawa dan bercanda seperti biasanya.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena Arunika saja terlihat sangat bahagia. Arunika terlihat baik-baik saja, termasuk Dika. Seperti kata Kenanga, Arunika hanya terlalu naif dan belum terbiasa dengan pernikahanku dan Kenanga. Arunika hanya butuh waktu untuk terbiasa apalagi pola pikir Arunika masih sangat labil, batin Dimas.
Lebih baik sekarang aku pergi karena Kenanga jauh lebih membutuhkanku. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, itulah keyakinan Dimas pada keadaan Arunika dan juga Dika. Bahkan sekadar untuk bersilaturahmi dengan ibu Ningsih, Dimas merasa tidak perlu. Termasuk tamparan yang Dimas lakukan malam kemarin pada Arunika, dirasa Dimas dirinya berhak melakukannya. Sebagai suami yang wajib mendidik istri, semacam menampar berhak Dimas lakukan pada Arunika, apalagi saat itu, bagi Dimas Arunika sudah sangat keterlaluan.
Hati kecil Dimas mengingatkan untuk mengubah keputusannya. Paling tidak, Dimas harus minta maaf atau semacamnya. Termasuk perihal nafkah biaya hidup Arunika dan Dika, atau setidaknya hanya untuk Dika, selama darah dagingnya itu tinggal di rumah ibu Ningsih.
Buat apa? Masalah kasih makan dan keperluan Dika, harusnya Arunika bisa urus. Mengurus satu anak masa iya enggak bisa apalagi Arunika masih muda dan semacam kerja ke sawah, Arunika bisa melakukannya. Bagaimanapun caranya Arunika pasti akan kerja dan dapat uang karena memang begitulah yang harus Arunika lakukan. Apalagi biasanya pun Arunika sudah terbiasa kerja! batin Dimas.
Fakta Arunika yang serba bisa sekaligus mandiri, membuat Dimas merasa tidak perlu mengkhawatirkan Arunika bahkan Dika, ketika keduanya tidak bersamanya. Sungguh tak ada yang lebih penting dari rumah tangga Dimas dengan Kenanga apalagi sekarang Kenanga sedang hamil muda.
“Aku harus ambil uang dan secepatnya mendapatkan pembantu agar Kenanga bisa hidup tenang. Hari ini saja sudah puluhan pesan yang Mamah kirimkan hanya untuk melaporkan apa yang terjadi.” Dimas yakin dengan keputusannya. Ia menyalakan mesin motor gedenya kemudian putar balik dan pergi dari sana.
****
Sambil sesekali mengayun Dika yang terus tertawa di ayunan terbuat dari bekas ban mobil, Arunika bertanya-tanya dalam hatinya. Aku kenapa, ya? Aku sudah berusaha tertawa dan bahagia, tapi hati ini tidak bisa berbohong. Sendi-sendi dalam tubuhku selalu ngilu di setiap aku memikirkan nasib rumah tanggaku. Bahkan, ... tamparan Mas Dimas masih terasa sangat panas di pipi sekaligus sekujur tubuhku. Sedangkan pengkhianatan yang Mas Dimas lakukan ... Ya Alloh aku percaya Engkau tidak pernah tidur. Aku juga percaya Engkau tidak akan menguji melebihi batas kemampuanku. Arunika menghela napas dalam demi meredam rasa sesak sekaligus rasa sakit yang menggerogoti sekujur tubuhnya. Ia kembali tersenyum dan pura-pura bahagia meski hatinya menangis karena menahan luka.
Suasana sore menuju petang membuat hati Arunika makin kesepian. Biasanya sekalipun hanya kabar lewat pesan, selalu ada yang ia tunggu dan itu kabar dari Dimas. Namun sekarang, semuanya hanya tinggal kenangan.
“Enggak boleh goyah, Run. Kamu harus tetap semangat. Fokus dengan tujuanmu untuk membuktikan bahwa kamu mampu bahagia bersama Dika tanpa mas Dimas dan keluarganya.” Sisi lain dalam diri Arunika berbicara. Kenyataan tersebut membuat senyum terbit di wajah Arunika bersama kebahagiaan yang tersemai dan seketika tumbuh.
