“Cinta yang sering melahirkan banyak kebodohan.”
****
Seruan bel baru saja mengusik keheningan rumah, menandakan di luar sana, seseorang bahkan lebih datang dan telah menekannya. Arunika yang kebetulan sedang menyapu lantai di ruang keluarga buru-buru lari membuka pintu dan memastikannya.
“Run!”
Suara teriakan wanita tersebut sukses membuat Arunika buru-buru membekap telinganya menggunakan kedua tangan. Lari Arunika pun refleks lebih cepat karena kaget.
“Buka pintunya ada yang datang itu!” teriak ibu Mirna—wanita paruh baya yang tak lain merupakan mertua Arunika, tepat ketika sang menantu baru saja membuka pintu masuk di sana.
Memang secepat itu gerak Arunika. Dan memang akan terasa ada yang kurang bila ibu Mirna tidak marah-marah sambil berteriak bak Calon Arang pada sang menantu.
Di kediaman terbilang mewah meski rumah tersebut tidak sampai bertingkat, Arunika memang sudah terbiasa mendapat omelan semacam tadi dari ibu Mirna. Tak semata karena ibu Mirna sangat cerewet sekaligus galak padanya, tetapi karena Arunika juga sengaja membuat wanita itu marah-marah. Karena bagi Arunika, akan selalu ada yang kurang bila sebentar saja, ia tidak mendengar sang ibu mertua marah-marah.
Awalnya, Arunika sengaja menatap sang mamah mertua yang tengah duduk di sofa depan televisi, dengan senyum ceria. Namun ketika Arunika mengalihkan tatapannya ke depan memastikan siapa yang datang, dunia wanita muda berlesung pipit itu seolah berputar lebih lambat.
Ada benda tajam tak kasat mata yang seolah langsung sibuk menusuk hati Arunika. Membuat Arunika refleks menjatuhkan sapu dari tangan kirinya. Kemudian, menggunakan tangan kiri tersebut, wanita berusia dua puluh dua tahun itu menahan dadda, mencoba meredam rasa sakit yang terasa sangat kuat di sana.
Sendi-sendi di tubuh Arunika juga mendadak terasa ngilu hanya karena dengan kepala dan matanya sendiri, ia menyaksikan bibir berisi milik Dimas suaminya, menempel di kening wanita lain. Wanita yang sangat tidak asing bagi Arunika.
Wanita cantik dan sangat menjaga penampilannya itu bernama Kenanga, mantan kekasih sekaligus wanita yang harusnya Dimas nikahi sebelum akhirnya Dimas justru menikahi Arunika. Keduanya tak hanya datang sendiri. Ada bocah perempuan yang tampak kumal bahkan ingusan ke mana-mana, dan kini ada dalam dekapan Dimas. Dimas menggendongnya penuh sayang layaknya seorang papah yang sangat menyayangi anaknya.
Arunika tak sanggup lama-lama menyaksikan itu. Kakinya yang tak mengenakan alas dan menjadi gemetaran refleks mundur.
Entah karena kaget atau justru tak enak hati pada Arunika, Dimas juga langsung buru-buru menjaga jarak dari Kenanga layaknya maling yang tertangkap basah. Dimas mendekati Arunika sesaat setelah memberikan bocah perempuan berusia sekitar dua atau tiga tahun dan Arunika yakini merupakan anak Kenanga, kepada Kenanga.
Dimas menggenggam erat pergelangan tangan kiri Arunika. Arunika dapati, ada dua koper besar di sebelah pintu yang baru saja Dimas tinggalkan. Kedua koper tersebut bersanding dengan koper kecil milik Dimas dan sukses membuat hati Arunika terasa remuk redam. Bisa dipastikan, kedua koper tersebut milik Kenanga.
Kenyataan kini membuat Arunika sulit berpikir. Arunika yang memergoki Dimas mencium Kenanga, serta kedatangan Kenanga dan putrinya yang sampai disertai dua buah koper seolah keduanya akan pindahan. Apakah sesuatu yang fatal telah terjadi? Pikir Arunika.
Bertahun-tahun tak bertemu, tak banyak yang berubah dari Kenanga selain beberapa bagian wajahnya yang tampak jauh lebih kendur. Gaya Kenanga masih seperti gadis belia, benar-benar menggoda. Membuat siapa pun laki-laki yang melihat bahkan Dimas sekalipun, akan sulit untuk menolak. Arunika bisa memastikannya.
Kenanga mengenakan baju menyerupai kemban, berwarna hitam dan sangat mengekspos keindahan buah dadaanya yang memang kelebihan muatan. Sedangkan untuk bawahannya, Kenanga memakai celana levis pensil panjang warna biru tua. Meski perut Kenanga tampak buncit bahkan dihiasi dua lipatan besar, heels runcing warna hitam sukses membuat tubuh Kananga tampak terlihat semampai.
Cukup lihat Kenanga saja tanpa melihat anaknya yang sukses membuat Arunika refleks menghela napas sambil menggeleng tak habis pikir. Penampilan bocah itu benar-benar miris tak sepadan dengan penampilan Kenanga yang super necis. Mamah semenggoda itu apalagi bila melihat gincu merah menyala yang membuat bibir berisi Kenanga teramat molek, tapi anak sangat tidak terurus.
“Dek, kita harus bicara,” bisik Dimas tepat di sebelah telinga kiri Arunika. Dimas sengaja mendekap pinggang ramping milik Arunika dan menggiringnya pergi dari sana.
Susah payah Arunika bertahan dan tidak membiarkan tubuhnya diboyong paksa oleh Dimas. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, Arunika mengalihkan tatapannya dari si bocah perempuan yang sukses membuat Kenanga kerepotan dalam mengembannya. Padahal, bocah perempuan tersebut benar-benar anteng dan cenderung terlihat sakit.
“Enggak, Mas.” Arunika menengadah dan menatap kedua mata Dimas yang ada persis di hadapannya. Mata itu bergetar dan benar-benar goyah. Sebuah kenyataan yang selalu menjadi pemandangan mencolok di setiap Dimas merasa bersalah. Arunika paham apalagi hubungan mereka bukanlah hubungan yang baru berjalan sebentar. Mereka sudah mengenal sangat lama bahkan semenjak mereka masih kecil.
“Bicara di sini saja, jangan ditutup-tutupi lagi, Mas. Takutnya justru makin tambah dosa. Tadi aku sudah melihat apa yang Mas lakukan pada Mbak Kenanga. Mas mencium Mbak Kenanga!” Susah payah Arunika menahan emosi berikut kesedihannya. Ia tetap berusaha tampil elegan layaknya di setiap ia menghadapi omelan ibu Mirna.
“Enggak mungkin dosa apalagi tambah dosa karena mereka sudah menikah, Run!” lantang ibu Mirna tak ubahnya mata panah yang langsung menancap tepat di jantung Arunika.
“Mereka bebas melakukan apa pun bahkan bermesraan sambil telanjang di depan kamu karena mereka sudah menikah dengan restu keluarga besar kami!”
Mendengar itu, tubuh Arunika langsung gemetaran, memanas layaknya dipanggang. Mas Dimas dan Mbak Kenanga, ... mereka sudah menikah? Batin Arunika bak tersambar petir di siang bolong.
Kewarasan Arunika langsung tidak baik-baik saja. Bagaimana mungkin Dimas begitu tega kepadanya padahal selama ini hubungan mereka sangat harmonis? Semuanya sungguh terasa sempurna meski di antara mereka ada ibu Mirna yang selalu memperlakukan Arunika bahkan Dika anak mereka dengan semena-mena.
“Kamunya saja yang bloon. Suami jarang pulang dan sering membatasi kabar, masih saja percaya kalau suami sibuk kerja!” Ibu Mirna melangkah mendekat, menatap Arunika dengan tatapan bengis dipenuhi kebencian. Tatapan yang selalu ia lakukan di setiap ia menatap Arunika, setelah menantu tak ia harapkan itu berani menjadi bagian dari mereka.
“Mah,” tahan Dimas dan berusaha meredam emosi sang mamah.
“Sayang, apa yang Mamah katakan benar. Kamu jangan bentak-bentak Mamah begitu, enggak sopan. Arun ini masih bocah jadi pikirannya masih sangat labil. Dia masih butuh banyak bimbingan biar tidak grasa-grusu terus dan bisa bikin keluarga kita malu!” tegur Kenanga sarat perhatian.
Dongkol, Arunika nyaris meledak hanya karena mendengar sikap sok bijak Kenanga, mantan dari sang suami dan kini telah menjadi madunya. Tak sekadar panggilan Kenanga pada Dimas, melainkan cara Kenanga campur tangan terhadap situasi sekarang. Ingin rasanya Arunika memaki atau justru menghajar habis ketiga orang dewasa di sana tanpa terkecuali Dimas. Beruntung, Arunika masih bisa waras.
Arunika sadar, berurusan apalagi lebih dengan orang semacam ketiganya hanya akan makin merugikannya. Segera Arunika menyingkirkan kedua tangan Dimas dari pinggangnya.
Ibu Mirna tersenyum hangat pada Kenanga. “Pemikiran wanita berpendidikan dan juga dari keluarga berada memang beda. Beda dengan cara pikir wanita miskin yang otaknya dipenuhi ambisi kawin dengan orang kaya, demi mengubah nasib dan bisa hidup enak!”
Ibu Mirna dan Kenanga kompak menahan senyum mereka. Keduanya tersipu bahagia di atas kehancuran Arunika. Mereka yakin, Dimas akan jauh lebih berat pada mereka ketimbang pada Arunika.
“Di mana-mana, suami jarang pulang ya karena sudah bosan dengan yang di rumah! b**o kok dipelihara, ingat karmamu karena sekarang kamu sedang merasakannya! Dulu, kamu merebut Dimas dari Kenanga dan sekarang kamu lihat betapa kuat kekuatan cinta mereka!” Tak ada yang berubah dari nada tinggi maupun tatapan bengis ibu Mirna kepada Arunika.
“Termasuk dengan alasan Bapak jarang pulang ya, Bu? Jangan lupa, suami Ibu juga jarang pulang. Bahkan dari tiga hari lalu Bapak masih belum pulang dan tidak memberi Ibu Kabar! Satu lagi, Bu. Bagiku, Ibu biasa-biasa saja, Ibu tidak kaya karena sekadar gaji pembantu saja Ibu tidak bisa! Termasuk Mbak Kenanga, keluarganya juga bukan orang kaya! Kalau keluarga Mbak Kenanga kaya, kenapa rumah orang tuanya sampai disegel pihak bank?” balas Arunika.
Arunika mendadak kecolongan karena air matanya yang susah payah ia tahan, justru berjatuhan tak lama setelah sandal jepit ibu Mirna mendarat di wajahnya.
Layaknya biasa, ibu Mirna murka dan tak segan main kasar. Tak sekedar melalui kata-kata, tapi juga tindakan semacam sandal atau benda-benda di sekitarnya yang akan mendarat di tubuh Arunika.
“Mah, sudah!” Dimas langsung mendekap kepala Arunika dan berusaha membawanya pergi dari sana, tapi Arunika memberontak dengan sangat cepat. Padahal, ibu Mirna sudah siap menghantamkan sandal yang masih tersisa.
“Mamah ...?!” Dika langsung lari sambil menangis ketakutan setelah menyaksikan apa yang ibu Mirna lakukan pada Arunika.
Pernikahan Arunika dan Dimas yang sudah berjalan selama tiga tahun memang telah menghadirkan seorang putra tampan sekaligus terawat bernama Dika. Semuanya sungguh terasa sempurna sebelum Arunika mengetahui sang suami telah menikah lagi.
Kini, Arunika buru-buru memisahkan diri dari sana. Ia menyeka tuntas air matanya dan segera menghampiri Dika. Bocah berkulit putih bersih itu sudah menangis dan langsung menerima uluran tangannya.
Tak mau kesedihan mereka makin larut, Arunika sengaja mengemban dan memboyong sang anak memasuki kamar pertama setelah ruang keluarga kebersamaan mereka. Kamar yang bisa Arunika pastikan akan segera mereka tinggalkan, benar-benar sebentar lagi.
***
Sekitar tiga tahun yang lalu, Arunika baru saja selesai mengurus pengajuan beasiswa untuknya melanjutkan kuliah, ketika Dimas tiba-tiba datang melamarnya. Dimas mengabarkan bahwa Kenanga kekasih sekaligus calon istri Dimas, baru saja menjalani ijab kabul dengan pria lain. Singkat cerita, ternyata Kenanga sudah menyelingkuhi Dimas dan sampai hamil dengan laki-laki yang menikahi Kenanga. Kenanga memilih mencampakkan Dimas beserta rencana pernikahan mereka yang akan digelar dua hari lagi!
Demi menjaga nama baik keluarga, Dimas yang merupakan anak dari majikan orang tua Arunika, memohon pada Arunika untuk menjadi mempelainya, menggantikan Kenanga. Dimas berjanji akan membahagiakan Arunika beserta Ningsih—mamak Arunika yang sudah ringkih, tapi masih menjadi pembantu di rumah orang tua Dimas.
Tak ada alasan bagi Arunika untuk menolak. Sejauh mengenal Dimas yang usianya terpaut delapan tahun lebih tua darinya, Dimas memperlakukan Arunika dengan sangat baik. Dimas memperlakukan Arunika layaknya seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya, padahal Arunika hanya sebatas anak dari pembantu di rumah orang tua Dimas.
Selain itu, yang paling tidak bisa membuat Arunika menolak, mamak Ningsih yang menemani Dimas memohon, sangat mendukung lamaran Dimas pada Arunika.
Satu hal yang sulit Arunika mengerti tak lama setelah ia resmi dinikahi oleh Dimas. Dimas tidak pernah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi mengenai alasan Dimas tidak jadi menikah dengan Kenanga dan justru menikahi Arunika yang saat itu baru tamat SMA. Dan dampak dari kenyataan tersebut Arunika rasakan hingga sekarang. Ibu Mirna sangat membenci Arunika dan pernikahan mereka dibangun tanpa restu ibu Mirna. Parahnya, kebencian ibu Mirna berimbas pada Dika yang selalu ibu Mirna perlakukan semena-mena layaknya ketika ibu Mirna berlaku pada Arunika.
Ibu Mirna tidak sudi memiliki cucu yang terlahir dari rahim anak seorang pembantu di rumahnya. Mungkin dulu, Arunika tak mempermasalahkan kenyataan tersebut. Namun sekarang setelah Dimas justru telah menikahi Kenanga tanpa sepengetahuan apalagi persetujuan Arunika, semuanya seolah remuk redam. Perjuangan yang Arunika jalani selama menjadi istri Dimas terasa sangat sia-sia, sungguh tak ada gunanya.
Bersambung ….