Sialnya, meskipun Brooklyn berusaha keras untuk mencekik Kayla dan menyingkirkan wanita itu, dirinya justru terjun bebas ke dalam bola mata Kayla yang memberinya kehangatan serta ketenangan. Napas Brook terhenti, jantungnya berdebar sedikit lebih kencang dari biasanya. Kelembutan kulit Kayla yang menyatu dengan kulitnya mengalirkan aliran listrik kecil yang membuat sesuatu dalam dirinya terlonjak, benar-benar seperti tersengat listrik. Saat otaknya memerintahkaannya untuk menyingkir dari tubuh Kayla, bibir Brook berhianat dengan menyatukan dirinya dengan bibir Kayla.
Terlambat menyadari betapa sesungguhnya Brook juga menyukai keintiman itu. Brook juga ternyata merindukan aroma Kayla yang selama ini menghantuinya. Membutuhkan kelembutan kulit Kayla yang sehalus sutra menyatu dengan kulitnya sendiri. Ketika Brook berusaha menarik diri dari jeratan kerinduan yang memuakkan itu, ia sudah tak sanggup melakukannya dan justru ternggelam semakin jauh ke dasar kerinduan itu sendiri.
Ciuman-ciuman itu terlalu panas dan memabukkan. Untuk dirinya sendiri dan untuk Kayla sepertinya. Kayla membuka mulut dan membiarkan Brook menguasainya. Tanpa perlawanan sedikit pun. Sesekali ia mengerang dan mencekeram seprai ketika Brook terus memaksa masuk untuk menjelajah lebih jauh dan intim.
Kayla menolak melepas Brooklyn. Ia berpikir mungkin inilah satu-satunya kesempatan untuk bersama pria menyebalkan itu. Dan setelah ini, setelah apa yang mungkin mereka lakukan, Kayla bersumpah akan menyingkirkan Brook dari hidupnya. Seperti yang pernah dilakukannya. Menghindar sejauh mungkin dari jangkauan pria itu. Mungkinkah?
Brooklyn melepas pagutan bibirnya dari Kayla. Mereka butuh udara, butuh bernapas. Sepertinya, keduanya lupa bagaimana paru-paru mereka tidak akan bekerja dengan baik tanpa oksigen. Keintiman yang terjadi membuat keduanya melupakan fakta-fakta terpenting untuk tetap hidup, mereka kehilangan akal sehatnya ketika berada sedekat ini.
Seolah tidak mau dihentikan begitu saja, Brooklyn berahil menyusuri rahang dan leher Kayla. Menyapukan lidahnya di sepanjang leher jenjang dan menggoda itu. Menghidu aroma wanita itu dengan rakus. Saat Kayla mengalungkan kedua tangannya di tengkuknya lalu menarik Brook lebih dalam, Brooklyn menjadi lebih berani. Salah satu tangannya dengan lihai membelai puncak p******a yang entah sejak kepan sudah sangat mengeras itu. Menciptakan desahan kasar dari tenggorokan itu
Dia menikmatinya. Pikir Brook.
Lalu semuanya terjadi begitu cepat, Brook mengecap setiap inci tubuh Kayla dengan bibir dan lidahnya. Sebagai gantinya, Kayla membelai d**a bidang Brook dengan jemari lentiknya. Saat ia tidak bisa menyentuh Brook, Kayla menyisir rambut Brooklyn dan sesekali meremasnya. Desahan demi desahan menyertai gerakan-gerakan panas yang mereka buat. Di bawah sinar rembulan yang tampak begitu menawan, Brook meyakinkan diri untuk menyatukan tubuhnya lagi dengan Kayla.
Brook mencium Kayla dengan rakus. Ia bersiap menyatukan tubuhnya dengan wanita yang ia benci itu. Katika ia hampir berhasil memasuki Kayla, Brook merasakan pipinya basah. Saat Brook melepaskan bibir Kayla dan mengangkat wajahnya untuk mengamati wanita itu, Brook melihat Kayla menangis. Isakan kecil tak tertahankan keluar dari kerongkongan Kayla.
Saat itulah Brook merasa dirinya adalah pria paling bejak di seluruh jagat raya. Hatinya mencelus melihat air mata Kayla. "Maaf." Gumamnya dengan susah payah.
Brook memberanikan diri menatap Kayla. Ekspresi wanita itu tak terbaca. Namun tangisan tanpa suara dramatis itu menyayat hatinya. "Apa aku menyakitimu?"
Kayla mengangguk samar. Jawaban itu menjelaskan semuanya. Memupuskan harapan Brook untuk menjadikan Kayla miliknya lagi malam ini. "Kupikir kau merasakan hal sama. Kau...emm... meresponku dengan.. ya... sangat... baik..."
Brook lupa kapan ia mulai gagap seperti sekarang. Brook lupa kapan ia mulai bodoh seperti sekarang. Brook lupa kapan ia menjadi begitu b*******h seperti remaja lima belas tahun yang penuh dengan rasa penasaran, seperti sekarang.
Menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan itu dari benaknya, Brook turun dari tubuh Kayla. Ia baru menyadari kalau ternyata ia menindih Kayla sangat lama. Untung saja, Kayla tidak mati kehabisan napas karenanya.
Kikuk karena ulahnya sendiri, Brook mencari selimut untuk menutup tubuh mereka. Entah mengapa ia belum ingin beranjak dari sana, dari sisi Kayla. Brook meluapakan keinginannya untuk bersatu dengan Kayla. Menekan keegoisannya dalam-dalam agar tidak menyakiti Kayla.
Setelah hening beberapa saat, Kayla akhirnya bersuara. "Aku tidak bisa melupakan kejadian itu.'
"Melupakan? Aku juga tidak."
"Kau tidak tahu maksudku."
"Maka jelaskanlah, Nona."
Kayla mengembuskan napas berat. "Jika kau ingat,"
"Oh, apa kau pikir aku bisa melupakannya semudah itu."
"Kau mabuk!" sentak Kayla.
"Kau juga tidak tahu kejadian yang sebenarnya, bukan! Kau juga mabuk!"
Kayla mengakuinya. Ia juga mabuk. Bukan hanya Brooklyn. Namun ada beberapa hal yang masih melekat di benaknya, yang masih sangat ia ingat. Salah satunya adalah, "Kau tidak tahu seperti apa rasanya."
Setidaknya, Brook sedikit memahami arah pembicaraan Kayla. Brook membiarkan Kayla terus bicara sementara dirinya berjuang keras mengabaikan keinginannya untuk bersatu dengan Kayla.
"Itu pertama kalinya untukku. Rasanya.. sangat sakit.."
Brook terperanjat. "Sesakit apa?" kali ini Brook berusahan terdengar tenang.
"Entahlah. Aku tidak bisa menjelaskannya. Setelah malam itu, ada yang aneh dengan diriku. Cara berjalanku tidak seperti biasa. Pangkal pahaku masih terasa sangat perih setelah beberapa hari kemudian. Aku tidak menyangka rasanya akan sesakit itu. Padahal, aku sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari sebelum hari itu."
"Jadi, kau sengaja menjebakku? Untuk eksperimen kecilmu itu?" tanya Brook galak.
"Jangan bodoh! Aku tidak tahu apa yang terjadi. Kau terus-menerus menuduhku!"
"Jadi?"
"Mungkin suatu hari nanti aku akan menikah. Jadi, mau tidak mau aku harus melakukan hubungan intim dengan suamiku. Aku melihat beberapa video tentang.. .yah.. kau tahu maksduku. Dengan cara itu mungkin aku bisa belajar bagaimana melakukannya dan menangani rasa sakit yang mungkin kurasakan setelah..."
Mereka terdiam beberapa saat. Saat Kayla tidak lagi bercerita, Brook memberanikan diri bertanya. "Apa aku menyakitimu?"
Kayla menggigit jari telunjuknya. "Seharusnya tidak. kau juga tidak tahu apa yang terjadi saat itu. Dan..." Kayla menggigit telunjuknya lagi. Brook memperhatikannya. "Kau menganggap aku Elsa."
Sebuah keajaiban Kayla mampu mengucapkan hal itu. Bukan karena Brook mengambil kesuciannya yang membuatnya hancur. Melainkan, karena Brook menganggap dirinya Elsa.
"Maaf."
"Jangan bodoh. Aku tahu ini bukan yang pertama untukmu. Kenapa kau harus meminta maaf?"
"Karena ini yang pertama untukmu."
Setelah dipikir-pikir Brook benar. Kayla mengenyahkan belas kasihan pria itu dari benaknya. Brook pasti sedang mencoba mempermainkan perasaannya. "Jadi, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Kayla.
"Elsa menyuruhku kemari. Menemuimu."
Oh, ya, Elsa. Memangnya apa yang akan dilakukan Brook saat bertemu dengannya? Jika bukan karena Elsa, pria itu tidak mungkin berbaring di sisinya, di bawah selimut yang sama, di ranjangnya, menatap langit-langit apartemen mewahnya, menghidup udara yang sama dengannya. Tidak mungkin.
"Oh." Hanya itulah yang berhasil terucap dari bibir Kayla.
"Apa yang kau lakukan dengan Jackson? Apa selama ini kau selalu bersamanya? Seperti hari ini?"
**
Jackson?
Bagaimana Brook tahu tentang Jackson? Dan kenapa pula dia menanyakan hal itu? Mungkinkah...
"Dari mana kau tahu namanya?"
"Itu tidak penting. Bagaimana kau mengenalnya?"
"Kami bekerjasama hampir sepanjang tahun ini. Dia membantu papa mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Dia adalah pengacara yang hebat."
"Kau yakin dia pengacara?"
"Kenapa kau selalu meragukanku? Lagipua kau tidak mengenalnya. Kenapa kau seolah menganggapnya penjahat?"
Brook menolak mengatakan pada Kayla apa yang sebenarnya ia ketahui tentang Jackson. Mungkin saja justru hal itu akan membantunya. Brooklyn sama sekali tidak yakin dengan Jackson itu. Dan mulai detik ini tugasnya melindungia Kayla dari si Pengacara bernama Jackson.
"Bagaimana kau bisa tahu namanya?"
"Aku mengikutimu seharian ini."
"Kau tidak boleh melakukannya."
"Kenapa tidak? Aku berhak melakukan apa saja yang kuinginkan. Dan tidak boleh ada yang melarangku."
"Begitu? Tapi, Brooklyn Montano yang terhormat, aku tidak mengijinkanmu menguntitku lagi. Tidak sekarang dan selamanmya."
"Kaupikir selamanya itu berapa tahun?"
"Entah. Aku juga tidak begitu yakin."
"Kenapa kau mengatakannnya kalau kau tidak yakin?"
Kayla menguuap. "Karena kau memaksaku."
"Oh, hey, aku bahkan tidak memaksamu melakukan apa pun."
Mereka terus beredebat hingga kantuk menghentikan Kayla. Brook menahan dirinya agar tidak memeluk Kayla. Tidak bisa. Melihat bagaimana Kayla menggeliat manja memunculkan keinginannya untuk memeluk dan mencumbu wabita itu lagi. Namun, alih-alih menyingkir dari sana untuk menghentikan kegilaannya, Brook justru mendekap Kayla hangat. Dan untuk pertama kalinya sejak tiga bulan terakhir, mereka bisa tidur nyenyak. Ternyata ini yang mereka butuhkan, berbagi ranjang satu sama lain. Seperti tiga bulan lalu.
Baik Brooklyn maupun Kayla sama-sama terhanyut dalam mimpi indah mereka. Hingga tatkala pagi menyapa dan suara seorang pria paruh baya mengusik tidur mereka, mereka terperanjat. Terlebih ketika Kayla mendapati ayahnya kini menatapnya marah. Dan ibunya yang dengan ekspresi sebaliknya. Melihatnya dengan wajah berbinar-binar.
"Pa, ini tidak seperti yang kau pikirkan." Terang Kayla pada Christian.
"Aku melihatnya dengan jelas!" sahut Christian penuh dengan luapan emosi.
Di luar dugaan mereka, saat Christian bersiap melakukan serangan selanjutnya, Brooklyn mendekap Kayla dan mencium bibirnya lagi. Kali ini lebih intens dan dalam. Dan hanya dilakukannya beberapa saat sebelum ia berkata, "Kau hebat mala mini. Kita bisa melakukannya lagi nanti."
"Kau.. bedebah....!"
"Jaga bicaramu, Pak tua!" tukas Brook sebelum Christian berhasil menyelesaikan kata-katanya.
"Aku tidak percaya kau lebih memilih pria b******k ini di banding orang tuamu."
"Pa, aku tidak mengatakan hal itu."
"Kalian pergilah. Atau kalian ingin melihat kami berpakain? Oh, atau kau ingin mandi bermsamaku, sayang?" Brook kembali menatap Kayla dengan tatapan khas pria penggoda.
"Kami akan pergi." Sahut Early cepat.
"Terima kasih atas pengertiannya."
"Sama-sama." Early menyeret Christian keluar dari kamar Kayla. Sekarang tinggallah Brook dan Kayla di sana. Dengan emosi Kayla yang jelas meluap-luap untuk Brooklyn dan Brook yang terlihat puas.
"Kenapa kau melakukannya?" bentak Kayla.
"Ayahmu tidak seharusnya menganggu kita. Kau sudah dewasa."
"Kau tidak tahu, Brook! kau sama sekali tidak tahu menahu soal kelaurgaku."
"Apa pun yang kau katakana, aku tidak suka melihatnya memarahimu. Kau bukan anak kecil lagi!"
"Terserah. Aku ingin mandi!" Kayla turun dari ranjang dengan kekesalan yang tidak bisa ia sembunyikan. Brooklyn keterlaluan. Tidak seharusnya pria itu mencampuri urusan keluarganya. Brooklyn tidak punya hak atas dirinya. Sekarang dan selamanya!
Di saat Brook sendirian, baru terpikir olehnya ia tidak memiliki baju ganti. Bajunya kemarin terjatuh di kamar mandi Kayla. Dan sampai saat ini masih di sana. Ia tidak mungkin seharian berbaring di sana tanpa pakaian. Yang ada nanti Brook pasti kehilangan akal sehatnya seperti semalam. tetapi, mengingat kejadian pagi ini, mustahil rasanya Kayla mau menghabiskan sepanjang hari dengannya tanpa pakaian yang melekat di tubuh mereka.
Memikirkan itu membuat membuat Brook ingin mengubur dirinya yang begitu menginginkan Kayla. Tidak, itu tidak boleh terjadi. Pikirnya.B
Brook menghubungi salah satu orang kepercayaannya untuk mengantarkan pakaian ganti untuknya. Mungkin ia harus segera pergi dari sini sebelum ayah Kayla menjadi semakin marah. Atau mungkin juga ia harus mencari tahu lebih banyak tentang Jackson. Mungkin saja ada fakta yang ia tidak ketahui. Bagaimana pun juga, Brook harus memastikan Kayla aman dari siapa pun. Termasuk Jackson.
"Apa kau akan berada di sana sepanjang hari?" Kayla mengagetkan lamunan Brooklyn. Wanita itu memakai bathrobe seperti semalam. Bedanya kali ini bathrobe itu berwana merah muda.
"Aku sudah mencuci, mengeringkan dan menjemur bajumu. Kau bisa memakainya setelah kering. Sementara kau mandi, aku akan memakai baju dan menggiring orang tuaku keluar. Lagi pula, aku tidak yakin kami mempunyai banyak waktu untuk menunggumu. Aku dan Jackson harus pergi ke airpot sekarang."
Mendengar nama Jackson disebut, darah Brook kembali mendidih. Ia sama sekali tidak suka Kayla terus menerus membicarakan Jackson. "Kau tidak boleh pergi sebelum kita bicara."
"Brook, apa lagi yang harus kita bicarakan? Bukankah sudah cukup jelas..."
"Belum." Potong Brooklyn cepat. "Jangan pergi sebelum aku selesai berbiacara padamu!"
"Wtf."
Kayla memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur dari Brook secepat yang ia bisa. Kali ini ia tidak mau melihat Brook berdebat dengan ayahnya. Ia juga sengaja tidak mencuci rambutnya agar waktunya tidak terbuang untuk mengeringkannya. Kayla memilih baju paling praktis yang bisa ia cari di walk in closet miliknya. Tank top putih dan celana jeans hitam serta sepatu boot cokelat menjadi pilihan berbusanannya kali ini. Setelah mengoleskan sedikit lipstick dan bedak di wajahnya, Kayla mengambil topi hitan dan memakainya. Lalu ia pun kabur dari apartemennya sendiri.
Seharusnya, ia tidak melakukannya. Untuk apa Kayla kabur dari Brooklyn? Toh, ini rumahnya. Istananya.
Cinderella tidak kabur dari istananya sendiri, bukan?