“Menyesal, kan? Andai kamu mau sabar dan mengontrol diri, mau menerima keputusan sekaligus pernikahan Mas Dimas dan Kenanga, pasti anakmu masih punya bapak! Jadi wanita kok enggak ngotak! Egois kamu, Ka! Coba sekarang pikirkan, bagaimana nasib Dika tanpa bapak?!” Sisi lain yang lainnya lagi dalam kehidupan Arunika juga tak mau kalah, ikut angkat bicara. Membuat Arunika langsung berada di titik nadir. Wanita muda itu mengalami perang batin yang sebelumnya belum pernah Arunika bayangkan akan ia alami.
“Mah?”
Rintih tangis dari Dika menarik Arunika menepi dari lamunan sekaligus renungannya. Hanya ada satu penyebab kenapa sang putra menangis dan itu kesedihan Arunika sendiri. Pantas Dika menangis karena ternyata renungan akibat perang batin yang Arunika alami membuat Arunika berlinang air mata.
Arunika segera menyeka air matanya kemudian mengemban Dika yang sudah mendekapnya. Dika sampai sudah turun dari ayunan sendiri hanya karena terlalu mengkhawatirkan Arunika.
“Ka, mau magrib, jangan di luar. Ora ilok, banyak belis yang lewat! Waktunya mereka lewat, kasih mereka kesempatan karena begitulah yang namanya kehidupan. Kita harus saling menghargai bahkan pada mereka yang tidak kasat mata,” seru ibu Ningsih dari depan pintu.
“Iya, Mak. Ya ampun, Mak ... bunga-bunganya mbak Wiwin biarkan saja. Memangnya Mbak Wiwin kasih Mamak duit, mau-maunya Mamak urus semua bunganya padahal gubuk Mamak saja sudah reot, tapi mbak Wiwin enggak bantu renovasi?!”
Sambil menatap Arunika dengan senyum hangat hingga kerut di wajahnya menepi, ibu Ningsih berkata, “Beginilah jadi orang tua, Ka. Anak akan menjadi cinta sejati orang tua apa pun yang terjadi. Kelak, kamu pun harus begitu pada anak-anakmu!”
Ya ampun, Mamak ... enggak terbayang betapa sedihnya Mamak andai Mamak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tanggaku. Aku sudah ditalak dan sebentar lagi aku juga akan menjadi janda seperti Mamak dan mbak Wiwin, Mak. Apa yang mbak Wiwin alami juga aku alami, Mak. Mas Dimas selingkuh bahkan diam-diam menikah dengan mbak Kenanga. Dan Mas Dimas juga sudah berani menamparku. Arunika masih ingat, dulu awal pernikahannya dengan Dimas, Arunika sempat menginap di rumah sakit selama satu minggu untuk menjaga sekaligus mengurus sang Mamak. Rumah tangga Wiwin yang berakhir dengan perceraian merupakan penyebabnya. Kesehatan Ningsih ambruk setelah mengetahui apa yang menimpa Wiwin.
Dulu, suami Wiwin selingkuh dan Wiwin justru dihajar brutal di depan tetangga hanya karena Wiwin menuntut keadilan. Suami Wiwin lebih memilih selingkuhannya, padahal demi rumah tangga mereka Wiwin rela menjadi TKW. Hasil jeri payah Wiwin menjadi TKW selama tiga tahun di Singapura pun dikendalikan oleh suami dan mertuanya tanpa sedikit pun yang sampai ke tangan ibu Ningsih. Sore menjelang petang Wiwin ditampar, ditendang bahkan diinjak sebelum diseret masuk ke rumah mertuanya dalam keadaan tak sadarkan diri. Tentu saja fakta itu langsung menggemparkan warga satu kampung karena mantan suami Wiwin tinggal dan memang orang kampung mereka.
Ironi, wanita yang harusnya dilindungi justru lebih sering menjadi korban bahkan oleh kaumnya sendiri. Keadilan yang dituntutkan bahkan lebih sering membuat si wanita terancam bila terus dilanjutkan. Terlebih bila wanita itu dari kalangan biasa tanpa dukungan harta dan tahta. Dan mungkin karena itu juga banyak korban yang memilih bungkam dan perlahan pergi karena tak tahan dengan hukum sosial.
Karenanya, andai Dimas tetap tidak datang melakukan iktikad baik ke rumah ibu Ningsih, Arunika tidak akan menuntut apa pun. Tak hanya nafkah untuk Dika meski Dika berhak mendapatkannya. Karena mengenai perceraian, Arunika juga akan mengurusnya.
Tak lama kemudian, laju motor matic menepi dan berhenti tepat di hadapan Arunika yang masih mengemban Dika. Itu Wiwin kakak Arunika dan menjadi satu-satunya saudara Arunika mengingat Arunika tidak memiliki sanak saudara lain. Wiwin merupakan tipikal energik layaknya Arunika. Bedanya, Wiwin sangat menjaga penampilan. Wiwin selalu tampil necis, wangi bahkan menor. Rambut panjang pirangnya karena memang diwarna, selalu digerai layaknya seorang biduan.
Wiwin melepas helemnya sambil menatap kesal sang adik. “Ka, kamu ya! Mau bikin gara-gara kamu, ganggu bisnis, Mbak?! Apa maksudmu kasih nomor Mbak ke orang dan bilang kalau itu nomor buat pesan pecel lontong sama gorengan? Ponsel Mbak jadi berisik telepon, sampai pembeli bunga hias Mbak pun jadi enggak nyaman dan banyak mengeluh katanya nomor ponsel Mbak susah dihubungi! Kamu, ya, ngapain enggak pakai nomor kamu saja, sih?!” lantang Wiwin dan mengomel.
Arunika tidak mempermasalahkan omelan dari sang kakak karena begitulah Wiwin—kata-katanya selalu pedas bahkan ibu Ningsih kerap menangis bila sudah cekcok dengan Wiwin. Terhitung, semenjak bercerai, semua itu terjadi. Wiwin menjadi pribadi yang kadang sangat bengis tanpa peduli meski yang dihadapi keluarga sendiri.
“Terus bagaimana, Mbak? Semuanya aman, kan? Mbak enggak marah-marah ke mereka, kan?” Arunika takut, Wiwin memarahi semua calon pembeli pecel lontongnya hanya karena Wiwin dalam keadaan mood kurang baik.
“Ya marah lah. Mereka ganggu banget apalagi sampai ada yang berulang kali telepon sambil marah-marah. Bilang mau yasinan lah, ah pokoknya bikin pusing!” balas Wiwin masih sewot.
Arunika nyaris menangis mendengar balasan tersebut. “Mbak kok gitu, sih?”
“Lho, kok kamu nyalahin Mbak? Ngapain juga kamu pakai nomor Mbak, bukan nomor kamu saja? Kalau bukan pakai nomor ponsel kamu, pakai nomor ponsel Dimas kan bisa!” semprot Wiwin.
Arunika menggeleng berat bersama air matanya yang berjatuhan. “Semuanya enggak semudah yang Mbak bayangkan, Mbak. Alasanku kasih nomor Mbak ke pembeli pecel lontong karena aku memang belum punya ponsel lagi. Aku ingin memulai semuanya dari awal tanpa bantuan siapa pun termasuk Mas Dimas. Aku beneran terpaksa kasih nomor Mbak ke mereka karena aku enggak punya pilihan lain. Aku ingin renovasi rumah, renovasi warung, bikin usaha biar Mamak bisa bahagia di masa tuanya.”
Wiwin kebingungan sekaligus heran. “Kamu punya suami, ngapain repot kerja sendiri? Kamu itu seorang istri, jangan mau jadi tulang punggung apalagi suamimu orang kaya! Cukup aku yang dijadikan sapi perah oleh suami dan mertuaku di masa lalu, kamu jangan ikut-ikutan! Jadi wanita harus pinter, enggak apa-apa licik ke suami demi kebahagiaan bersama!”
Arunika tidak bisa mengakhiri tangisnya karena ia juga tak mampu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dengan nasib rumah tangganya, bahkan itu pada Wiwin.
“Wiwin, ... Nika, sudah. Lihat Dika sampai ikut nangis,” tegur Ningsih sarat perhatian. Ia menghampiri Arunika dan mencoba mengambil alih Dika yang sudah menangis. Namun, Dika tidak mau pisah dari Arunika.
Dika tetap menolak bujuk rayu sarat perhatian seorang ibu Ningsih. Berbeda dengan putri-putrinya, ibu Ningsih memang sangat lemah lembut. Sekadar marah pada nyamuk yang menggigitnya, ibu Ningsih sepertinya tidak akan pernah tega.
“Sudah ih, kok malah nangis? Nih telepon saja pemesan-pemesan pecelnya. Nomornya ada kok di history panggilan,” tegur Wiwin sambil menyodorkan ponselnya pada Arunika.
Si Nika hamil lagi apa bagaimana? Kok jadi cengeng lembek begini? Pikir Wiwin yang diam-diam mengamati Arunika. Ia fokus mengamati bagian perut ke atas Arunika.
Arunika tetap mengemban Dika dan hanya menyeka asal air matanya menggunakan punggung tangan kanan. “Pembeli ibarat Raja, Mbak. Dan dapat pembeli beneran susah. Apalagi ini mereka pesan buat besok dan bahannya sudah aku siapkan semua. Semoga mereka masih mau karena aku pun sudah keluar modal banyak. Tadi sore aku sampai hutang ke warung sayur di pengkolan pasar buat beli sebagian bahan karena modal memang enggak cukup buat bikin pesanan.”
Harap-harap cemas, Arunika menghubungi setiap nomor yang ia yakini sebagai nomor pemesan pecelnya. Ia melangkah masuk demi meredam kekhawatiran sang mamak. Begitupun dengan Wiwin yang hanya berniat bertamu di sana.
“Mbak kok bisa-bisanya sampai marah ke pembeli pecelnya? Kasihan kan Nika. Tuh dengar, semuanya sudah pesan makanan lain dan mereka batal pesan pecel. Beneran enggak ada yang mau pesan pecel sama gorengannya. Padahal lontongnya saja sudah mulai digodok!” ibu Ningsih sungguh menyayangkan keputusan Wiwin.
“Ya ampun, Mak. Seharian ini saja, terhitung dari siang sampai sore, aku dimarahi sama pembeli bunga-bungaku gara-gara nomor ponselku susah dihubungi. Lima pesanan bunga dibatalkan gara-gara aku salah marah ke mereka yang aku kira pembeli pecel. Mamak tahu, harga lima pesanan bunga tadi berapa? Lima belas juta!” tegas Wiwin.
Ibu Ningsih langsung gelagapan kemudian beberapa kali menghela napas demi meredamnya. “Lima belas juta itu duit?” lirihnya bertanya pada Wiwin.
“Ya duit, masa iya daun, Mak? Pembeli daganganku kan manusia asli, bukan Suketi!” balas Wiwin yang meninggalkan Ningsih menuju dapur.
Gagal total, semua pesanan dibatalkan dan Arunika hanya bisa menerima kenyataan tersebut. Meski sudah sampai sibuk meminta maaf, mereka sudah membeli makanan lain dan baru bisa memesan pecel lontong buatan Arunika di lain kesempatan karena dananya yang sudah tidak ada. Arunika memilih duduk pada risban yang menghiasi ruang tamu di kediaman Ningsih.
Banyak jalan menuju roma. Itu kenapa kita diwajibkan memiliki banyak rencana sekaligus strategi di setiap menjadi bagian dari peperangan. Karena hidup ini ibarat peperangan dan mereka yang bertahan merupakan pemenang, harusnya semacam pembatalan pesanan tetap bisa aku siasati. Sudah, masak seperti pesanan saja. Dagangkan ke tempat lebih jauh. Pantang pulang sebelum dagangan habis! Harus tetap waras karena bila kamu sampai sakit apalagi setres, Mas Dimas dan keluarganya pasti makin seneng, Ka! Batin Arunika menyemangati dirinya sendiri. Baru ia sadari, Dika yang awalnya menangis sudah lelap dalam dekapannya.
Sehat-sehat terus, yah, Sayang. Mungkin mulai besok, Mamah akan makin sibuk kerja demi masa depan kita. Biar kita bisa jadi orang sukses, batin Arunika yang beranjak pergi mengemban sang putra menuju kamar sesaat setelah menitipkan ponsel Wiwin yang ia letakan di meja, pada Ningsih yang duduk di risban yang baru Arunika tinggalkan.
Bersambung ....