Dipta menunggu di kafe yang terletak di samping lobi utama gedung kantor Saki. Dia memesan cheese cake dan americano untuk menemaninya. Pria itu memilih menyibukkan diri dengan laptopnya, membalas email dan menyiapkan materi untuk monthly meeting besok.
“Aku jadi penasaran …. Sehebat apa si Saki itu yang bisa membuat Pak Sakha bertahan tidak menggantinya selama dua tahun ini sebagai sekertaris. Kita semua tau kan sebelum si Saki … hampir setiap bulan Pak Sakha selalu mengganti sekertarisnya.”
“Mungkin si Saki sangat hebat di ranjang dan memberikan service yang gila hingga membuat Pak Sakha mempertahankannya sejauh ini.”
“Mungkin berbagai gaya telah mereka lakukan di ranjang. Wanita itu harus bisa memuaskan Pak Sakha untuk mempertahankan posisinya.”
“Iya lah. Dunia sekertaris kan memang seperti itu. Tidak beda jauh dengan dunia malam. Hanya saja ini lebih berkelas dan lebih eksklusif. Apalagi si Saki itu memang cantik kan, mudah sekali memikat hati Pak Sakha.”
“Hijabnya hanya kedok agar terlihat seperti sekertaris baik-baik, padahal mah jaman sekarang, mana ada sekertaris yang tidak melayani bosnya di ranjang juga. Gorok leher gue sini kalo ada.”
Obrolan-obrolan mereka membuat Dipta memejamkan matanya, jelas Dipta tau itu adalah rekan kerja Saki. Kenapa hari ini begitu banyak obrolan miring tentang Saki dan profesinya.
“Eh … Eh lihat deh … Itu mereka baru keluar bareng … Keluar aja pake barengan kan, padahal bisa sendiri-sendiri. Pasti mereka abis ngamar dulu, kan Pak Sakha punya kamar di ruangannya. Gila lah! Menang banyak tuh si Saki!”
Dipta menoleh dan memang mendapati Saki dan seorang pria keluar bersama.
Dipta segera beranjak dari sana, pria itu sudah pergi lebih dulu dan dia melihat Saki berdiri di lobi, membuka ponselnya dan Dipta tau wanita itu pasti berusaha untuk menghubunginya.
“Saki.”
“Mas … Sudah lama? Maaf ya membuat kamu menunggu.” Dipta tersenyum tipis, namun senyumnya tidak lepas seperti biasa dan Saki merasakan itu.
“Ayo pulang.” Dipta meraih tangannya dan mengajaknya menuju parkiran.
“Mas … Kamu baik-baik saja?” Tanya Saki yang merasa bingung, Dipta seperti sedang menahan amarahnya.
“Baik. Kamu sudah makan malam? Tadi aku sudah makan di kafe.”
“Oh kalau gitu aku akan masak mie saja nanti.” Ucap Saki membuat Dipta mengangguk.
Rasanya baru kali ini dia merasakan begitu mencekam duduk semobil dengan Dipta. Wajah pria itu terlihat keruh, seperti sedang memiliki masalah.
“Mas … Kamu memiliki masalah? Kamu bisa menceritakannya padaku.” Ucap Saki mencoba mencairkan suasana. Namun Dipta diam dalam waktu yang lama.
“Tidak ada masalah apapun, Saki.” Ucap Dipta dengan suara yang rendah, Saki menangkap itu sebagai ungkapan Dipta tidak ingin lagi ada obrolan di antara mereka, dan sepanjang jalan itu hanya suara radio yang menemani perjalanan mereka.
Hingga pagi hari, saat mereka sarapan, Dipta masih dengan mode diamnya, sikapnya begitu dingin dan bahkan pria itu tidak menghabiskan sarapannya seperti biasa.
"Aku tunggu di mobil." Ucap Dipta yang langsung beranjak, meninggalkan Saki dalam keterdiamannya dan keterkejutannya melihat Dipta pergi begitu saja tanpa mengajaknya seperti biasa.
"Kamu kenapa si, Mas?" Saki hanya bisa menelan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri. Dia akhirnya menyusul Dipta dan melewatkan sarapannya/.
Lagi-lagi keheningan menyelimuti perjalanan mereka. Dipta sengaja menyetel radio dengan volume yang keras, seolah memang menghindari obrolan dengan Saki.
Pikiran pria itu sedang penuh, sedang meyakinkan dirinya sendiri jika Saki tidak seperti yang mereka bicarakan. Dia ingin menanyakannya langsung pada Saki rasanya lidahnya kelu. Tidak siap jika harus mendengar kenyataan pahit dari bibir wanita itu nantinya.
"Mas ... Apa aku memiliki salah? Kamu mendiamkanku sejak semalam." Pada akhirnya Saki mengutarakan isi hatinya, mereka baru saja tiba di kantor Saki.
"Tidak, aku sedang banyak pikiran saja. Aku harus buru-buru karena ada meeting pagi ini. Nanti kita bicara lagi." Ucap Dipta membuat Saki menghela napasnya dan akhirnya keluar dari mobil pria itu dengan hati yang gelisah.
Saki sungguh tidak tau apa salahnya pada Dipta.
Dia ingin memiliki waktu berdua dengan Dipta dan mengobrol baik-baik, tidak suka jika hubungannya dengan Dipta menjadi dingin seperti ini tanpa tau ada penyebabnya.
Mungkin lusa, karena besok Saki memiliki perjalanan bisnis menemani bosnya ke Semarang lanjut ke Surabaya dalam sehari, dia ingin mengatakannya pada Dipta, namun Dipta yang dalam mode diam membuat Saki urung mengutarakannya.
Dia menimbang-nimbang apa kesalahannya yang membuat sikap Dipta berubah jadi dingin. Namun, Saki tidak menemukan satu pun kesalahannya.
Pada akhirnya Saki memilih fokus pada pekerjannya saja. Hari ini akan menjadi sangat sibuk karena besok dia harus menyiapkan semua materi untuk perjalanan dinas besok ke Surabaya dan Semarang, lalu pulang ke Jakarta hari itu juga. Akan sangat melelahkan untuknya hari ini dan besok.
***
“Iya, biasa lah aku ditawari wanita untuk menemaniku malam ini oleh Direktur Aksara Pradiksa, sekertarisnya yang katanya cantik dan berhijab.”
Obrolan itu menyentak Dipta yang ada di parkiran kantor, dia sudah akan pulang dan ingin menjemput Saki dulu seperti biasa. Aksara Pradiksa adalah kantor tempat Saki bekerja, Dipta mengingat itu.
Dia menoleh kepada dua orang pria yang terlibat obrolan itu.
“Yang mana coba fotonya? Bulan lalu kan perusahaan mereka deal menjadi supplier-ku dan direkturnya menawarkan sekertarisnya untuk menemaniku semalam. Dia juga mem-booking hotel, siapa yang bisa menolak?”
“Namanya cantik, secantik orangnya. Padahal berhijab, wajahnya juga lembut, siapa sangka ternyata sangat liar di ranjang!” Ucap salah satu dari mereka dan mereka tertawa keras bersama.
Dipta mendekat dan dengan sengaja menyenggol bahu salah satu dari mereka untuk melihat foto yang sedang diperlihatkan.
Ponsel itu jatuh dan jantung Dipta langsung mencelos melihat foto Saki di sana. Benar-benar yang dibicarakan oleh mereka adalah Saki istrinya?
‘b******k!’ Hatinya mendidih, dia langsung meminta maaf pada mereka, mengambil ponsel itu untuk memastikan sekali lagi jika foto itu benar-benar adalah Saki.
-Aku ada pekerjaan urgent. Tidak bisa menjemputmu hari ini.-
Pada akhirnya Dipta memilih kembali ke ruangannya, membatalkan kepulangannya, emosinya memuncak, kepalanya penuh dengan ucapan-ucapan orang yang sejak kemarin memenuhi kepalanya tentang Saki dan pekerjaan sampingannya.
Dadanya terus berdetak kencang. Dia seperti dikhinati dan ditipu oleh istrinya yang terlihat wanita baik-baik itu.
Apakah semua yang diucapkan oleh Langit benar? Benarkah dunia sekertaris tidak ada yang bersih? Dipta benar-benar kecewa.
Saki yang sudah sampai di lobi mengernyit bingung membaca pesan dari pria itu. Pertama, pria itu tidak memanggil namanya seperti biasa. Setiap pesan yang dikirimkan pria itu, Dipta selalu memanggil namanya lebih dahulu. Kedua, pria itu tidak menelponnya, biasanya jika ada pria itu memiliki urusan mendadak, dia akan mengabarkan pada Saki dengan langsung menelponnya, dan mengatakan urusannya lalu kemungkinan pulang jam berapa.
“Ada apa dengan Mas Dipta sebenarnya? Aneh sekali sejak kemarin.” Saki menggumam, merasa bingung dengan tingkah Dipta.
“Semoga memang karena masalah pekerjaan saja, dan semoga cepat selesai.”
Pada akhirnya Saki memilih untuk memesan ojek online saja agar lebih cepat sampai di rumah, mungkin makan malam yang spesial bisa meningkatkan mood Dipta yang sejak kemarin begitu buruk.
Wanita itu terus menunggu, sambil sesekali mengecek ponselnya. Pesan terakhir untuk Dipta ternyata centang satu. Kini jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Pada akhirnya wanita itu memilih masuk ke kamar untuk tidur, berpikir mungkin Dipta memang sedang sibuk-sibuknya.
Badan Saki terasa remuk karena hari ini pekerjaan begitu padat untuk persiapan meeting di Semarang dan Surabaya besok, sehingga membuatnya langsung terlelap begitu menyentuh kasur.
Saki rasanya belum tidur lama saat pintu kamarnya diketuk dengan sedikit kasar.
“Mas Dipta? Baru pulang?” Tanya Saki melihat penampilan Dipta yang begitu kusut, jam sudah menunjukkan pukul sebelas.
Tatapan Dipta terlihat berbeda, begitu lekat dan seolah menelanjangi Saki, membuat Saki menelan ludahnya susah payah. Ada apa dengan suaminya?
Tanpa kata Dipta merangsek maju, langsung memeluk pinggang Saki dan berusaha meraih bibir wanita itu.
“Mas .. Ada ap ….” Bibir Saki dibungkam oleh ciuman Dipta yang menuntut, pria itu semakin merapatkan tubuhnya dengan tubuh Saki. Semua ucapan orang-orang membuat ego dan emosi Dipta menguasai. Mengingat semua ucapan orang-orang jika mereka pernah menikmati tubuh Saki membuat emosinya semakin memuncak. Dia mencium Saki semakin menuntut. Tubuh Saki juga terasa sangat pas dalam genggamannya.
Saki mencoba melawan, namun Dipta yang telah dikuasai oleh kabut gairah tentu saja menjadi pemenangnya memonopoli Saki.
Dipta benar-benar kehilangan kendali atas dirinya kini, yang berpotensi menyakiti wanita yang telah mengisi hari-harinya.
Saki sangat terkejut dan mencoba memahami emosi Dipta yang terus menjamah tubuhnya dengan cukup kasar seolah sedang melampiaskan emosinya karena suatu hal.
Kecupan dan sentuhan di sekujur tubuhnya, baru pertama kali itu Saki rasakan, berbeda dengan Dipta yang dikuasai oleh emosi berpikir jika Saki terbiasa menikmati tubuh pria-pria lain di luar sana.
Semua terjadi begitu saja. Air mata Saki saat Dipta melesak memenuhinya, begitu menyakitkan dan membuatnya menjerit perih. Dia melihat Dipta terkejut melihat pada penyatuan mereka, namun kabut gairah itu membuat Dipta tetap melanjutkan penyatuan mereka.
Pada akhirnya, di malam itu Saki pasrah menyerahkan kehormatannya pada pria yang memang berhak mendapatkannya, namun kekecewaan memenuhi relung hati Saki. Kenapa pria itu tidak memintanya baik-baik dengan kelembutan, padahal selama ini pria itu begitu lembut dan penuh perhatian kepadanya.
***
Dipta menelan ludahnya dengan sesal yang langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Apa yang terjadi membuat Dipta ditampar oleh kenyataan … Jika pada kenyataannya Saki masih perawan dan dialah pria pertama untuk istrinya itu.
Dipta telah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Menghancurkan kepercayaan Saki. Kenyataan tentang Saki membuatnya merasa sangat bersalah. Sekali pun apa yang ada pada diri wanita itu memang halal baginya, tapi tidak seharusnya dia memperlakukan Saki seperti itu, terlebih ini adalah pengalaman pertama untuk wanita itu.
Dipta terbangun namun tidak menemukan Saki di sisinya. Pria itu langsung beranjak duduk dengan jantung yang bertalu keras. Kembali ditampar oleh rasa bersalah saat melihat seprei yang tersibak itu memiliki noda darah. Bukti bahwa dialah yang mendapatkan kesucian wanita itu.
“s**t Dipta…. Dia menjaga apa yang seharusnya dia jaga. Betapa bejatnya aku melakukannya dengan kasar dan tanpa kelemah lembutan.”
Dipta menggumam dengan sesal yang semakin menyesakkan. Dia menjambak rambutnya frustasi. Air mata Saki dan jeritan sakitnya kini memenuhi ingatan Dipta.
Waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi. Dipta langsung beranjak dari kamar Saki dan berpikir jika Saki pasti di dapur.
Namun, saat dia ke dapur, dia tidak menemukan apapun. Dia memanggil-manggil Saki dengan perasaan yang resah.
Dia mencoba menghubungi nomor Saki namun nomor ponsel wanita itu tidak aktif. Hati Dipta semakin ketakutan. Mulai timbul kepanikan dalam diri Dipta. Berpikir jika Saki pergi meninggalkannya setelah apa yang dia lakukan.
Dengan kepanikan yang semakin membelenggunya, Dipta meraih kunci mobilnya dan berusaha untuk menuju apartemen Saki. Mungkin saja wanita itu di sana dan menangisi apa yang terjadi padanya semalam.