1. Bayi?!
Hai, namaku Jamaludin, biasa dipanggil James (baca ; Jems). Lelaki tulen berusia sembilan belas tahun, peranakan Turki alias Turunan Kidul. Orang bilang aku ganteng. Jelas, karena aku laki-laki. Coba kalau perempuan, pasti cantik! Jika ada nilai untuk level ketampanan, 1-10 sepertinya aku ada di level 9. Tidak, tidak, tapi 9,999. Aku jamin. Terbukti dari beberapa mahasiswi yang selalu terkesima saat berpapasan denganku. Bahkan tak jarang mereka sampai tersandung karena matanya yang tidak fokus melihat jalanan. Bisa kau tebak, itu karena apa?
Seperti saat ini. Ketika aku berjalan sendirian di area kampus.
Duk!
Aku menoleh.
Seorang perempuan terjatuh rupanya. Segera aku mengulurkan tangan disertai senyum simpul. Ingat, jangan tersenyum lebar. Itu bisa menurunkan kadar ketampananmu!
Gadis berambut sepinggang itu menggelengkan kepala diiringi senyum kecil, khas malu-malu jika bertemu cowok keren. Kemudian dia berdiri dengan cepat. "Maaf, Kak. Jadi ganggu waktunya," ucapnya santun setelah menepuk-nepuk bagian bawah tubuhnya.
"Tidak apa. Lain kali hati-hati," sahutku sok bijak.
Gadis berkemeja hitam itu menganggukkan kepala, lalu mengalihkan netranya dengan tatapan menelisik ke area dadaku. Oh, mungkin dia terpesona dengan tubuhku. Walau pun tidak berotot kekar seperti Iko Uwais, tapi beberapa perempuan pernah mengatakan badanku ini 'lelaki banget'.
"Kenapa?" tanyaku karena merasa salah tingkah.
"Kemejanya ... bagus," ucapnya serupa gumaman.
"Oh, terima kasih." Aku menyahut bangga. "Kalau begitu aku pamit," tandasku. Tanpa menunggu jawabannya aku berputar segera, kembali melangkahkan kaki.
"Kak, tunggu!"
Aku berhenti. Nah, 'kan. Sudah kuduga. Sepertinya jurus pemikatku kali ini ampuh sekali. Terbukti dia memanggilku sebelum aku berjalan terlampau jauh.
"Ada apa?" tanyaku dengan gaya tak acuh setelah menghadap ke arahnya.
"Kakak emang cocok pakai kemeja itu." Telunjuknya mengarah padaku.
Ow, ow. Tak salah aku membeli kemeja ini ternyata.
"Oya? Thanks." Kuberi seulas senyum.
"Untung kemarin aku enggak beli buat cowok aku, ternyata motifnya pasaran," celetuknya dengan nada lebih pelan, dan sialnya aku mendengar itu dengan jelas.
Aku pun memilih berlalu segera tanpa ingin mengeluarkan pesonaku lagi untuknya.
.
"Jamal!" Seorang lelaki berlari menghampiriku.
"James, dodol," desisku di depan wajahnya setelah dia duduk di sebelahku.
"Oh, sorry. Gue lupa." Faris menggaruk tengkuknya sambil cengengesan.
"Biasain!" ketusku. Dasar anak baru! Sudah berapa ratus kali aku bilang, panggil aku James. Susah memang. Aku memalingkan wajah, kembali memfokuskan pandangan ke arah benda di tangan.
"Gue kira lo ke mana, Jem. Gue cariin lo di perpus, enggak ada. Terus gue masuk toilet cowok, enggak ada juga. Ternyata di sini," cerocos Farid dengan logat Jawa-nya. Maklum, baru sebulan di Jakarta. Masih belajar jadi anak gaul.
"Mau ngapain lama-lama di dalam, " sahutku tanpa menoleh. Lebih memilih menatap layar ponsel. Membaca satu persatu pesan masuk dari beberapa akun cewek kece di kampus.
"Jem, gue mau nanyain tugas yang tadi. Pak So--"
"Sompret!"
"Elo kenapa Jam ... eh, Jem?"
"Ini, gue beli jaket online limited edition. Udah transfer masa dicancel."
"Olshop tipu-tipu itu!" sungut Faris dengan ekspresi wajah yang berubah seketika.
"Yoyoi!" Aku balas dengan nada kesal. Padahal, sebenarnya aku sedang emosi karena membaca isi pesan dari lima cewek itu. Semua yang aku ajak jalan di malam Minggu besok, semuanya mengaku sibuk.
Kenapa?!
"Balik, ah!" Aku meraih tas di samping paha.
"Kenapa? Biasanya nongkrong dulu."
"Mendadak pusing pala gue," sahutku sambil memijit pelipis. Kalau begini caranya, bagaimana bisa lepas dari predikat Pangeran Jomblo?
Sudah hampir empat semester menjadi mahasiswa, belum juga ada cewek yang mau jadi pacar aku, masa?
Kalau masih anak baru, mungkin masih bisa disebut wajar. Selama setahun aku sudah menjadi anak baik. Belajar, tanpa mikirin cewek. Masalahnya, sekarang 'kan sudah naik tingkat, jadi senior. Kenapa pesonaku belum bisa meraih empati dari para adik tingkat di kampus?
.
Aku turun dari angkot, menyusuri gang sempit menuju kontrakan. Maklum lah, anak rantau. Sengaja kuliah di kota, biar bisa dinilai mandiri oleh orang kampung. Apalagi pas lebaran pulang, mereka selalu bertanya, "Gimana rasanya kuliah di kota?", atau, "Enak ya, kuliah di kota? Rame, banyak hiburan."
Kemudian aku balas, "Enak lah, kuliah di kota. Banyak mal, banyak tempat nongkrong, bisa ketemu artis juga malah."
Padahal mereka tidak tahu bagaimana rasanya tinggal di rumah kontrakan sendirian. Itu seperti lagu Caca Handika. "Masak-masak sendiri, tidur-tidur sendiri, cuci baju sendiri. Semua sendiri."
Ya, seperti itulah kira-kira. Aku menyanyikan lagu itu di dapur, karena memang benar-benar sedang memasak makan malamku. Mau tahu apa? Soto, tapi dalam bentuk mie rebus. Blep! Gas pun habis waktu lagi masak mie rebus. Padahal mienya baru saja kucemplungin ke dalam wajan. Aih, lengkap sudah penderitaanku. Mana sudah lapar tingkat dewa.
Akhirnya mau tak mau kutinggalkan semua kekacauan ini. Keluar dari rumah kontrakan demi mencari sepiring nasi beserta lauk-pauknya.
"Abang James, mau ke mana?"
Aku yang baru menutup pintu, menoleh segera. "Eh, Neng Sari. Mau ke warung Mpok Naroh," jawabku.
Sari tersenyum manis. "Gasnya habis, ya?" Seakan dia sudah tahu kemalangan yang menimpaku.
"Iya," jawabku seramah mungkin. Karena aku pun sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Abang suka sayur lodeh?" tanya Sari sambil memilin ujung rambutnya yang diikat menyamping.
"Suka, dong!" jawabku segera.
"Abang tunggu di sini, Sari bawain sayurnya."
"Wah, makasih banyak."
Kali ini dia tersipu. Kepalanya terangguk, lalu melangkah.
"Neng Sari," panggilku menghentikan langkahnya.
"Iya, Bang." Sari berbalik dan bertanya dengan nada lembut.
"Sama nasinya sekalian, ya?" Kuberikan tatapan penuh harap.
Sari mengangguk lagi disertai senyum lebar.
Ah, aku pun bernapas lega. Penyelamat dunia memang Sari, tuh. Lumayan, bisa menghemat sepuluh ribu.
Lima menit kemudian Sari datang. Nasi di tangan kanan dan sayur di tangan kiri. Aku menyambutnya dengan semringah.
"Abang makan aja, biar Sari yang beliin gas."
"Enggak usah repot-repot, biar entar Abang aja ...."
Eh, si Sari main pergi saja. Masuk ke dapur, keluar lagi sambil membawa tabung gas. Kalau sudah begitu, rasanya mau sekali menjadikan dia pacar. Sayangnya ... ah, dia bukan tipeku banget. Apalagi bapaknya itu, bukan tipe mertua idaman.
Akhirnya, aku menikmati makan malam di kamar kontrakan. Ruangan persegi seluas 4X6 meter. Kontrakan khas-khas anak perantau pokoknya. Nasi dan sayur habis bersamaan dengan datangnya Sari membawa tabung gas berwarna hijau benderang.
"Ini, Bang, gasnya," ujarnya sambil menyimpan benda itu di samping kasur.
"Wah, makasih banyak. Neng Sari emang baik." Kurogoh segera saku celana.
"Enggak usah, Bang. Gasnya udah Sari bayar. Abang simpen aja uangnya buat ongkos kuliah."
Aku tersenyum. Menarik kembali tangan kanan dari saku celana. Padahal aku hanya pura-pura, karena kenyataannya saku celanaku kosong. "Terima kasih, Neng Sari. Neng emang perempuan paling baik di dunia ini," pujiku sambil memberikan piring dan mangkuk yang sudah kosong.
"Sama-sama, Bang." Sari mengambil kedua benda itu dari tanganku. "Kalau gitu Sari pamit ya, Bang. Takut Abah cariin."
"Iya, silakan," ujarku. Senang bukan kepalang karena bisa menghemat lagi uang untuk membeli gas. Hahaha.
Sari melangkah, keluar dari rumah kontrakan. Hingga lima detik kemudian, terdengar suara yang sudah tak asing menggelegar.
"Sari! Lu abis ngapain? Lu ngasih makan si Jemes lagi, hah?!"
"Enggak apa atuh, Bah. Berbagi. Sayang sayurnya masih sisa banyak."
Aku bangkit, mengintip dari celah pintu.
"Berbagi kalo keseringan enak di dia. Udah bayar kontrakan sering telat, masih dikasih makan gratis ama elu."
"Kasian atuh, Bah. Bang James tinggal sendirian di sini."
"Ah, elu. Ada aja alesannya."
Hingga suara perdebatan bapak dan anak itu tidak terdengar lagi. Kututup segera pintu, menguncinya. Haduh, kuusap d**a yang sudah berdebar ini. Abahnya Sari memang menyeramkan. Pantas saja banyak rumah kontrakan yang masih kosong, pasti karena takut pada sosok pemiliknya.
Tentu bisa disimpulkan siapa Sari itu. Dia adalah anak Abah Jambrong. Pemilik dua puluh rumah kontrakan yang berjajar di lingkungan ini. Entah siapa nama asli Abah Jambrong, yang jelas sejak kedatanganku ke sini para tetangga sudah memanggilnya seperti itu. Mungkin karena perawakannya tinggi besar dan memiliki perut yang buncit, berambut agak keriting dan berkumis tebal. Jika dilihat-lihat, penampilannya mirip Almarhum Babehnya si Doel. Wah, kok tidak nyambung, ya. Ah, terserah.
Karena alasan itulah yang aku maksud dia bukan tipe mertua idaman. Abah Jambrong sepertinya memang tidak suka kalau Sari anaknya, selalu bersikap baik padaku. Padahal yang kudengar, almarhum istri Abah Jambrong masih sama-sama satu rumpun denganku, alias Turki, Turunan Kidul. Namun, apa mau dikata. Sepertinya aku dan Sari memang sulit berjodoh.
Elah, ngomong apa. Tadi 'kan sudah kubilang kalau Sari itu bukan tipe cewek incaranku. Bagiku yang penting dia selalu baik dan rajin memberiku makanan, itu sudah cukup.
***
"Maaf, James. Aku udah ada janji sama Vicky."
"Aduh, sorry. Aku ada acara keluarga yang enggak bisa aku tinggal."
"Maaf, ya. Aku lagi enggak enak badan, James."
Ah, tupai loncat! Tidak adakah kesempatan untukku menikmati malam Minggu yang indah ini? Semua cewek yang aku chat memberi jawaban yang sangat memilukan hati. Kulempar ponsel ke atas kasur. Jika sudah begini, lebih baik menggunakan waktu untuk hal-hal yang positif saja. Kuraih laptop di atas meja. "Mending ngerjain tugas dari pada mikirin mereka yang kerjaannya nolak gue," bisikku kesal.
.
Malam semakin larut, tapi aku masih sibuk mengerjakan tugas. Sebenarnya masih ada waktu meski dikerjakan nanti pun. Hanya saja aku ingin semua tugas selesai cepat. Dikhawatirkan, besok hari Minggu ada jadwal mendadak. Bisa saja, 'kan? Berharap dan berpikir positif itu perlu. Ya, kalau pun masih tidak ada cewek yang mau kuajak jalan, paling seperti biasa saja, aku tidur seharian.
"Sip, beres. Save dulu, tinggal print, deh," gumamku lega.
Kututup laptop, menyimpannya di atas meja. Naik ke atas kasur lalu berbenah untuk tidur. Namun, sebuah suara mengurungkan niatku saat akan memejamkan mata. Ada bunyi krasak-krusuk di depan rumah, berkali-kali.
Deg. Tiba-tiba, bulu kudukku meremang. Siapa? Jika hantu sih, aku enggak masalah. Akan tetapi, jika itu perampok ... ah, tidak! Jangan sampai. Kasihan perampok itu jika mencuri di rumah kontrakanku. Tidak ada barang berharga yang bisa dia ambil. Paling cuma ... laptop, sama ... celengan ayam di kolong meja. Asem!
Lekas aku bangkit, berjalan pelan ke arah jendela. Menyingkap tirai, melihat ada keanehan apa di luar rumah. Aneh, tidak ada siapa-siapa.
Apa perampoknya sudah pergi?
Atau mungkin yang tadi memang ....
Terdorong rasa penasaran, aku memutar anak kunci sambil komat-kamit membaca Ayat Kursi.
Pintu terbuka. Hening, gelap dan dingin. Tentu saja, ini sudah jam dua belas malam. Semua penghuni kontrakan sudah tidur. Aku mengembuskan napas pendek, menyingkirkan semua pikiran negatifku. Kudorong lagi pintu.
Tunggu? Apa itu? Kenapa ada kardus? Sejak kapan benda itu ada di sini?
Aku membungkuk, menelisik isi kardus. Kebetulan memang tidak ditutup rapat. "Astagfirullah," gumamku kaget, karena mendengar ada suara di dalamnya.
Apa mungkin anak kucing?
Dengan tangan gemetar, aku pun akhirnya membuka tutup kardus itu. Hingga akhirnya bisa kulihat isi di dalamnya.
What? Bayi?!
*****
--bersambung—