***
"Jom masuk rumah. Mama dan papa tu risaukan awak. Sorry, pabila saya dah buat awak panas hati."
Kecemburuan Adriana atas perhatian orang tuanya ke Raihan bisa dipahami oleh pria itu. Adriana adalah anak tunggal. Dia terbiasa oleh perhatian orang tuanya. Dia tumbuh dengan kasih sayang fokus kepadanya. Kemudian kehadiran Raihan membuat wanita itu merasa berada di urutan nomor dua.
"Aku masih mau di sini. Aku mau hirup udara segar dulu. Kalau mau masuk duluan, silakan." Adriana berujar santai. Wanita itu berusaha meredakan api amarah dalam hatinya.
Raihan menggeleng, kemudian berseru, "Tidak. Saya nak temankan awak sini. Bila awak kena culik. Pastilah saya kena marah."
Ini tentang tanggung jawab. Meskipun tidak saling mencintai, Raihan sadar betul bahwa dirinya memiliki tanggung jawab terhadap istrinya.
"Terserah. lagipula saya tak akan diculik." Adriana membalas santai.
Udara malam terasa dingin. Rumput di taman telah berembun, angin malam masih berembus tanpa henti. Langit malam tidak seterang biasanya. Namun, juga tak segelap biasanya. Nyaris berada di tengah-tengah. Seolah langit sedang bersikap netral terhadap penduduk bumi.
Tak ada obrolan antara Adriana dan Raihan. Hanya kesunyian yang mendera keduanya. Raihan mencoba berdeham untuk memecah suasana tegang di antara mereka. Akan tetapi usaha itu tidak ada artinya. Pria itu menggeser dirinya lebih dekat dengan Adriana, sampai Adriana bersuara kembali.
"Mama dan papa dulunya sibuk bekerja. Dia mengorbankan semua kasih sayangnya dalam bentuk uang. Sejak kecil, aku terbiasa membelanjakan banyak uang, membeli hal-hal yang tidak perlu. Itu semua kulakukan karena mama dan papa sibuk."
Adriana mulai mengungkapkan isi hatinya. Jujur saja, Raihan tidak berpikir kalau ternyata orang tua Adriana telah ikut andil dalam sikap boros istrinya itu.
"Sudah sepatutnya orang tua bekerja buat kebutuhan anaknya. Suatu masa, maybe awak dan saya pun lakukan hal yang sama. Buah mangga bila jatuh pastilah dekat dengan pohonnya." Raihan berusaha bersikap bijak.
Bagaimana pun juga, Raihan berasal dari keluarga kaya seperti Adriana. Bedanya, masih ada "family time" setiap akhir pekan sehingga hangatnya keluarga masih bisa dirasakan oleh Raihan.
Dalam kasus Adriana, entahlah. Mungkin sama saja dengan Raihan? Meskipun tak ada pertemuan khusus akhir pekan. Adriana tetap menikmati hidupnya.
Adriana tidak sepenuhnya hancur. Dia bahagia dengan berbelanja, itu artinya ia bahagia semasa hidupnya. Wanita itu sudah berdamai dengan situasi orang tuanya. Dia percaya bahwa dengan membelanjakan uang orang tuanya sama halnya mendapatkan kasih sayang.
"Kamu tidak mengerti," kata Adriana.
"Aku tidak bermaksud durhaka kepada mereka. Tapi, aku sudah terbiasa dengan uang. Lalu, mereka melarang aku membelanjakan uang banyak. Aku hanya sulit memahami jalan pikiran orang tuaku."
Raihan mengangguk. "Kite semua ni tak kan bisa paham betul-betul dengan keadaan orang tua kite. Kita sama je."
Dia mengusap punggung istrinya dengan lembut. Karena merasa jarak mereka masih agak jauh, Raihan berinisiatif bergeser sehingga semakin dekat dengan Adriana. Setelah tak ada jarak, Adriana membaringkan kepalanya di pundak Raihan.
"Jangan baper. Aku melakukan ini supaya pundakmu bengkak. Aku melakukan ini karena membencimu."
Adriana mengatakan itu agar tidak ada hati yang terbawa suasana. Hakikatnya mereka hanyalah pasangan kontrak bukan suami istri penuh cinta sungguhan. Tidak boleh ada hati yang terluka dalam rumah tangga palsu mereka.
"Saya dah paham. Buat awak jatuh hati pada saya tu macam lelehkan es di kutub utara. Susah sangatlah." Raihan tersenyum kecut. Begitu pun dengan Adriana.
"Baguslah kalau kamu paham, Mas."
Keduanya masih memandangi langit malam. Beruntung tidak hujan. Jika hujan datang, Adriana akan kehilangan harga diri masuk ke rumah orang tuanya dalam keadaan hati masih marah kepada mereka.
Sepuluh menit berlalu seakan hanya satu menit. Raihan mulai merasakan jantungnya berdebar, seakan-akan ada jam yang bergerak di dalam dadanya. Karena bosan tidak melakukan apa-apa, Raihan berinisiatif pada dirinya sendiri. Pria itu mengusap rambut Adriana dengan lembut.
"Jangan baper. Saya usapkan rambut awak, cuma nak mengetes seberapa rontok rambut awak tu. Bila saya dah temukan rambut rontok, saya bakal ingat itu supaya nanti saya bisa hujatkan awak dengan rambut rontok tu." Raihan memberitahu sebelum Adriana menafsirkan tindakannya. Adriana hanya cekikikan.
"Aku percaya kok."
Adriana membalas dengan sebuah senyuman terselubung di wajahnya. Mereka masih asyik mengobrol ketika Atikah dan Herman memperhatikan dari dalam rumah. Mertua Raihan itu tampak senang. Merasa bahwa dua insan di taman sedang beradu kasih seperti pasangan dalam sebuah tayangan drama di layar televisi.
"Raihan memang suami yang tepat untuk Adriana." Atikah menunjukkan raut muka senang.
"Benar. Raihan merupakan lelaki pilihan untuk anak kita."
Atikah dan Herman saling merangkul. Meskipun sudah berumur, keduanya sadar bahwa mereka pun butuh momen romantis bersama. Terlebih setelah menyaksikan Adriana dan Raihan saling berpelukan di taman.
***
Ponsel Raihan berdering. Menghancurkan kebahagiaan sejoli Raihan dan Adriana yang sibuk memandangi langit berdua. Jika tak ada deringan ponsel tersebut, mereka mungkin tak akan menyadari seberapa lama mereka berpelukan. Mereka berpelukan lebih lama dari pelukannya orang yang berpacaran sungguhan.
"Halo. Assalamu Alaikum, Ayuma?"
Sekilas Raihan menengok ada nama mantan sekretarisnya yang menelepon. Dia memanggil nama Ayuma dengan nada pertanyaan sebab tidak yakin dengan siapa ia sedang berbicara.
"Iya, Pak. Ini Ayuma."
Adriana melepas tangan Raihan yang masih menggantung di belakang lehernya. Bibir Raihan sempat menyebut kata "sori" untuk mewakili permintaan maafnya yang masih menaruh tangan di punggung Adriana.
"Oh, ya. Ada ape ni, Ayuma? Awak nak balik ke perusahaan? Nak ubah pikiran resign?" Raihan masih berharap Ayuma mau kembali bekerja di kantornya. Wanita itu berbakat, perfeksionis dalam bekerja.
"Bukan itu, Pak. Saya menelepon hanya ingin mengabarkan kalau teman saya yang memiliki pengalaman bekerja sekretaris sudah memasukkan lamaran ke kantor bapak. Kalau bisa prioritaskan dia ya, Pak." Ayuma berusaha bernegosiasi. Raihan baru ingat kalau ia juga sempat meminta Ayuma memberikan rekomendasi karyawan baru.
"Oh, oke. Besok saya periksakan di office. Thanks ya, Ayuma. Meskipun awak dah resign, awak tetap setia kan dengan perusahaan. Saya usahakan untuk menerima rekomendasi awak tu." Raihan belum sempat mencari langsung sekretaris baru. Dia bersyukur ayuma mau membantu.
"Makasih ya, Pak. Sehat selalu bersama istrinya."
Raihan menoleh ke arah Adriana dan meligar wanita itu menjelingkan matanya entah apa yang tengah ia rasakan.
"Oh ya. Awak juga ya, semoga sihat bersama suami dan calon baby awak." Ayuma mengaminkan. Wanita itu cepat-cepat ikut menambahkan, "Iya, Pak. Saya doakan bapak dan ibu segera punya bayi juga."
Raihan tertawa kecil. Terlebih Adriana langsung menggeleng. Orang-orang sangat senang mendoakan mereka memiliki bayi. Raihan selalu bingung harus mengamini atau tidak. Pasalnya hati mereka belum disatukan. Mereka hanya menyatu di ikatan pernikahan bukan pada hati. Mereka belum saling mencintai satu sama lain.