bc

Ramen, Satu Mangkuk Sejuta Cinta

book_age16+
588
FOLLOW
4.3K
READ
friends to lovers
goodgirl
sporty
CEO
comedy
bxg
humorous
city
office/work place
friends
like
intro-logo
Blurb

“Piala itu seharusnya milik gue!” tegasnya. “Dari semester awal lo sudah mencuri apa yang gue bangun sejak tiga tahun lalu, lo sudah menggeser posisi gue sebagai juara umum. Lo—“

“Jadi itu yang membuat lo marah sama gue?” Tari memotong perkataanya.

“Akhirnya lo nyadar juga? Baru nyadar? Selama ini ke mana aja, pura-pura b**o? Dasar pengkhianat!” Raka merebut piala dari tangan Tari, lalu menghempaskannya ke tanah. Membuat piala setinggi tiga puluh sentimeter itu patah.

Hati Tari yang lemah ikut mengeras lalu retak dan patah persis seperti piala berwarna keemasan yang kini teronggok di atas trotoar.

Perang dimulai, kini persahabatan antara Mentari Putri Dwijani dan Raka Satria Rahadian tidak akan pernah sama lagi.

Cover by: @alvinhasby_

chap-preview
Free preview
Mangkuk Satu
Enam tahun lalu, ketika disuruh mengisi lembar terima kasih untuk orang terkasih, maka aku mengucapkan terima kasih itu kepada Bu Yulia dan Bapak Ari. Karena dua malaikat itu sudah melahirkan Raka. Tentunya setelah aku mengucapkan terima kasih kepada Bapak Aditya dan Ibu Puspa yang tidak lain tidak bukan adalah Mama dan Papaku. Terima kasih karena sudah memilih komplek perumahan ini sehingga aku bisa bersahabat dengan Raka. Terima kasih karena memilih rumah dengan nomor K23 bersebelahan dengan K25 yang notabene adalah rumah Raka Satria Rahadian. Sejak usiaku lima tahun, eh, tidak ... tidak! Sejak bayi Tuhan sudah menautkan takdir sehingga aku dan Raka bisa bersahabat. Bahkan kami lahir di tahun yang sama hanya terpaut satu bulan saja, aku lahir lebih dulu dan itu membuat Raka selalu memanggilku Teteh. Ugh ... betapa bencinya aku kala mendapatkan panggilan itu dari orang-orang. Anehnya jika Raka yang memanggilku begitu, rasanya terdengar begitu romantis, merdu bagai kidung malam yang selalu dinyanyikan mama jika aku terserang insomnia. Di TK Pertiwi tempat kami bersekolah, kami bahkan lebih dikenal dengan julukan si kembar. Berangkat selalu bersama, kotak bekal selalu sama, bahkan sepatu pun selalu sama. Jika ada yang berbeda justru orang-orang yang selalu meributkan. “Kok beda? Kok Mentari dan Raka tidak berangkat bersama?” dan pertanyaan-pertanyaan lain yang berisi kekhawatiran seakan dunia akan hancur jika aku dan Raka tidak memiliki kesamaan. Tidak hanya di taman kanak-kanak, bahkan julukan itu pun terus tersemat pada kami hingga SMA. Bedanya Raka menjelma menjadi pelindungku, Raka yang selalu membelaku jika ada yang jahil, macam-macam dan berusaha menggangguku. Raka juga yang menjadi benteng pertahanan yang harus ditaklukkan kala ada cowok yang berusaha ingin menjadi pacarku. Dialah Raka, kembaran beda ibu yang selalu over protektif. Mau tahu apa perbedaan aku dan Raka? Raka pintar, tanpa belajar pun dia selalu mendapatkan juara umum di sekolah. Sedangkan aku untuk mendapat tiga besar di kelas saja harus begadang setiap malam mengulang dan mempelajari materi yang diberikan guru sebelumnya. Raka juga terlahir dari keluarga yang berada, Pak Ari seorang pilot dan Bu Yulia seorang ASN, beliau guru Biologi di salah satu SMA Favorit di Garut. Berbeda dengan kedua orangtuaku, bukannya aku tidak bersyukur dengan Profesi Papa, aku senang punya Papa yang selalu bekerja keras di salah satu perusahaan Asuransi. Pulang larut malam adalah bukti nyata kalau Papa adalah pahlawan kami. Dan ibuku merupakan ibu yang full mengurus kami alias ibu rumah tangga. Itulah yang mendorongku untuk belajar lebih keras lagi. Satu pagi di sekolah wali kelas memanggilku ke ruang guru, aku termasuk salah satu kandidat siswa yang diikutsertakan dalam program beasiswa dari perusahaan swasta terkenal di Indonesia. Itu pun dengan syarat, tidak boleh ada angka tujuh puluh ke bawah di raportku. Aku menyanggupi demi melanjutkan kuliah sesuai dengan cita-citaku. “Tari ... Tari!” teriak Raka dari samping rumahnya benteng pembatas rumah kami yang tingginya satu setengah meter membuat Raka harus naik tangga jika ingin memanggilku, kadang Mama suka ngomel-ngomel agar Raka masuk melalui pagar. Khawatir terpeleset lalu terjatuh. “Gak main dulu, ya, gue mau belajar,” tolakku seraya mengacungkan buku pelajaran melalui kaca jendela. Aku melihat Raka mendesah kecewa, buru-buru dia turun. Bukan Raka namanya jika dia menyerah. terdengar suara sandal jepit beradu dengan lantai dia berlari memutar dari rumahnya ke rumahku. “Assalamualaikum, Bu Puspa, Raka mau jemput Tari,” seloroh Raka. Seperti biasa setelannya adalah kaos oblong yang dipadupadankan dengan celana basket. Sendal jepit hitam tek pernah ketinggalan. “Waalaikumsalam,” jawab Mama. “Masuk aja, Ka, di kamar lagi belajar.” Pintu kamar yang terbuka membuatku bisa mendengarkan apa yang dikatakan mereka berdua. Buru-buru aku sembunyikan beberapa buku pengantar yang dipinjamkan wali kelas untukku. Bukan apa-apa, aku malu harus belajar sekeras ini sementara dia santai pun nilainya bagus. Terlebih, Bu Mitha bilang untuk merahasiakan program beasiswa ini untuk menghindari kesenjangan. Bukan membeda-bedakan siswa, tetapi beasiswa ini hanya dikhususkan untuk perempuan. “Ngeramen, yuk!” ajaknya tanpa ragu. Dia membuka pintu yang semula terbuka setengahnya menjadi terbuka sepenuhnya lalu masuk dan duduk di atas karpet. Main-main sama si Froggy, katak berisi entah bebatuan entah apa di perutnya. Yang pasti boneka berwarna hijau itu pun pemberian Raka saat aku ulang tahun ketiga belas. “Jangan sekarang, deh,” tolakku berbalik jadi menghadapnya. “Belajar apaan sih, PR kan udah, besok gak ada ulangan. Yuk, ngeramen, yuk. Gue traktir deh lo.” Raka memelas seperti itu mana bisa aku menolak. Kuambil ikat rambut di laci, kugulung rambut panjangku, tidak lupa cardingan yang tergantung di belakang pintu. Raka semringah lalu kami bergandengan, selayaknya anak kembar berjalan menuju kedai ramen. Itu enam tahun yang lalu, sebelum Raka tertampar kenyataan bahwa prestasiku melejit melampaui prestasinya. Raka memang pintar tetapi terlalu santai. Dan aku tidak sepintar Raka, tetapi punya tekad yang kuat untuk melanjutkan pendidikan tanpa biaya. Kejadian-kejadian itu berkelebatan dalam pikiranku. Raka selalu berangkat ke sekolah lebih dulu, dan pulang lebih lambat atau tiba-tiba menghilang, aku jadi sosok kesepian yang kehilangan separuh sayap. Aku tiba di depan rumah setelah empat puluh lima menit berjalan, melihat sepatu converse milik Raka tergeletak sembarangan di teras, aku tahu dia sudah pulang. Entah apa yang menuntunku hingga berbelok masuk ke rumahnya, menyapa Bu Yulia yang juga baru saja sampai. “Tari, baru pulang? Tumben gak bareng?” Aku tersenyum sambil mencium punggung tangan Bu Yulia. “Tari piket, Bu,” jawabku asal. “Kenapa Raka gak nungguin kamu? Biasanya pulang sore pun itu anak rela nungguin kamu?” Bukan Ibu saja yang heran, aku juga sama. Bisik batinku. Aku kembali tersenyum dan pamit untuk menemuinya di kamar. Dua kali kuketuk pintu kamarnya, sebuah gantungan yang kami buat sendiri dari stik eskrim masih terpajang rapi di pintunya. Tulisan Ramen yang merupakan akronim dari Raka dan Mentari terlihat begitu indah. Tidak lupa miniatur semangkuk ramen juga menjadi pemanisnya. Pintu terbuka, rambut Raka acak-acakan,ingin sekali aku merapikannya. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya membiarkan pintu terbuka dan kembali ke tempat tidur, membaca komik dan berusaha untuk menghiraukanku. “Gue ada salah ya sama lo?” “Menurut lo?” “Gue gak akan tahu kalau lo gak cerita. Kalau gue salah ya minta maaf.” Aku berusaha merendahkan diri agar dia kembali seperti biasanya. Namun, yang aku dapatkan adalah penolakan, Raka mengusirku. “Lo pulang, deh. Terus lo renungi apa yang bikin gue sebel sama lo. Ngakunya lo sahabat baik gue, tapi lo begitu ke gue.” “Ya gue mana tahu, lo ujuk-ujuk ngambekan gitu kayak cewek lagi PMS, gue aja kalo PMS gak gitu-gitu amat.” “Lo gak peka!” Raka bangkit dari duduknya lantas menarik tanganku dan mendorongku hingga keluar dari kamarnya. Dia menutup pintu cukup kencang, aku tertegun, tidak mengerti lagi harus bagaimana. Tidak ada yang dapat menggambarkan rasa sedihku karena dijauhi Raka. Ketika kami berpapasan di sekolah, dia sengaja membuang muka. Jika pulang sekolah dia selalu berusaha agar tidak seangkot denganku. Aku ingat hari itu hari Sabtu, aku membantu ibu memindahkan tanaman yang akarnya sudah keluar dari pot. Membagi-bagi tanaman itu menjadi beberapa bagian, mengisi pot baru dengan tanah yang sudah dicampur pupuk kandang. Sebelum Raka menjauh, hari Sabtu biasa kami habiskan dengan jajan Ramen di kedai. Sungguh aku merindukan ajakan itu. “Nak Raka mau ke mana?” sapa Mama, aku yang sedang mencampur tanah dengan pupuk sontak menoleh. Raka mengenakan kemeja dan celana jeans, dia tersenyum pada Mama, tetapi tidak sekali pun melihatku. “Jajan ramen, Bu.” Jujur aku senang, mungkin dia mengajakku untuk berbaikan. Aku hendak berdiri saat Raka kembali berkata, “Doain ya, Bu. Aku mau nembak cewek.” “Mati, dong!” canda Mama. Hatiku tercubit, aku menyembunyikan air mata yang berkabut dengan melihat cacing yang mencuat dari tanah. “Bisa aja, Bu.” Setelah mengatakan itu Raka pamit. Sesuatu seperti biji kedondong tersangkut di tenggorokanku. “Pantas dia gak ajak kamu, rupanya mau pacaran.” “Namanya juga anak muda, Ma. Ini udah kan, aku apain lagi?” Kucoba mencari kesibukan berharap rasa perih seperti tercubit ini akan hilang dengan sendirinya. Tiba saatnya pembagian kelulusan, setelah berjuang sendiri menaklukan soal-soal akhirnya aku mendapatkan pencapaian yang ditargetkan. Nilai tertinggi kembali aku raih. Kedua pasti orangtuaku bangga. Terlebih, ketika aku membawa kabar bahagia perihal beasiswa itu, sudah aku bayangkan semringahnya wajah mama dan papa kala mendengar kabar ini bertepatan dengan hari lahirku. Raka sudah menungguku di gerbang sekolah, setelah lebih dari enam bulan tidak menyapaku, Raka menitipkan pesan pada Simi agar aku menemuinya di gerbang sekolah. Tidak ada senyum di sana. Andra teman sebangku Raka menemani. Kala pandangan kami bertemu dia menyerahkan tasnya pada Andra, lalu berjalan menghampiriku. Pernah melihat adegan film? Adegan di mana kedua tokohnya berjalan dengan gerakan slow motion. Itulah yang sedang terjadi sekarang, aku tersenyum menyambutnya, akhirnya kesalahpahaman ini bisa kami atasi saat ini juga. Raka menatapku sinis, senyumku pudar. Sepertinya perang belum juga usai. Kemarahannya memuncak kala dia melihat piala yang aku genggam. “Piala itu seharusnya milik gue!” tegasnya. “Dari semester awal lo sudah mencuri apa yang gue bangun sejak tiga tahun lalu, lo sudah menggeser posisi gue sebagai juara umum. Lo—“ “Jadi itu yang membuat lo marah sama gue?” Aku memotong perkataanya. “Akhirnya lo nyadar juga? Baru nyadar? Selama ini ke mana aja, pura-pura b**o? Dasar pengkhianat!” Raka merebut piala dari tanganku, lalu menghempaskannya ke tanah. Membuat piala setinggi tiga puluh sentimeter itu patah. Hatiku yang lemah ikut mengeras lalu retak dan patah persis seperti piala berwarna keemasan yang kini teronggok di atas trotoar.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
203.4K
bc

My Secret Little Wife

read
116.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.8K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook