Bab 12 | Aku Suami Kamu

2258 Words
Dipta sudah memarkirkan mobilnya, Saki semakin gugup, telapak tangannya sudah berkeringat dingin. “Kamu mungkin pernah melihat mereka di pernikahan kita. Tidak apa-apa, mereka tidak semengerikan bayangan kamu.” Dipta menggenggam tangan Saki dan menatap sendu pada Saki saat merasakan tangan wanita itu berkeringat, menunjukkan seberapa Saki tertekan dengan pertemuan ini. “O..oke … Mas.” Saki menyungging senyumnya, diam-diam berusaha mengendalikan dirinya. Dia memiliki Dipta di sampingnya, seharusnya ini tidak seburuk yang dia bayangkan. “Atau kita pulang lagi saja? Kamu terlihat pucat, Saki.” Ucap Dipta yang tidak tega, membuat Saki langsung menggeleng. Dia harus menghadapi ini. ‘Ini bukan hal yang sulit Saki. Banyak kesulitan dan kesialan hidup yang telah kamu lewati. Menghadapi mereka bukanlah apa-apa.’ Saki seolah meyakinkan dirinya sendiri. “Tunggu sebentar, Mas. Aku perbaiki make up ku dulu agar tidak terlihat pucat.” Ucap Saki membuat Dipta mengangguk dan menatap lekat pada Saki yang kembali memoles bibirnya dan memoles wajahnya agar terlihat lebih fresh. “Ok. Done. Ayo, Mas.” Dipta mengangguk, keduanya keluar dan Dipta langsung meraih tangan Saki dalam genggamannya. “Malam, Ma. Dipta rindu Mama.” Ucap Dipta yang memeluk Laras dan otomatis genggaman tangannya dengan Saki terlepas. Mamanya itu sudah menunggunya di depan pintu, seolah memang sangat menunggu kedatangan Dipta. “Kamu ini! Masih ingat Mama? Semenjak menikah tidak pernah pulang! Jahat kamu Dipta!” Laras memukul-mukul bahu Dipta, membuat pria itu terkekeh dan kembali membawa Laras dalam dekapannya. “Kan biasanya Dipta juga jarang pulang Ma. Sebelum menikah sibuk dengan kantor, sekarang sibuk dengan istri Dipta.” Ucap Dipta terkekeh dan kembali meraih tangan Saki dalam genggamannya. Laras yang mendengar itu mendesis kesal dan menatap tajam pada Saki. Saki tidak menduga jawaban Dipta yang membuat hatinya menghangat. “Apa kabar …Ma.” Ucap Saki berusaha menyalami Laras, namun Laras langsung melengos dan meninggalkan Saki juga Dipta, membuat Saki menggigit bibirnya. Dipta langsung memeluk bahu Saki dan berbisik. “Maafkan Mama ya. Dia sebenarnya baik kok, hanya butuh waktu saja untuk bisa menerima kamu. Kita usahakan sama-sama, ya.” Ucap Dipta, pria itu begitu menenangkan hingga membuat Saki merasa lebih baik. “Iya, Mas.” Semakin mereka masuk ke dalam dia melihat keluarga Dipta memang sangat banyak dan besar. Saki semakin gugup dengan jantung yang berdetak keras. Dimana-mana seharusnya seorang wanita mengenal keluarga laki-lakinya dulu baru melanjutkan ke jenjang yang serius, namun ini terbalik. Ada satu wanita yang menatap Saki dengan tajam dan benci, satu lagi menatap dengan tatapan merendahkan dan jijik. Mereka duduk di ruang tamu yang begitu besar, membentuk beberapa kelompok seperti perkumpulan dengan yang muda-muda dan yang tua-tua. Ada juga satu wanita yang menatapnya dengan tatapan cemburu dan benci juga. Saki menelan ludahnya susah payah, dia menghitung, ada sekitar tujuh orang yang usianya sepantaran dan sedikit lebih tua di atasnya, itu semua wanita, sedangkan di sisi yang lain ada sekitar lima orang dan itu semua laki-laki. Mungkinkah itu sepupu-sepupu Dipta? Karena dia juga melihat ada Naomi di sana. Satu-satunya yang tersenyum dan melambaikan tangan padanya, memanggilnya dengan nada pertemanan. “Mba Saki … Sini …” Ucap Naomi membuat Saki hanya tersenyum sungkan. Genggaman tangan Dipta menguat, dia melihat ketidak nyamanan di wajah Saki berada di tengah-tengah keluarganya. “Ayo ke sana. Itu sepupu-sepupuku. Aku kenalkan juga dengan Mba Erina dan Mba Safira.” Dipta mengajaknya mendekat, membuat Saki akhirnya hanya mengikuti pria itu. “Mba Saki jago masak loh. Enak banget! Aku jadi pengin bisa belajar masak, soalnya di rumah kan ngga ada yang bisa masak kecuali Mbok Siti.” Ucap Naomi yang langsung menarik tangan Saki untuk duduk di sampingnya. “Kapan mau ajari aku masak, Mba? Weekend ini bagaimana?” Tanya Naomi dengan wajah berbinar. “Boleh, Nao.” Ucap Saki dengan senyum yang tulus. “Dipta … Eyang mau berbicara dengan kamu.” Panggilan dari Surendra membuat Dipta menoleh, dia mengangguk lalu menatap Saki. Saki sudah ketar-ketir jika ditinggalkan sendirian. Dia melihat tatapan-tatapan tidak bersahabat itu dan membuatnya sangat tidak nyaman. “Ayo ikut.” Ucap Dipta membuat Saki menghela napas lega. Pria itu membuktikan ucapannya. “Mas … Ih … Sana pergi sendiri lah. Mba Saki di sini saja, aku mau mengenalkannya pada yang lain.” Naomi yang mencegahnya dan kini memeluk lengan Saki. Saki meringis, dan menarik napasnya panjang, memang mau tidak mau dia harus menghadapi ini dan mengenal mereka semua. “Tidak apa-apa, Mas. Aku akan di sini saja.” “You sure?” Dipta menatapnya khawatir. “Dipta! Kamu meninggalkan istrimu di tengah-tengah keluarga kamu! Jangan drama!” Itu suara Mba Erina yang ketus. “Iya, Mas tidak apa-apa.” Ucap Saki tidak ingin menyulut kekacauan. “Aku tidak akan lama.” Ucap Dipta dengan senyum menenangkan seolah mengatakan pada Saki jika semua baik-baik saja. “Kamu sekertaris kan? Bisa-bisanya Dipta menikah dengan w************n yang berkedok sekertaris. Padahal pekerjaannya tidak ada beda dengan wanita malam.” Tatapan Erina begitu tajam dan penuh kebencian pada Saki, ucapannya begitu menyakitkan dan menyentil Saki. Saki berusaha mengontrol dirinya dan menyungging senyum tipis. “Lagian kenapa si, si Dipta tidak langsung menceraikan kamu? Pasti kamu menggodanya sebagaimana kamu menggoda eksekutif-eksekutif di luar sana, kan?” “Mba … Kalian ini belum mengenal Mba Saki sudah langsung menghakiminya seperti itu! Seperti tidak berpendidikan saja!” Naomi yang nyolot, namun dia langsung mendapatkan tatapan tajam yang menyuruhnya untuk diam. Dia yang paling muda di sana, sehingga dia tidak bisa berbuat banyak. “Seharusnya Dipta memang dari awal menjalin hubungan dengan Ayudya saja. Dari pada Putri si gadis ningrat dari kampung yang membuat kacau!” “Atau seharusnya kamu tidak memutuskan hubungan kamu dengan Dipta, Dara! Coba kamu tidak memilih mengejar karir dan memutuskan Dipta! Kalian pasti sudah menikah! Kamu sepupuan dan sudah mengenal Dipta dari kecil, seharusnya kamu tau bagaimana Dipta yang sangat husband material, tapi kamu justru meninggalkannya!” Saki masih diam mendengarkan perseteruan antar sepupu itu. “Aku juga menyesal, Mba! Bukankah Mba tau jika tujuanku kembali untuk bisa bersama Mas Dipta, namun nyatanya kesempatan itu pupus saat aku tau dia akan menikah dengan Putri!” Ucap wanita yang bernama Dara itu dengan wajah yang sedih, namun saat menatap Saki tatapannya berubah kesal. “Tidak … Tidak … Kamu masih bisa mendapatkan Dipta! Mudah bagi kami mendepak wanita ini! Dia tidak berharga! Tidak ada yang merestuinya, Mama pasti akan mencari cara bagaimana membuat Dipta dan wanita ini bercerai!” Ucap Erina lagi dengan berapi-api. Saki kehilangan kata-katanya, mau membela diri juga untuk apa karena mereka tidak akan mendengarkan ucapannya dan tidak peduli dengan semua pembelaan dirinya. “Mba … Ayo ke dapur. Lihat menu yang sedang disiapkan.” Ucap Naomi menarik Saki keluar dari sana yang langsung diteriaki oleh beberapa dari mereka. Namun, Naomi bukannya membawa ke dapur tapi menuju ke taman belakang yang sangat luas dan indah. Naomi tiba-tiba mengeluarkan sebatang rokok, menyulutnya dan menghisapnya dengan santai. “Naomi … Ya Allah … Kamu merokok? Kamu calon dokter … Kamu tau dengan baik bahayanya rokok itu.” Saki jadi panik sendiri dan khawatir. “Mereka memang seperti itu, Mba. Sangat sulit menerima orang luar di keluarga ini, mereka sangat melihat status sosial dan akan menyingkirkan siapa saja yang masuk ke keluarga ini jika statusnya tidak setara dengan kita. Aku harap Mba Saki mengerti.” Naomi menatap teduh pada Saki. “Aku tidak masalah. Biarkan saja mereka berpikiran apa, pikiran mereka tentangku bukan tanggung jawabku. Aku tidak akan mengambil beban, Naomi. Matikan dulu rokok kamu.” Ucap Saki dengan tenang, walau hatinya mengalami yang sebaliknya. Gemuruh riuh yang penuh kesesakan kembali menyapanya. “Aku merokok jarang-jarang kok, Mba. Kalo sedang emosi saja.” Naomi lalu menginjak rokoknya dan duduk di samping Saki. Dia menatap lekat Saki. Seolah sedang mencari sesuatu. “Mba … Boleh aku bertanya sesuatu?” “Apa, Naomi?” “Mas Dipta pernah membahas perceraian pada kamu?” “Tidak.” “Oke. Itu sudah cukup. Ayo, Mba nanti Mas Dipta mencari kamu.” Ucap Naomi lalu menarik tangan Saki dan menggenggamnya, wanita muda itu sebelas dua belas dengan Dipta, suka menggenggam tangannya dan bertindak tiba-tiba. Jika Saki menghitung, malam itu sekitar ada tiga puluh orang yang berkumpul di meja makan super besar yang begitu mewah. Keluarga Dipta benar-benar keluarga besar dan kaya! Terlalu kaya! Mereka saling mengobrol ringan saat berbicara, begitu akrab walau Saki juga melihat ada persaingan tersirat di antara mereka yang sibuk memamerkan tas limited edition yang berhasil mereka dapatkan. Ada juga yang sibuk memamerkan kemenangan mereka atas sebuah tender dan mengejek melalui pencapaian dari mereka. Tipe keluarga besar yang sibuk saling pamer atas pencapaian dan hal-hal lain yang menurut mereka menang dalam hal tersebut. “Kamu baik-baik saja, kan? Tadi mereka mengobrol apa?” Tanya Dipta menatapnya lekat, ada kekhawatiran di sana dan membuat hati Saki yang sejak tadi menanggung beban rasanya hilang seketika. “Hanya basa-basi, Mas. Mereka baik. Kita tidak menginap kan?” “Tidak, namun beberapa dari mereka mungkin menginap. Biasanya setelah ini kita akan mengobrol lagi. Tapi kita bisa langsung pulang saja. Bilang saja besok ada acara.” Ucap Dipta mengerlingkan matanya, membuat Saki menyungging senyum dan mengangguk. “Dipta, bagaimana pernikahan kamu? Menikah dengan orang asing pasti berat ya. Apalagi wanita yang tidak setara, pasti sulit bagi kamu dan menjadi beban.” Suara dari Tante Irma membuat Dipta mendongak. “Baik, Tante. Terima kasih sudah mengkhawatirkan pernikahanku. Tapi aku dan Saki menjalaninya dengan baik. Dia setara dan membuatku merasa memiliki partner hidup yang bisa mengimbangiku. Mungkin itulah alasan Allah menjodohkan kita melalui cara seperti ini.” Ucap Dipta dengan tenang, menggenggam tangan Saki, Saki hanya menunduk wajahnya memanas mendengar pembelaan Dipta. Tante Irma hanya mendecak dengan itu. “Seharusnya kamu menikah dengan Dara. Sudah jelas bebet, bobotnya, kamu mengenalnya dari kecil karena kalian sepupu. Kenapa saat itu kamu tidak meminta Dara saja yang menjadi mempelai pengganti?” Kini suara dari Tante Salsa, Ipar dari Ayahnya yang sangat mendukung hubungannya dengan Dara ikut bersuara. “Karena aku tidak mau menikah dengan Dara.” Ucap Dipta masih mencoba tenang, Dara yang mendengar itu merasakan sakit hati. Saki hanya mendengarkan, dia jadi tau jika suaminya itu pernah menjalin hubungan serius dengan sepupunya. Dulu dia pikir memiliki keluarga besar akan sangat menyenangkan dan tidak membuatnya kesepian, namun setelah melihat keluarga Dipta, pandangannya jadi berubah. “Kalian pernah saling mencintai, seharusnya mudah untuk kembali menumbuhkan cinta itu, dari pada kamu menikahi dia yang hanya seorang sekertaris. Belum tentu dia benar-benar bekerja sebagai sekertaris. Jangan-jangan sudah menjadi simpanan bosnya.” Itu suara Erina yang nadanya penuh kebencian. “Erina! Jaga ucapan kamu! Jangan menyulut emosi di meja makan!” Suara Fairuz begitu keras, menyentak putrinya yang sudah bersikap tanpa etika. "Mba jangan lancang menghina istriku! Aku menghormati kamu sebagai kakak tapi aku tidak akan diam jika kamu menghina istriku sekali lagi!" Dipta mendongak dengan tatapan penuh peringatan, membuat suasana terasa semakin mencekam. Dipta tidak ingin memperkeruh suasana, dia memilih melanjutkan makannya, namun genggaman tangannya pada Saki tidak terlepas, dia ingin segera pulang, makan malam di apartemennya saja dengan Saki nyatanya lebih menyenangkan. “Pasti sekarang Mas Dipta sedang membatin, jika makan malam di apartemen dengan kamu lebih menyenangkan Mba daripada bertemu dengan keluarganya.” Bisik Naomi dengan senyum tersirat, gadis itu memang duduk di samping Saki. Saki hanya menyungging senyum tipis, tidak tau harus bereaksi seperti apa. “Lihat, dia saja enggan melepaskan tanganmu, Mba … padahal masih makan.” Bisik Naomi lagi membuat Saki tersadar, Dipta sedikit kesulitan memotong dagingnya karena tangan kirinya menggenggam tangan Saki. Saki langsung menarik tangannya, membuat Dipta langsung menoleh. “Kenapa, Ki?” Tanya Dipta membuat Saki menggeleng. “Jika kamu terus menggenggam tanganku, kamu kesulitan memotong dagingnya.” Ucap Saki membuat Dipta terkekeh. “Kan kamu bisa memotongnya untukku.” Dipta menggoda Saki yang membuat wajah wanita itu merona. “Tidak bisa.” “Kamu juaranya di dapur. Masa memotong daging saja tidak bisa.” Ucap Dipta lagi membuat Saki memilih mengabaikan Dipta yang terus menggodanya. Beberapa anggota keluarga melihat mereka, Dara langsung mendidih melihat interaksi Dipta dan Saki. Diptanya tidak berubah, selalu romantis dan penuh perhatian. Dia sangat menyesal kenapa dulu memutuskan Dipta. Laras yang melihat itu hanya mendecak kesal! Anaknya itu memang seperti itu, selalu baik dan penuh perhatian, mengambil tanggung jawab penuh pada apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Dan sekarang Laras tidak menyukai sifat Dipta yang itu! Pria itu harus bisa menceraikan sekertaris gatel yang tidak jelas bebet bobotnya! Tapi dia juga tau, tidak mungkin menyerang Dipta dan wanita itu lebih jauh lagi. Dia akan meminta Dipta datang ke rumah dan menyadarkan anaknya itu untuk segera menceraikan Saki. Dipta benar-benar mengajak Saki untuk pulang tidak lama setelah makan malam yang menjadi acara inti itu berakhir, walau harus sedikit berdebat dengan mamanya, dan dia menjanjikan akan pulang ke rumah dalam waktu dekat. Sepanjang jalan Saki tidak banyak mengobrol, Dipta tau apa yang mengganggu pikiran wanita itu dan dia merasa bersalah telah membuat wanita itu mendengar kata-kata menyakitkan dari keluarganya. “Saki … Aku minta maaf atas semua ucapan keluargaku yang menyakitimu.” Ucap Dipta saat mereka sudah tiba di apartemen. Saki menggeleng dan tersenyum. “Aku yang berterima kasih karena kamu membelaku di depan mereka.” Mendengar itu Dipta tersenyum dan meremas bahu Saki, membuat Saki terkejut, rasanya bisa dihitung dengan jari mereka bisa sedekat seperti sekarang ini. “Aku suami kamu. Sudah jelas aku akan melindungi kamu dan menjaga kamu. Tidurlah, besok Senin dan pasti kamu sangat sibuk.” “Have a good night, Mas.” Ucap Saki masuk ke kamarnya dan Dipta masih berdiri di sana menatap pintu kamar Saki yang sudah tertutup. Dipta pun masih menebak-nebak perasaannya pada Saki.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD