Memories-5 THEN

1828 Words
Sudah dua minggu ini Bayu dan Melody telah resmi menjadi sepasang kekasih. Karena hari jadi mereka bertepatan dengan menjelang akhir bulan maka keduanya disibukkan dengan urusan akhir bulan masing-masing. Seharian ini Bayu tidak sempat menghubungi Melody. Bahkan untuk mengirimkan pesan singkat saja tidak dilakukan oleh Bayu. Padahal sebelum mereka jadian Bayu tergolong lebih rajin daripada Melody dalam hal komunikasi. "Udah makan siang, Mel?" tanya teman sekantor Melody. Melody hanya menjawab dalam gelengan beberapa kali. Dia berkutat di balik layar monitor. Kacamata anti radiasinya sudah beberapa kali merosot dari hidungnya yang cukup mancung untuk ukuran wanita. Cuaca di luar cukup panas ditambah lagi pendingin udara di kantor tidak berfungsi sempurna. Sebuah helaan napas panjang menandakan Melody telah mengakhiri salah satu pekerjaannya siang ini. Dia meletakkan kacamata anti radiasinya di atas meja, meraih ponsel yang tergeletak di atas meja dan tidak disentuh sejak empat jam yang lalu. Namun tidak ada satupun notifikasi baik itu panggilan maupun pesan singkat dari Bayu. "Bayu ke mana, ya?" gumam Melody, mencoba menghubungi Bayu. Hingga tiga kali percobaan, Melody tidak menorehkan hasil. Dia memutuskan meletakkan kembali ponselnya dan melanjutkan pekerjaan yang ditargetkan selesai sebelum petang. "Kalau sampai nggak dapat promosi akhir tahun ini, kamu rugi," ucap sebuah suara dari balik kubik pembatas. "Bayu? Sejak kapan di situ?" tanya Melody, tidak bisa menyembunyikan wajah semringahnya. "Baru aja. Aku bawain makanan buat kamu. Makan dulu ya," ujar Bayu, menyodorkan sekantong plastik makanan untuk Melody. "Makasih ya. Tauan aja kalau aku belum makan?" "Feeling aja. Aku mau ke atas dulu ya. Nanti pulangnya bareng." "Kamu ada perlu apa?" "Bos ngajak meeting. Mungkin sampai sore. Perasaan aku udah ngomong deh, kemarin. Lupa kamu?" Melody hanya menyeringai. Bayu mengacak puncak kepala Melody sebelum berlalu dari tempat Melody. "Buruan dimakan gih. Aku udah makan tadi," ucap Bayu kemudian melanjutkan langkah menapaki tangga menuju lantai dua. Sembari tersenyum Melody menatap punggung Bayu dari kejauhan. Dia merasa beruntung sekali dipertemukan dengan laki-laki baik dan penuh perhatian seperti Bayu. *** Seperti yang telah disepakati siang tadi, Melody tidak langsung pulang begitu pekerjaannya selesai. Dia menunggu Bayu selesai meeting dengan atasannya di lobi kantor region. Beberapa orang menanyakan kepentingan Melody duduk sendirian di lobi selama hampir setengah jam lamanya. Namun Melody tutup mulut. Dia masih belum ingin hubungannya dengan Bayu diketahui oleh teman-teman sekantor. Melody malas menjadi bahan omongan antar karyawan. Terlebih lagi Bayu bisa dibilang favoritnya karyawan cewek kantor regional Bandung I. Apa kata mereka kalau sampai tahu Melody menjalin hubungan spesial dengan pria yang menjadi incaran kaum hawa itu. Selain tampan Bayu terbilang cukup irit bicara dan tidak banyak tingkah, sehingga membuat siapapun terutama kaum hawa mudah penasaran padanya. "Lama nunggunya?" sapa Bayu, menghampiri Melody. "Lumayan," jawab Melody. "Mau makan dulu atau makan dikos aja?" "Pulang kos dulu aja deh. Badan lengket banget pengen mandi," jawab Melody, mengibaskan rambutnya beberapa kali. Bayu tertawa lalu menyetujui permintaan Melody. Keduanya meninggalkan lobi menuju tempat Bayu memarkir motornya. Sebelum memaikan helm untuk Melody terlebih dulu Bayu merapikan rambut Melody.  Diperlakukan semanis ini oleh Bayu membuat Melody meras menjadi perempuan paling spesial di muka bumi. Setelah mengantar Melody pulang ke kosnya, Bayu tidak lantas pulang sendiri ke rumahnya. Dia harus memastikan kekasihnya itu makan malam baru bisa pulang dengan tenang. Sembari menunggu Melody membersihkan tubuh, Bayu berinisiatif membelikan makan malam untuk Melody. "Besok balik ke Jakarta?" tanya Bayu, saat menikmati makan malam bersama di kos Melody. "Iya, besok ada pertemuan keluarga mau ngomongin persiapan pernikahan kakakku." "Maaf, ya. Aku nggak bisa ngantar. Besok aku bantu anak collection nagih." "Iya, nggak apa-apa. Abangku udah kirim sopir ke sini." "Ya udah cepet abisin makannya." Melody mengangguk lalu menuruti ucapan Bayu untuk segera menyelesaikan makannya. "Kamu kenapa seneng banget ngelihatin aku makan?" tanya Melody ketika merasa ada yang memerhatikannya. "Kamu kelihatan cantik kalau lagi makan. Nggak ada jaim-jaimnya meski makan banyak di depan cowoknya," ujar Bayu, berusaha menyembunyikan senyumnya. "Jadi biar tetap cantik aku disuruh makan terus gitu? Apa aku mulai besok harus jaga image di depan kamu? Jadi cewek anggun yang makannya sedikit dan nggak habis kalau di depan cowoknya?" "Nggak gitu juga. Aku suka kamu yang seperti ini," jawab Bayu, memberi cubitan kecil di salah satu pipi Melody kemudian mengusap pelan bekas cubitannya. "Makasih ya, Bayu. Aku bahagia banget bisa jadi pacar kamu." "Aku juga bahagia banget kamu mau jadi pacarku," jawab Bayu mengusap pelan puncak kepala Melody. Senyum tulus Bayu membuktikan bahwa dia benar-benar mencintai Melody sepenuh hati. "Kamu jangan tinggalin aku ya, Bayu," pinta Melody, sesaat setelah menyelesaikan makan malamnya bersama Bayu. Bayu meminta Melody merebahkan kepala dia tas pangkal lengannya. Sesekali Bayu membelai puncak kepala helaian rambut Melody. Membuat Melody merasakan sebuah kenyamanan yang tiada tara saat ini. "Kamu kenapa ngomong gitu?" tanya Bayu, setelah memberi sebuah kecupan di pelipis Melody. "Aku takut banget kehilangan kamu," jawab Melody, melingkarkan kedua tangannya untuk memeluk pinggang Bayu. "Aku juga takut banget kehilangan kamu. Maunya ngelamar kamu tapi takut kecepetan. Nanti kamunya malah kabur karena belum siap." "Kamu ngomong apa, sih? Memangnya aku mau kabur ke mana?" Bayu tertawa renyah menimpali ucapan Melody. "Ya kali aja," jawabnya. "Nggak suka kamu ngomong gitu." "Iya, maaf." Tidak lama kemudian ponsel Bayu berdering. Sebuah panggilan dari kontak telepon Ibu. Bayu meraih ponselnya dan menghubungi kembali kontak yang tadi menghubunginya. "Ya, Bu?" "A'a di mana? Jumat malam gini kenapa belum ada di rumah?" tanya sesorang yang merupakan ibu Bayu setelah menjawab salam Bayu. "A'a masih di kosan temen, Bu." "Temen? Saha? Teguh?" "Ibu nih. Emang teman A'a cuma Teguh doang. Ya temen yang lain juga." "Kok temen sih?" bisik Melody, memberi cubitan kecil di pinggang Bayu. "Teman A'a nggak terima ini, Bu." "Kenapa atuh nggak terima?" "Soalnya dibilang temen." Bayu tertawa kegelian sembari berusaha menangkap jemari Melody yang terus memberi cubitan kecil di pinggangnya. "Nggak terima dibilang teman, mintanya dibilang teman hidup, Bu," ujar Bayu, setelah berhasil menyembunyikan tangan Melody, dan memberi sebuah ciuman di pipi Melody yang berhasil membuat Melody menghentikan aksinya. "Oh, pacar." Melody menyembunyikan wajah malu di balik pundak Bayu. Saat Bayu meminta untuk menyapa ibunya, Melody menggeleng dan semakin menyurukkan wajah di balik pundak Bayu. "Nggak mau ngomong nih, Bu, orangnya." "Pacar A'a pemalu ya?" tanya Ibu Bayu. "Iya, Bu. Pemalu, tapi nggak malu-maluin kok, meski makannya banyak," jawab Bayu. Melody menegakkan badannya. Kedua matanya terbelalak dan berkacak pinggang menghadap Bayu. Tidak kuat melihat ekspresi Melody yang lucu menurut Bayu, akhirnya Bayu memilih menyingkir dari hadapan Melody untuk mengakhiri panggilan telepon ibunya. "Kapan atuh dikenalin Ibu itu pacarnya, A'?" "Nanti ya, Bu. A'a masih sibuk. Kalau ada waktu senggang pas A'a pulang, nengok Ibu sekalian kenalin dia sama Ibu." "Ya sudah, A'a kerja jangan capek-capek! Ingat istirahat dan solat," nasehat ibu Bayu untuk Bayu. Bayu mengakhiri panggilan teleponnya kemudian kembali ke tempat tadi dia sedang duduk bersama Melody. Ternyata Melody masuk ke dalam kosnya. Tidak lama kemudian Melody keluar membawa sebuah gitar dan mulai memainkannya untuk Bayu. Beberapa lagu-lagu penuh makna cinta dilantunkan Melody untuk Bayu. Menambah kemesraan yang terjalin di antara keduanya. *** Keesokan harinya Melody sampai Jakarta sekitar pukul sebelas siang. Di rumah abangnya terlihat lebih sibuk dari biasanya. Dari ruang tamu Melody melesat cepat memasuki kamar sebelum kakak iparnya melihat kehadirannya. Tidak lama setelah Melody berada di kamarnya, sebuah ketukan di pintu kamar mengusik kedamaiannya sedang menelepon Bayu. "Kak Ana? Ada apa?" "Siap-siap ya. Kakak mau memperkenalkan seseorang sama kamu." "Maksudnya?" "Udah siap-siap aja dulu. Dandan yang cantik dan pakai pakaian yang menarik." "Siapa yang mau diperkenalkan sama aku, sampai aku disuruh dandan segala? Bukannya hari ini kita ada pertemuan keluarga untuk ngomongin persiapan pernikahan Kak Syfo?" "Adik laki-laki temannya Kak Ana. Dia baru menyelesaikan kuliahnya di Singapura. Rencananya mau kerja di perusahaan abang kamu. Ngomongin persiapan pernikahan Syfo masih nanti malam. Sekarang dia masih menemani abang kamu main golf dengan salah satu klien perusahaan." "Tapi Bang Luthfi nggak ngomong apa-apa soal itu." "Ayolah, Mel. Abang kamu itu orang sibuk. Banyak hal yang harus dia pikirkan dan diselesaikan. Pengertian sedikit dong. Kak Ana tunggu di bawah ya." Melody kesal bukan main. Dia ingin menghubungi abangnya untuk mengkonfirmasi persoalan tadi. Namun Meldoy mengurungkan niatnya karena tidak ingin menambah beban pikiran abangnya. "Nah, ini adik ipar yang pernah saya ceritakan dulu itu. Ayo, duduk sini, Mel," ujar Ana memberikan ruang kosong di sampingnya untuk Melody. "Arkan." Laki-laki berkacamata dari seberang meja menyodorkan tangannya pada Melody. Melody menyambutnya dengan senyum tipis. "Melody," ujarnya, segera menarik tangannya. Keduanya tidak lagi terlibat obrolan apa pun. Merasa tidak dibutuhkan lagi Melody hendak pamit undur dari. Namun Ana mencegah keinginan Melody. Karena justru dialah yang segera pamit dari tengah-tengah Melody dan Arkan. "Kalau kamu mau melamar pekerjaan harusnya cukup di kantor saja. Untuk apa sampai menemui abang saya di rumah," ujar Melody, setelah kepergian kakak iparnya. "Kamu to the point banget orangnya. Untuk pekerjaan saya sudah diterima seminggu yang lalu. Saya hanya berusaha menjalin silaturahmi yang baik. Kebetulan Kak Ana dan kakak saya juga dekat." "Tapi kenapa kamu sampai repot-repot mendekati saya? Saya nggak kerja di Khawas Group jadi nggak ada ada hubungannya sama perusahaan abang saya itu." Arkan menarik napas panjan, mengempasnya secara perlahan. Sebuah senyum terbit di wajahnya. "Maaf kalau mengganggu waktu kamu, Mel," ucapnya kemudian. Melody meremas jemarinya, kepalanya tertunduk malu. Dia merutuki dirinya yang sudah kelewatan pada Arkan. Tidak seharusnya dia memperlakukan orang baru seperti ini. Ini tidak pernah diajarkan oleh mendiang kedua orang tuanya. Lagipula Arkan tidak bisa dijadikan pelampiasan kemarahan Melody pada Ana yang sudah seenaknya memperkenalkan seorang laki-laki padanya. Arkan yang merasa Melody sudah tidak nyaman mengobrol berdua, akhirnya memilih pamit pulang. Arkan merasa mungkin Melody bersikap tak acuh padanya karena rasa terkejut tiba-tiba diperkenalkan oleh laki-laki asing. Dia sama sekali tidak tersinggung pada sikap maupun ucapan Melody. Tidak sampai lima menit setelah kepergian Arkan dari rumah, Melody menghampiri Ana yang sedang berada di kamar. Dia sudah tidak sabar untuk membicarakan soal Arkan dengan kakak iparnya. "Kamu kenapa di sini? Arkan ditinggal sendirian?" tanya Ana sesaat setelah membuka pintu kamarnya. "Coba jelasain maksudnya Kak Ana ngenalin Arkan sama aku tanpa kompromi dulu sama aku?" "Kenapa? Kamu nggak cocok sama Arkan? Dia bukan tipe kamu? Tinggal ngomong, Melo. Nggak usah marah-marah segala." "Bukan masalah cocok atau nggaknya ya, Kak. Tapi aku nggak suka sama cara Kak Ana. Kakak mau jodoh-jodohin aku sama laki-laki tadi, kan?" "Kalau kalian cocok, kenapa nggak? Lagipula Kak Ana pikir kamu pasti belum punya pasangan. Jadi nggak ada salahnya kan, Kak Ana carikan laki-laki yang pantes buat kamu?" "Pemikiran dari mana itu?" "Kak Ana lihat kamu tidak pernah membawa atau memperkenalkan laki-laki di hadapan kami semua sebagai pasangan kamu." "Aku nggak sembarangan bawa laki-laki ke rumah apalagi memperkenalkan dia sebagai pasanganku karena aku sangat menghormati Bang Luthfi. Aku sudah janji sama Bang Luthfi akan memperkenalkan satu laki-laki yang kelak akan menjadi calon pendamping hidupku. Entah itu kapan," jawab Melody, mulai kesal menghadapi kakak iparnya. "Ya sudah kalau itu mau kamu, Mel. Bawa saja laki-laki yang mau kamu perkenalkan sebagai calon pendamping hidup kamu itu. Kak Ana mau lihat seperti apa pilihan kamu," jawab Ana, kemudian meminta Melody keluar dari kamarnya. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD