Bab 1
ADARA
*
Hari Minggu menjadi waktu untuk berkumpul bersama keluarga setelah hari-hari sebelumnya dipenuhi dengan rutinitas bekerja. Seperti keluarga Adijaya yang menggunakan momen itu untuk me time bersama keluarga. Tak ada yang boleh makan di luar saat hari libur, kecuali karena ada suatu kepentingan.
Seperti malam ini, keluarga Adijaya sedang menikmati makan malam bersama. Damar sebagai kepala keluarga duduk di kursi utama, dan diikuti istrinya Yasmin yang duduk di sampingnya. Fahira yang baru saja turun setelah menyelesaikan tugas kuliahnya duduk di samping Rayyan, di depan mama dan papanya.
Gadis cantik itu bahagia bisa memiliki abang seperti Rayyan, yang kerap dipanggil Mas Ray itu. Ray tipikal lelaki penjaga yang baik untuk adiknya. Mereka hanya memiliki satu sama lain sebagai adik kakak.
Semua menikmati makan malam bersama sambil sesekali mengobrol santai. Tentang pekerjaan di kantor, tentang kuliah Fahira dan tentang suasana di rumah sakit karena Rayyan berprofesi sebagai dokter.
Usai makan malam, Yasmin mengajak suami dan anak-anaknya untuk berkumpul di ruang keluarga. Hal itu membuat Ray dan Fahira saling menatap, karena jika sudah diajak khusus berkumpul, itu artinya ada sesuatu yang ingin dibahas.
Yasmin sedang mengecilkan volume televisi yang masih menyala, saat seorang asisten rumah tangga menghidangkan empat cangkir teh kamomil untuk majikannya. Hanya teh di malam hari, karena mereka baru saja makan malam.
"Ray …," panggil Yasmin pada anak pertamanya.
"Ya, Ma," sahut lelaki berusia dua puluh sembilan tahun itu.
"Kayaknya udah saatnya kamu nikah." Yasmin berkata pelan. Lalu ia mengambil cangkir teh di depan dan menyesapnya perlahan.
Sementara Ray yang mendengar itu sedikit tersedak dengan minuman yang sedang ia nikmati. Ia tak mengerti kenapa tiba-tiba mamanya mengatakan hal seperti itu. Meski sebenarnya ia juga sedang memikirkannya.
"Udah hampir masuk tiga puluh tahun, kan. Teman-teman kamu bahkan udah punya anak."
Kalimat Yasmin memang serupa sinyal untuk Ray. Ia memang ingin menikah, tapi ia sedang menanti sebuah jawaban dari gadis yang ia cintai. Menanti perjuangannya selama ini berbuah manis.
"Mama udah lama menyimpan ini sendirian, dan mama rasa sekarang saatnya. Mama pengen liat kamu bahagia, dan punya keluarga kecil."
Yasmin menatap suami yang duduk di sampingnya. Damar tak ingin ikut campur tentang pernikahan yang direncanakan istrinya. Ia hanya ingin yang terbaik untuk Ray, meskipun ia bukan anak kandungnya. Damar hanya akan ikut keputusan yang terbaik, karena ia menyayangi Ray seperti anak sendiri. Tak ada bedanya dengan Fahira.
Ray merupakan anak Yasmin dengan mendiang suaminya. Yasmin menikah saat usianya masih dua puluh tahun dan melahirkan seorang putra yang tampan. Namun, beberapa bulan setelah melahirkan, suaminya meninggal karena kecelakaan dan menyisakan luka terberat dalam hidup Yasmin. Hingga akhirnya Yasmin dikenalkan dengan Damar dan menikah.
Suasana mendadak hening, terlebih Ray dan Fahira yang menanti Yasmin kembali bicara.
"Menikahlah dengan Sandra, Ray." Akhirnya Yasmin bicara perihal tujuan mereka berkumpul.
Sejenak Ray diam dan mencerna ucapan mamanya. Ia seolah sedang memastikan pendengarannya benar atau tidak. Lalu, pecahlah tawa pemuda itu dengan kalimat Yasmin barusan.
Fahira mencubit lengan Ray yang tertawa begitu lepas hingga membuat Damar dan Yasmin menatap bingung padanya.
"Kenapa, ada yang lucu, Ray?" tanya Yasmin heran melihat ekspresi anaknya.
"We just friend, Ma." Ray berkata. Kali ini tawanya reda, karena ia ingin memperjelas bagaimana hubungan ia dan Sandra selama ini.
"I know, tapi setidaknya Sandra bisa bikin kamu move on," ucap Yasmin. Kali ini Ray yang dibuat bingung oleh mamanya.
"Tidak ada salahnya memabangun ikatan untuk saling jatuh cinta sebagai pasangan. Papa sama mama dulu juga ketemu karena bisnis, tapi setelah menikah makin lama makin saling jatuh cinta." Yasmin memaparkan panjang lebar. Ia menatap suami di sampingnya yang tersenyum.
Memang benar. Semua yang dikatakan Yasmin tentang ia dan suaminya benar.
"Ray nggak bisa melihat Sandra sebagai orang lain, Ma. Kita kenal udah sejak lama, dan cuma temenan. That's it, Ma!"
"Menurut papa gimana, Pa?" tanya Ray pada papanya.
"Papa nggak bisa maksa. Hatimu pilihanmu." Singkat, tapi sangat bermakna ucapan Damar.
"Kamu, Fa?" tanya Ray pada adiknya.
"Kalau dicocokin ya cocok. Tapi kalau enggak dicocokin yang enggak cocok."
"Belibet banget sih kalimatnya. Jelasin coba!"
"Mikir aja sendiri!" ucap Fahira sambil menjulurkan lidahnya.
Damar dan Yasmin tertawa kecil melihat tingkah dua anaknya. Ray dan Fahira memang akur, tapi terkadang candaan mereka membuat orang-orang di sekitarnya tertawa.
"Sandra itu baik, cerdas, mandiri, dan cantik. Apa yang kurang, Ray?" tanya sang mama lagi. Wanita itu tampaknya masih memuji Sandra yang mungkin sesuai sekali dengan kriteria menantu pilihannya.
"Gini, Ma." Ray diam sejenak. Pikirannya sibuk mencari kalimat yang sekiranya tepat untuk menjelaskan perasaannya saat ini.
"Ray sebenarnya udah ada calon. Tapi masih nunggu kesiapannya untuk menikah. Ya maklum, dia masih muda, dua puluh tahun."
"Oh iya, Mas?" Fahira antusias bertanya.
Ray mengangguk.
Raut wajah Yasmin mendadak berubah. Hal itu tak boleh terjadi. Ray harus tetap menikah dengan Sandra, tapi Yasmin harus mencari cara untuk menjinakkan anak lelakinya. Sebab ia tahu persis bagaimana sikap Ray jika dipaksa dan dikerasi.
"Siapa gadis itu? Perasaan mama nggak pernah tau kamu dekat sama cewek selain Sandra, setelah putus dari Natalie tepatnya."
"Dara, Ma. Adara namanya."
"Nice name," ucap Fahira tersenyum.
Dada Yasmin terasa begitu sesak. Ia tak ingin Ray jatuh cinta pada gadis selain Sandra.
"Anak siapa? Mungkin kita kenal orangtuanya." Damar ikut bertanya.
"Pokoknya ada lah, Pa. Nanti kalau udah mantap, Ray kenalin sama mama papa."
"Apa kelebihannya dibandingkan Sandra?" tanya Yasmin menahan gejolak amarah dalam dadanya.
"Kalau baru kenal, Hati-hati Ray! Takutnya malah kayak Natalie."
Ray menatap mamanya. Ia tak suka nama Natalie disebut lagi di depannya. Gadis itu telah menorehkan luka di hati Ray, yang membuat ia susah membuka kembali hatinya. Namun, sejak bertemu Dara, Ray merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hatinya. Debat yang bahkan lebih hebat daripada saat ia bersama Natalie.
Ray terbayang-bayang tawa lepas Dara. Gerakannya yang cekatan mengantar minuman dari meja ke meja, bualannya dengan teman-teman kerja. Bahkan saat Ray menutup mata akan tidur, hanya Dara yang terlihat di matanya yang tertutup.
Ray kembali jatuh cinta.
"Dia beda, Ma. Ray benar-benar ingin menikahinya." Jawaban Ray seolah mengcover semua alasan kenapa ia memilih gadis itu.
Yasmin menghela napas pelan, ia menatap Damar yang menggeleng pelan padanya. Mengisyaratkan bahwa untuk saat ini jangan terlalu keras memperlihatkan misinya di depan Ray. Damar tahu bahwa istrinya memang merencanakan pernikahan Sandra dan Ray, karena orangtua Sandra dan Yasmin berusabat baik sejak masih kecil.
Yasmin hanya ingin menjaga Sandra sebagai anak yatim piatu yang mungkin kesepian tinggal seorang diri di apartemen yang luas. Sandra memang tak pernah menunjukkan kesedihan, tapi sebagai seorang ibu, Yasmin seolah bisa membaca bahasa tubuh dari gadis itu. Kini ia merasa harus melakukan sesuatu.
.