Chapter 15

995 Words
Masih dalam diamnya. Rex memperhatikan raut wajah Aifa yang sedih. Kedua mata Aifa sudah berkaca-kaca. Sementara Aulia. Sepupunya itu terlihat tidak menyangka dengan semua situasi ini. "Baru 10 hari kan?" Aifa memaksakan senyumannya. "Bagi Aifa ini semua adalah tantangan. Aifa akan berusaha untuk memasak buat Rex." Aulia merasa jengah dengan sifat sahabatnya yang kekanakan. "Aifa. Ayo kita pulang. Jangan aneh-aneh disini!" "Aifa gak aneh kok. Kan Aifa cuma mau kasih tahu sama semua orang yang ada diruangan ini kalau Aifa akan terus berusaha." "Aifa-" "10 hari itu baru rencana. Selagi janur kuning belum benar-benar melengkung Aifa akan terus berusaha. Siapa tahu dengan cara ini Allah merubah hati Rex untuk menerima Aifa kembali." "Kenapa kamu seyakin itu Aifa?" Rex menatap Aifa dengan sinis. Ia tidak menyangka bila Aifa benar-benar memiliki sikap di luar dugaannya. "Aifa yakin karena Aifa berbaik sangka. Allah tergantung perasaanya hambaNya. Aifa yakin kalau Rex masih cinta sama Aifa." "Aifa juga yakin kalau Rex tidak semudah melupakan masalalu kita yang dulu." "Ck." Rex mendecak sebal. "Jangan mimpi ketinggian. Nanti jatuh dan sakit." "Tidak apa-apa." Aifa tersenyum miris. "Tanpa jatuh pun sekarang Aifa sudah sakit kok." "Aifa cemburu Rex bersama wanita lain." "Aifa gak nyangka ternyata ada wanita lain selain Aifa selama ini. Tapi Aifa gak boleh egois. Untuk sekarang Rex bukan siapa-siapa Aifa.  Tapi Aifa juga gak mau Rex berpaling sama wanita lain." "Apa karena wanita ini lebih dewasa dari Aifa sehingga Rex berubah bersikap dingin sama Aifa?" Suasana semakin tidak enak. Sehingga membuat Aisyah semakin tidak tahan dan berdiri dari duduknya. "Maafkan saya Mas Re." sela Aisyah kemudian. Lalu beralih menatap Aulia dan Aifa dengan segan. "Maafkan saya mbak Aifa. Saya tidak bermaksud menjadi orang ketiga diantara mbak sama Mas Re. Em maaf saya permisi. Asalamualaikum." "Aisyah! Kamu jangan pergi." Rex hendak mencegah Aisyah. Tapi Aulia menghadang langkah Rex. Aulia menatap sepupunya itu dengan tajam sehingga membuat Rex menahan amarahnya. "Apa lagi Angel? Kalau kamu mau bela sahabatmu itu silahkan." Rex tersenyum sinis. "Lakukan saja. Karena aku menyukai seorang wanita yang dewasa. Rajin. Tidak kekanakan dan tidak manja!" Rex merasa kesal. Ia pun mengabaikan Aulia bahkan saat  melaluinya pun Rex menyenggol bahu Aulia dengan kasar hingga membuat Aulia sedikit meringis. "Angel. Maafkan Aifa ya. Angel jadi berantem sama Rex karena Aifa. Kalian kan saudara sepupu." "Aulia! Aku Aulia! Ya Allah. Kalian ini sama ya! Rex juga memanggilku Angel. Berulang kali aku harus bilang kalau aku sudah mengganti nama!" "Oh iya lupa." "Ayo kita pulang! Percuma saja kita kesini." Aifa hanya menurut. Apalagi saat ini pergelangan tanganya di tarik paksa oleh Aulia. "Angel.." "Aulia Fa.. Aulia." "Oh iya lupa." "Aulia." "Apa?" "Ini..." Aifa menyodorkan ponselnya pada Aulia. Aulia yang tadinya sedang menikmati secangkir coffe pun meletakan minumannya lalu menatap layar ponsel Aifa. "Terus kenapa?" "Angel ingat Ray?" "Ray?" Aulia mengerutkan dahinya. "Oh. Adik tiri Ray. Iya ingat. Kenapa?" "Akhir-akhir ini Ray baik sama Aifa. Aifa tidak pernah memberi nomor ponsel Aifa sama dia. Jadi selama ini Ray chat Aifa hanya melalui Email." "Kenapa?" "Dulu Rex pernah bilang. Jangan pernah kasih nomor ponsel Aifa ke pria manapun. Katanya pria diluar sana banyak yang jahat." "Itu kan dulu. Lah dia aja lagi seneng-seneng sama Aisyah." "Tapi Aifa yakin kok. Rex tetap cintanya sama Aifa." Aulia mengenal napas. Ia tidak menyangka bahwa Aifa benar-benar wanita aneh yang suka mengemis cinta sama Rex. Astaga. "Oh gitu ya? Terasa deh terserahhhh!" Aifa mengangguk. Lalu ia menyendokkan spageti yang sudah ia putar-putar menggunakan garpunya. Aulia menatap Aifa sejenak. Hingga sebuah ide terlintas di pikirannya. Tanpa Aifa sadari, Aulia membalas pesan singkat dari Ray melalui email Aifa lalu kembali menyerahkan ponselnya pada Aifa. "Kamu berhak bahagia!" "Iya." Aifa mengunyah spageti yang masih ada didalam mulutnya. "Aifa tahu. Aifa memang pantas bahagia." "Yaudah deh kalau sadar. Moga aja berhasil." Aifa hanya mengangguk. Lalu kembali fokus memakan spagetinya sehingga ia tidak menyadari bahwa beberapa menit yang lalu Aulia mengirimkan nomor ponsel Aifa dengan Ray melalui Email. Setelah melakukan sholat tahajjud disepertiga malam. Franklin merasa tenggorokannya mengering. Ia pun berniat keluar kamar untuk menuju dapur. Seketika kedua mata Franklin terbelalak kaget. Ia terkejut mendapati tetesan darah berada di lantai. Franklin mengikutinya hingga akhirnya tetesan darah itu mengarah ke toilet. Dengan cepat Franklin membuka pintu toilet dan menemukan Aifa tengah meringis kesakitan. "Kakak!" Aifa terkejut. Ia menoleh kearah Franklin. "Apa yang kakak lakukan?!" Tanpa menunggu respon dari Aifa, Franklin mengambil alih perban dan kapas yang sempat Aifa pegang untuk mengobati tangannya sendiri. "Aifa tadi belajar masak. Aifa tadi lagi potong sayur. Tapi Aifa teledor." "Kenapa kakak masak? Ini masih jam 03.00 pagi." "Aifa mau bikin sarapan pagi buat Rex." Franklin menghentikan aktivitasnya. Ia menatap Aifa dengan dingin. Ia merasa tidak suka jika kakaknya itu terlalu perduli dengan pria itu. "Franklin jangan marahin Aifa." "Aifa salah ya kalau Aifa mau belajar masak?" "Aifa cuma ingin bisa masak. Selama ini Aifa sudah menyesal kenapa dulu selalu menolak mommy yang minta di bantuin masak." "Aku cuma gak suka lihat kakak memaksakan diri karena pria itu." "Maafin Aifa Franklin. Aifa sudah terlanjur cinta sama Rex. Apapun Aifa usahain supaya Aifa bisa menjadi wanita yang dewasa." Dengan fokus Franklin mengobati jari Aifa yang teriris pisau dapur. Sesekali Aifa meringis sampai akhirnya semuanya selesai. Franklin membereskan semua peralatan obat-obatan yang Aifa bawa tadi. "Sampai kapan kakak membuat masakan untuk Rex?" "10 hari." "Mulai besok jangan masak sendirian." "Kenapa? Apakah Franklin meragukan Aifa yang akan membakar rumah lagi karena tidak bisa menyalakan kompor?" "Bukan." "Apa karena Aifa gak bisa masak terus Franklin ragu kalau masakannya nanti tidak enak?" "Bukan." "Terus apa?" Franklin menyentuh pipi Aifa dengan lembut. "Kakak itu cantik. Jangan sedih. Memasak harus dengan perasaan riang. Aku akan menemani kakak selama memasak. Supaya kakak gak merasa sedih karena sendirian di dapur." Kedua mata Aifa berkaca-kaca. Ia tidak menyangka bila Franklin begitu memahami dirinya sebagai seorang kakak yang tengah mencintai seorang pria pujaan hati. Aifa memeluk Franklin. "Aifa sayang sama adek Franklin. Terima kasih." Franklin emang andalan kakaknya ya Makasih sudah baca. Sehat selalu buat kalian. With Love LiaRezaVahlefi Instagram lia_rezaa_vahlefii
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD