Jakarta adalah salah satu kota yang rentan akan kejahatan. Apa pun. Kejahatan fisik, otak, psikis, ekonomi dan politik. Penghancur masa depan sekaligus tempat membangun hidup cemerlang. Tinggal gimana kamu-kamu membawa diri. Sebetulnya bukan hanya di Jakarta, kota mana pun kuyakin memiliki kadar masing-masing. Namun, kayak udah jadi kebenaran universal gitu kalau Jakarta tempatnya kegelapan. Nggak sedikit, orang-orang pendatang yang rusak ketika sudah berada di sini. Meski begitu, jangan takut, banyak juga yang awalnya bukan siapa-siapa dan menjadi istimewa di Jakarta.
Untuk itu, aku selaluu coba buat melindungi diri dari orang-orang supaya nggak kena kejahatan-kehatan di atas. Baik itu fisik, otak, atau psikis. Namun, sayang sekali, sekarang ini, aku lagi diserang kejahatan psikis! Coba lihat di depan ini, si Gabriel gadungan lagi masang muka serius banget. Duduk di kursi rajanya dan aku duduk bak tersangka. "Saya nggak mau tau, cari model buat kover edisi makanan Jawa Timur nanti tapi yang penampilannya casual," katanya. Enteng banget!
Aku yang udah mau meledak.
Lebih kejam kan daripada kejahatan Ibukota?
"Kulit sawo matang, sipit-sipit dikit tapi jangan sipit banget, tinggi badan kira-kira 185 cm, berat badan disesuaikan, modern ya, Ga. Terus..." Hajar, Pak Boooss! Jangan kasih kendur. Aku kesel bangeeeet. Sumpah. Dari tadi dia nyebutin tuh karakteristik, aku nggak kebayang sama sekali siapa yang bakal jadi model kover. "Jangan terlalu murah senyum macam Ongka, harus ada misteriusnya dikit. Kalau bisa—"
"Pak."
"Ya?"
"Misterius atau enggaknya kan bisa diatur pas pemotretan. Dia kan cuma tinggal pegang makanan sambil senyum tipis, gitu kan?"
"Cerdas!" sahutnya mantab, jentikin jari segala. "Udah kebayang siapa modelnya?"
Aku gelengin kepala.
"Yah, Ga. Ayo dong pikir. Ayo, ayo!"
"Bapak inget nggak karakter fisik yang Bapak sebutin tadi?"
"Kamu nggak nyatet?"
"Habis, semua itu cuma khayalan, Pak! Apa Robby Purba aja?"
"No!" Tangannya langsung dikibasin hiperbolis. "Dia terlalu sporty. Anak-anak macam Aliando gitu lho, Ga. Yang kalau ibu-ibu lihat pasti gemes dan bakalan suka baca majalahnya sampai habis."
Anyway anyway anyway, Aliando itu emang kulitnya sawo matang ya? Matanya sipit? Yang siwer aku apa dia?
"Sebentar, Ga." Tangannya keangkat di udara, matanya lagi fokus ke layar laptop. "Tapi Aliando nggak sawo matang."
"Nah! Betul!"
"Yaudah deh, terserah kamu gimana modelnya." Gini kan enak! Bantu kerja bawahannya. "Nggak harus muda, yang penting sesuai sama apa yang saya sebutin tadi."
Dan, itu sama saja. Justru semakin bikin aku repot karena semua yang dia sebutin cuma ilusi!
"Harus banget, Pak, nggak bisa dinego bintang terkenal gitu? Amar Zoni, Pak? Reza Rahardian? Atau Rikas Harsa, Pak, yang saya yakin deh bikin siapa pun baca pasti ngeces."
"Itu kalau jiwa kamu yang ada di raga mereka. Udah ah. Selesai. Kamu balik sana ke mejamu."
Pak TNI, nge-jagal orang dihukum enggak?
***
Beberapa informasi yang kudengar, ibu mertua adalah makhluk yang wajib diwaspadai melebihi ormas-ormas yang diduga menyebarkan radikalisme. Soalnya, masa depanmu biasanya bisa ditentukan dari gimana pembawaannya. Horor, kadang. Nyenengin, bisa jadi. Biasa aja, mungkin. Atau, yang modelannya kayak mertuanya Sarah, oh ya ampun! Mending dedikasiin aja deh hidup buat ibadah karena siapa tahu besok langsung jantungan! Cerewet bangeeeeeeet! Sebanget-bangetnya cerewet. Aku memang ketemunya jarang, cuma pernikahan Sarah dan lahirannya baby Alya. Tapi,, kalau kamu-kamu tahu kisah hidupnya Sarah waktu bulan-bulan awal nikah sama Aji, pasti bakalan langsung minta kirimi personal nomor rekening Sarah. Kasihan. Sumpah.
Maklum kan ya, kalau pengantin baru tuh bawaannya di kamar mulu, eh dinyinyirin. Tiap pagi rambut Sarah basah, disindir-sindir di meja makan. Udah nggak punya suami, jadi nggak ada yang negur kayaknya. Dan, bertahan dua bulan, Sarah jatuh sakit! Drop gitu. Karena biasanya dia yang nyinyirin orang, ini kebalikan. Mampus sih.
Aku ingat banget, dia nangis raung-raung di rumah sakit waktu ibu mertuanya pulang. Dia ngotot ke Aji nggak kuat tinggal bareng dan minta pindah. Bahkan rela ngontrak. Cuma ya nggak mungkin anggota Dewan ngajak ngontrak istri kan. Begitu keluar dari rumah orang tua, mereka sempat tinggal di apartemen sebelum rumahnya beneran jadi. Sebelumnya sih sempat berantem hebat. Akhirnya, Aji ngalah karena nggak tega lihat j****y yang biasanya slay the world, ini kayak kutil yang numpang tumbuh di kulit.
Sama kayak aku sekarang! Lagi kembang-kempis di kursi tunggu di lobi kantor. Tarik napas, hembuskan. Gituu terus sampai aku bosan sendiri. Ingat kaaan, janji aku kemarin sama Muzammil gadungan itu gimana? Hari ini adalah waktunya aku bayar buat ketemu mamanya! Oke, dia belum tentu bakalan jadi ibu mertuaku. Jadi, harusnya aku nggak perlu setakut Sarah. Cumaaaa, kan tetap aja aku ini cewek yang mau dikenalin ke ibu dari cowok entah dengan alasan drama apa.
"Lho, Ga, kok belum pulang?" Bos Dimas jalan buru-buru mendekat, sambil longgarin dasi. Kok mukanya dia panik amat. "Nunggu siapa?"
"Temen, Pak."
Dahinya berkerut. "Temen? Biasanya jam segini kamu udah buru-buru banget takut nggak dapet pegangan yang pendek di transjakarta." Ngomongnya tuh santai banget, yakin, sambil gulung lengan kemeja. Tapi isinya nyelekit.
"Dijemput Ongka."
"Oh wow!" Kan, kalau soal urusan orang cepet respons. "Doa saya dan Audy dikabulin ya? Tuhan emang udah kasihan liat kamu, Ga. Makanya dikirim Ongka."
"Bapak nggak pulang?"
"Ohya! Saya sekalian mau tanya. Orang sakit boleh minum minuman dingin, Ga?"
"Saya bukan dokter, Pak."
"Menurutmu boleh nggak?"
"Jangan deh. Kasih air putih aja yang banyak. Siapa yang sakit?"
"Audy sakit. Padahal besok pagi harus ke Bandung dia. Kasihan banget tadi mukanya pucet banget waktu vc-an."
Pantasan mukanya kusut gitu. Dia kalau menyangkut Audy emang nggak ketulungan romantisnya. Sampai enek yang lihat. Biasa aja coba, kayak dia sendiri yang punya pasangan.
"Sakit apa emang?"
"Belum tahu, pusing katanya. Tapi tenggorokannya haus terus bawaannya pengin minum dingin."
"Itu mah mau pilek!" Berlebihan banget, udah kayak penyakit kronis amat paniknya. "Suruh minum mixagrip juga ntar sembuh."
"Itu obat?"
Aku melotot. "Bapak nggak tahu mixagrip?"
"Yaudahlah. Nanti saya bawa ke dokter aja. Kamu beneran nggak apa nunggu sendiri?"
Aku mengangguk. Produk Jakarta kudu strong! Mandiri! Daaaan, ngenes karena banyak yang romantis di depan mata.
"Serius?"
"Iy—"
"Dia sama saya, Mas."
Kepala kami menoleh bersamaan dan kayak adegan drama pun terjadi. Ongka melangkah bak pangeran dengan setelan santai. Sneakers kayaknya jadi andalan dia banget. Sekarang dia nggak pakai jaket, tapi sweter biru dongker yang kaus dalamnya putih. Ditambah celana hitam selutut. Ada bulu kakinya! Seksi abeeeeees! Belum rambutnya yang keriting-keriting lucu dan kaca mata seperti biasa.
"Jangan ngeces, Ga."
Aku melengos, bikin Dimas ketawa kemudian nyambut Ongka dengan high five. Cocok banget.
"Makin seger aja nih, Ka?"
"Suasanya lagi manis, Mas. Bau-bau bidadari surga nih."
Gombaaaaaaaal!
"Sayangnya, bidadari saya lagi terkuka sayapnya nih." Pak Dimas natap aku. "Saya pulang, ya? Ohya, Ka, tolong dijaga sekretaris kesayangan ini. Limited soalnya." Bos Hawt itu mulai melangkah, ninggalin kami berdua.
Ongka ketawa, menjawab sambil agak teriak, "Waktunya dimanfaatin ya, Mas. Kalau beneran udah legal, kayaknya nggak saya izinin kerja di sini lagi deh."
"Oh wow. Udah mau belajar posesif gitu ya, Ka?" Dimas nyengir dari kejauhan. Kemudian melambaikan tangan.
"Nggak usah dibalas juga kali, Bhoo lambaian tangannya."
"Eh?" Sialaaaaaan! Aku kelihatan b**o banget ngangkat tangan dari tadi padahal Dimas udah nggak kelihatan.
Ongka narik tanganku, berjalan keluar gedung buat ke mobilnya. Selama itu dia diam aja, nggak ngomong apa pun. Aku juga milih ikutan diam karena nggak tahu harus ngomong apa. "Sama Dimas interaksinya harus gitu banget ya, Bhoo?" tanyanya, waktu mobil udah mulai jalan. "Kayak sama pacar. Serius."
"Bukaaaan! Nggak tau, tapi emang Dimas gitu, baiknya keterlaluan."
"Dan suka bikin baper."
Aku menoleh ke samping. Memperhatikan wajahnya dari jarak ini. Alisnya lumayan bagus, walaupun nggak setebal milik Dimas. Hidungnya juga standar. Nggak yang mancung banget, atau pun pesek. Bibirnya tipis gitu, mirip-mirip sama Niko yang kalau nyium suka bikin lupa jumlah tagihan.
"Kita beneran mau ke rumah mamamu sekarang, Ka?"
"Jangan dulu deh."
"Kenapa?"
"Mama mood-nya lagi nggak bagus. Tasnya baru aja rusak karena nggak sengaja aku jatuhin dari rak."
Gila, tas rusak aja mood-nya langsung buruk! Firasatku bilang dia setipe sama ibu mertuanya j****y nih. Duh, gimana kalau aku nggak kuat hidup lagi begitu ketemu dia yang padahal bakalan cuma sekali?
"Bhoo."
"Ya?"
"Pacaran, yuk?"
"Eh?" Aku berdeham. Ini kupingku butuh dikorekin lagi kayaknya. Dia barusan bilang apa sih, kok aku nggak jelas. "Apa, Ka?"
"Kita. Aku dan kamu. Menjalin kasih. Hubungan di bawahnya lamaran."
"Kita? Pacaran gitu?"
"Iya." Dia nyengir. Manis, sih, cuma kok begini ya. "Kamu dilamar nggak mau. Dan, kalau dibiarin gitu aja, cuma kenalan tanpa jelas gini, kayaknya nggak enak deh, Bhoo."
"Tapi kan—"
"Jalani dulu, Bhoo." Tangannya menggenggam tanganku, dibawa ke pangkuannya. Lah, kok nyaman? "Kita kan udah bukan anak-anak yang suka histeris nonton drama Korea kayak adikku, Bhoo. Kita kenal juga udah lumayan lama kok. Mau ya?"
"Pacaran?"
Kepalanya mengangguk mantab. "Soalnya, kalau kita punya status, mungkin Dimas nggak berani seakrab itu lagi sama kamu."
"Dimas?"
Ongka ngangguk, lagi. "Kalau nanti, ternyata kamu emang nggak cocok sama aku, kamu boleh pergi."
"Ongka."
"Udah besar, Bhoo. Capek pedekate terus tapi nggak ada ujung. Jadi, mending dipastiin gini. Kamu perlu aku, manfaatin, dan aku seneng karena ada yang dipamerin. Gini-gini, aku nggak maluin kok kalau buat story di instagram." Toloooooong, siapa pun tolongin cewek pendatang yang mengadu nasib di Jakarta ini. Pacaran sama Ongka? Nggak buruk sih, tapi kan... "Pakai cincin ini aja dulu, Bhoo. Tanda kalau kamu pacar aku. Nanti, kalau kamu nggak lanjut, boleh dibuang. Cuma, kalau kamu ngerasa oke dan klik buat lanjut, aku beliin lagi yang buat lamaran. Gimana, Bhoo?"
Aku masih berusaha ngatur napas, sambil terus memandangi Ongka. Sebelah tangannya megang kotak itu lagi, sesekali sambil balik megang stir. Pacaran aja nggak apa kali ya. Ada yang bisa antar-jemput. Bayarin makan dan ngucapin selamat tidur juga! Kalau ini nanti salah, aku dibenerin ya, Pak Panglima. Perlahan, aku ngulurin tangan, ngambil kotak itu dan natap agak lama. Balik natap Ongka yang lagi senyum manis sambil ngedipin sebelah mata. "Pacaran sama kamu, Ka?"
"Iya."
"Sekarang banget?"
"Cobain aja dulu. Davanka Jayesh bakalan bikin panggung romantis untuk Bhoomi Gangika."
Tanganku mulai ambil tuh cincin dan pelan-pelan memasangkan ke jari manis kiri dan ... kok pas? Detik itu, Ongka tertawa kecil. "Kan! Kubilang apa! Klik pertama itu nggak akan bohong! So, deal?"
Aku ngangguk sambil ikutan nyengir.
Habis ini aku nggak diketawain j****y kan karena ketularan gilanya?
Benar-benar drama Jakarta!