“Ko, lo yakin mau ikutan balik ke Jakarta?” ulang Risa pada pada Moko yang dengan santainya menghabiskan roti dengan isian abon yang baru saja mereka beli ketika perjalanan menuju bandara Kuala Lumpur.
Keduanya memang memutuskan untuk kembali ke tanah air setelah memastikan kesehatan Risa sudah benar-benar pulih dan kuat menempuh perjalanan jauh. Bahkan Moko sampai tinggal di kamar hotel yang sama dengan Risa selama empat hari demi bisa menjaga dan memastikan sahabat cantiknya itu kembali sehat seperti semula.
“Yakin lah? ngapain harus gak yakin sih?” jawab Moko sedikit tidak jelas karena pria itu masih mengunyah makanannya.
“Gue udah beneran sehat kok, gue bisa balik sendiri maksudnya.”
“Elo ngusir gue nih?” Moko menghentikan kegiatan makannya.
“Ya kagak lah, kan elo udah nemenin gue berhari-hari sampai ninggalin kerjaan di Rembang. Semua demi gue. Masa sekarang gue balik ke Jakarta elo ikutan nganter juga sih?”
Meski Risa dan Moko sudah puluhan tahun kenal dekat, tentu saja Risa masih sering merasa tak enak hati jika terus menerus merepotkan pria tampan itu. Moko punya pekerjaan juga beberapa anggota band yang harus ia urus jadwal manggungnya. Belum sekarang vocalisnya berkurang karena Bimo yang pindah keluar kota dan Risa yang sedang mengambil ijin cuti. Dengan vocalis yang hanya seorang, tentu saja pria itu harus kembali memutar otak untuk menyusun jadwal yang baru.
“Nggak apa-apa juga Ca, toh gue sekalian nge-check studio sama apartment yang kosong di sana.” jawab Moko sembari membersihkan telapak tangannya dengan tissue basah yang ia ambil dari tas selempang milik Risa.
“Kerjaan lo di Rembang gimana? jadwal manggung anak-anak gimana kalo boss mereka malah ngikutin gue terus gini?” desak Risa mengerucutkan bibirnya. Meski merasa senang dengan semua perhatian Moko, dia tetap saja tak habis pikir dengan betapa santainya pria itu menjalani hari-harinya.
“Kan ada Rahman yang bantu handle. Dia udah gue asah sejak lama, Ca. Kerjaannya selalu cak cek sat set, selesai tanpa banyak complain kok.”
Rahman yang dimaksud Moko adalah adik sepupu Moko satu-satunya dari pihak sang ibu yang tinggal dengannya sejak delapan terakhir. Kedekatan keduanya yang sudah seperti saudara kandung membuat Moko banyak mempercayakan masalah pekerjaan pada pemuda berusia dua puluh empat tahun itu.
“Tapi kan nggak enak sama yang la—”
Tak menunggu sampai Risa menyelesaikan kalimatnya, Moko meraih tangan Risa dalam genggaman lantas mengajak gadis itu berjalan menuju petugas di pintu bandara. “Berisik ih nih cewek satu, ayo buruan jalan … pesawat kita bentar lagi lepas landas.” seru Moko tanpa menoleh lagi.
Dan selama dua jam tiga puluh menit setelahnya, Risa hanya bisa menurut patuh pada sahabat yang lebih layak seperti kakaknya ini. Sepanjang perjalanan dari bandara menuju ke rumah orang tua Risa di daerah Jakarta selatan, pria itu juga terus saja tak mengijinkan Risa membawa barang-barang bawaannya yang tak seberapa. Semuanya dibawakan Moko, Risa hanya berjalan santai sambil membawa tas kecil berisi ponselnya saja.
“Assalamua’alaikum Ma,” Moko maju beberapa langkah lantas memeluk pelan perempuan paruh baya yang menyambut kedatangan putrinya sejak beberapa jam lalu.
“Wa’alaikumsalam nak. Eeh … Moko ikut nganter Ica sampai Jakarta ternyata.” jawab Neni yang tak lain adalah ibu kandung dari Risa.
“Iya Ma, biasalah Ma, Ica kan nggak bisa jauh-jauh dari pesona Herpinda Moko. Jadi kemana-mana harus aku temenin.” jawab Moko membanggakan dirinya sendiri.
“Astaga naga, penyakit pede lo akut banget ternyata Ko, kapan sembuh sih?” cibir Risa yang berjalan mengekor di belakang Moko.
“Bukan penyakit pede atuh nduk, emang Moko mempesona kok, liat tuh sejak gak gondrong makin cakep kan?” Neni kembali memuji sahabat dari putrinya.
“Iih … Mama malah belain Moko, anak Mama tuh Ica atau Moko sih?” dengkus Risa berlagak merajuk pada sang ibu.
“Ya kalian berdua sama-sama anaknya Mama deh. Biar adil.” jawab Neni lantas memeluk pundak sang putri masuk ke ruang tengah. Moko yang sudah sangat akrab dengan Neni malah sudah terlebih dahulu berjalan ke dapur dan mencari makanan di lemari pendingin.
“Mama kira kamu ke Jakarta sama Bimo, makanya kok lama.” seru Neni ketika sudah duduk bersebelahan dengan putri sulungnya.
“Bim- Bimo?” Risa baru saja ingat kalau sang Mama belum mengetahui perihal kandasnya hubungannya dengan Bimo yang kini sudah resmi menjadi mantan.
“Hmm, kamu ke Jakarta katanya mau ngomongin tentang rencana pertunangan kamu sama nak Bimo kan?” lanjut Neni mengambilkan air mineral untuk Risa.
“Ma, makan dong Ma. Ini masakan Mama kan? atau masakan mbok Yah?” suara Moko menginterupsi perbincangan antara ibu dan anak itu.
“Yang mana?” Neni melongokkan kepala ke arah Moko yang berdiri sedikit jauh darinya.
“Yang semur jengkol di mangkok hijau nih Ma.” sahut Moko masih bersemangat.
“Oh iya, itu masakan Mama. Kalau yang ayam suwir sama daging bumbu rujak, itu masakan mbok Yah.” Neni bangkit dari sofa lantas mendekati Moko yang sibuk membawa piring ke meja makan.
“Makan ya Ma, laper banget belom sempat makan dari pagi.”
Moko meringis sambil memegangi perutnya seolah-olah tengah menahan rasa lapar yang amat sangat. Padahal sebenarnya pria itu sengaja melakukan hal demikian untuk mengalihkan perhatian Neni agar tak mencecar Risa dengan pertanyaan-pertanyaan seputar Bimo yang kini sudah tak menjadi kekasih dari putrinya.
“Bukannya elo tadi bilang udah kekenyangan habis sarapan di hotel, belum lagi habis roti tiga biji.” sela Risa ikut mendekat ke meja makan.
“Yaelah Ca, makanan seuprit gitu mana bisa bikin perut gue kenyang sih. Yang bisa bikin gue kenyang cuma nasi sama masakan dari mama lo ini.” Moko menarik salah satu kursi lantas duduk tenang di sana.
Neni yang ikut berbunga karena masakannya dipuji oleh sahabat dekat dari putrinya ini, akhirnya tersenyum lebar dan ikut antusias saat menyajikan hasil masakannya yang lain.
“Udah, udah… jangan ribut dulu. Makan dulu deh mendingan, pasti kalian berdua capek kan habis perjalanan jauh. Sini Ca, temenin Moko makan siang dulu. Nanti kita ngobrol lagi masalah rencana pertunangan kamu sama nak Bimo.”
Mendengar kalimat sang mama yang penuh harap, Risa kembali terdiam dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tatapannya kosong hanya melihat piring kosong di hadapannya. Menyadari raut wajah sahabatnya yang kembali murung, Moko langsung berinisiatif untuk mengalihkan perhatian Neni lagi.
“Ica masih capek banget, Ma. Dia habis sakit loh abis bantuin Gissa pindahan ke asrama. Mending sekarang makan dulu deh yang banyak, biar Ica sehat dan semangat lagi.” Moko berdiri lantas dengan gerakan pelan, merangkul Neni dari samping kanan dan menuntun perempuan cantik itu agar duduk di sebelahnya.
***
“Gue balik dulu ya, Ca?” tanya Moko lirih.
Risa mengangguk pelan sembari melengkungkan senyum terbaiknya. “Makasih ya Koko Moko kesayangan gue.”
“Kapan aja lo butuh gue, langsung telpon aja. Gue cuma bersih-bersih aja kok di apartment.”
Risa mengangguk lagi. “Apartment lo yang di Semanggi kan?”
“Iya masih yang itu, kalau yang Sunter masih ada yang nyewa.”
“Iya, iya … ya udah buruan balik dulu sana, pasti elo capek banget kan.” Risa mendorong pelan bahu Moko yang berdiri di teras rumahnya.
Baru saja berbalik dan berjalan beberapa langkah menuju taksi online yang ia pesan, Moko kembali berjalan mendekati sahabatnya lagi. “Elo … hmm, elo yakin gak pengen gue temenin pas bilang ke Mama soal Bimbim?”
“Diih, enggak lah, Ko. Gue udah gede, bukan ABG labil lagi, ya kali putus cinta masih harus jadiin elo tameng kalau bilang ke Mama.” Risa tergelak kecil dengan sahabatnya yang terlalu khawatir ini.
Moko mengalah, setidaknya ia harus mempercayai Risa untuk hal yang satu ini. Benar kata Risa, ia sudah dewasa, bukan saatnya lagi terlalu manja dan bergantung pada Moko jika sedang patah hati.
“Loh, nak Moko udah pulang?” tanya Neni setelah sekitar satu jam menyusul sang putri ke teras rumah. Di salah satu tangannya membawa kotak tupperware berisi ayam suwir dan sambal yang semula akan ia bawakan untuk Moko.
“Udah Ma.”
“Ke Rembang?” kejar Neni lagi.
“Ke apartment-nya yang di sini, Ma. Mau bersih-bersih katanya, yang nyewa sebelumnya udah keluar soalnya.”
“Padahal mau mama bawain semur jengkol sama ayam suwir yang tadi dia suka tuh.” Neni melirik pada kotak makan yang akhirnya batal ia bawakan untuk sahabat putrinya itu.
“Ma,” panggil Risa ragu-ragu pada sang mama.
“Hmm, ayo masuk dulu udah malem. Pamali anak perawan malem-malem sendirian di depan rumah.” Keduanya berjalan bersebelahan masuk ke dalam rumah.
“Ica pulang ke Jakarta ada alasannya, Ma.” Risa sudah yakin akan menceritakan batalnya rencana pertunangannya dengan Bimo pada sang ibu. Gadis itu tak ingin semakin terlambat hingga terlalu jauh melambungkan harapan Neni akan kisah kasihnya dengan Bimo.
“Iya, Mama tau. Mau bahas tentang rencana kedatangan keluarga Bimo kan?” Neni duduk di sebelah sang putri yang Nampak gelisah hingga meremas jari jemarinya.
“Bu- bukan itu,” Risa menggeleng pelan. “Tapi yaa … memang masih berhubungan dengan hal itu juga.”
Neni mengerutkan kening mulai membaca gelagat aneh putri sulungnya.
“Kamu sama Bimo kenapa?” tembak Neni tanpa tedeng aling-aling. Mengenal putrinya sejak lahir, Neni sudah hapal betul tingkah laku Risa jika sedang menyimpan permasalahan. Gadis cantiknya itu pasti akan sedikit gugup dan selalu memainkan jemari lentiknya seperti ini.
“Kami pu- putus.” aku Risa memejamkan mata dramatis. Ini bukan pertama kalinya ia putus cinta, tapi kali ini hubungannya sudah mendekati rencana pertunangan dan sudah memberi harapan pada sang ibu akan putrinya yang akan melepas masa lajang.
“Putus nyambung biasa kan?”
Risa menggeleng lagi, kali ini gadis itu sedikit menggigit bibir bawahnya. Risa dan Bimo memang pernah beberapa putus nyambung di awal hubungan mereka, tapi kali ini bukan putus nyambung yang seperti itu lagi. Kali ini kisah asmaranya benar-benar berakhir seiring dengan hasil pemeriksaan yang pernah Risa lakukan dengan mantan kekasihnya itu. Risa di vonis tak bisa mengandung, hal fatal yang membuat Bimo mantap mengakhiri hubungan mereka yang baru berjalan satu tahun. Bimo yang mengusulkan Risa untuk melakukan serangkaian test tersebut, demi masa depan mereka katanya. Namun setelah mengetahui hasilnya, Bimo jugalah yang menjadi orang pertama yang mematahkan hati seorang Risa.
“Kali ini benar-benar berakhir, Ma. Udah nggak ada harapan, rencana pertunangan kami juga batal.” seru Risa masih menunduk dalam menutupi rasa kecewanya pada diri sendiri. Kecewa karena dirinya lah yang menjadi penyebab semua ini terjadi. Ia merasa tak sempurna, ia merasa menjadi perempuan cacat yang tak pantas untuk bersanding dengan Bimo atau siapapun.
“Karena?”
Risa mengangkat kedua pundaknya pelan. “Ya karena, Ica nggak sempurna dan nggak bisa ngasih apa yang Bimo dan keluarga minta.”
“Mereka minta apa memangnya? Bimo dan keluarganya nuntut apa dari kamu?” kejar Neni semakin penasaran. Dirinya adalah orang yang paling antusias saat mendengar rencana Risa akan bertunangan dengan Bimo. Namun kini harapannya kembali pupus lantaran hubungan putrinya kembali kandas.
Risa bergeming, bingung harus memberi jawaban apa pada mamanya.
“Ca?” Neni mengusap punggung tangan Risa pelan.
“Pokoknya … hmm … pokoknya karena Ica nggak bisa jadi perempuan sempurna untuk Bimo dan keluarganya, Ma. Please jangan desak Ica untuk jawab lagi ya,” lirih Risa menggenggam pelan jemari sang ibu yang terasa hangat di telapak tangannya.
***