Temaram lampu jalan menjadi satu-satunya teman wanita yang kini berjalan gontai di sepanjang trotoar itu, angin musim gugur yang terasa menusuk tulang tidak membuatnya menggigil, ia kedinginan, hanya saja hatinya lebih sakit dan terasa beku, hingga rasa dingin di tubuhnya bukanlah apa-apa, langkahnya terseok dengan keringat dingin yang semakin banyak membasahi wajah pucat berlinang air mata itu, hingga akhirnya ia terjatuh dengan isakan yang terdengar menyayat hati.
“Jeslyn,” panggilan itu membuatnya mendongak, dan mendapati adik iparnya, kembaran suaminya yang menatapnya khawatir. “Apa yang kau lakukan di sini Je? Di mana Kern? Bagaimana dia membiarkanmu seperti ini?” Keyla menghampiri Jeslyn dan merangkulnya untuk masuk ke mobil, namun Jeslyn menggeleng dan menahan tangan Keyla dengan tatapan sendunya.
“Aku baru saja dari rumah, ada sesuatu yang harus kuurus.”
“Ya sudah, aku akan mengantarmu pulang, atau kau ingin aku menelpon Kern?” Keyla sudah akan mengeluarkan ponselnya namun sekali lagi Jeslyn menahannya dan menggelengkan kepalanya, menatap Keyla dengan senyum sendu.
“Kern masih di rumah sakit, kau tidak ke sana? Kudengar Mommy Rhea sudah sadar?”
“Ya, ini aku akan ke sana, kau mau ikut? Mungkin Kern di sana, ayo.” Sekali lagi Jeslyn menggeleng, membuat Keyla mengerutkan keningnya bingung dengan kakak iparnya itu.
“Masih ada beberapa hal yang harus aku urus, sebaiknya kau segera ke rumah sakit, aku bisa mengurus diriku sendiri.” Sekali lagi Jeslyn tersenyum dengan raut sendunya, membuat perasaan Keyla diliputi gelisah apalagi saat melihat bagaimana hidung wanita itu yang mengeluarkan darah.
“Hidungmu, Je,” gumam Keyla membuat Jeslyn langsung menutup hidungnya dan berdiri, lalu beranjak dengan tergesa-gesa, “Sampaikan salamku untuk Kern, aku sangat mencintainya,” ucap Jeslyn lalu menghentikan taksi dan pergi meninggalkan Keyla yang masih mematung di tempatnya.
***
“b******k!! Sial!!” Umpatan terus saja terlontar dari bibirnya setelah mendengar semua cerita lengkap dari ibunya yang baru saja sadar dari koma, membuatnya merasakan penyesalan seumur hidup karena telah menyakiti wanita yang bahkan sejak lahir selalu merasakan kesakitan itu, jauh sebelum dirinya ikut menyumbang banyak rasa sakit yang mampu menghancurkan wanita itu hingga akhir.
Ia terus menghubungi nomor istrinya, seseorang yang selalu ia sakiti baik batin maupun fisiknya, kenangan-kenangan yang dulu menjadi kenangan membahagiakan karena berhasil menyakiti wanita itu kini berubah menjadi kenangan-kenangan menyakitkan yang mampu membunuhnya pelan-pelan.
“b******k!! Angkat teleponmu Je.” Pria itu, Kern Aldene terus mengumpat dengan hati penuh kecemasan menelpon sang istri, namun hanya suara operator yang menjawabnya, saat ia ingin kembali menelpon sang istri, ponselnya berdering, membuat Kern mengumpat karena bukan Jeslyn yang menelponnya melainkan kembarannya.
“Apa?! Cepat ke rumah sakit!! Mommy mencarimu.”
“Ada apa dengan suaramu? Semua baik-baik saja kan? Tadi aku melihat Jeslyn,”
“b******k!! Di mana dia?!” umpatan Kern membuat Keyla terlonjak di tempatnya.
“Ada apa? Dia sudah pergi menggunakan taksi, katanya baru saja dari rumah orang tuanya dan masih memiliki beberapa urusan,”
“Sial!! Seharusnya kau menyeretnya dan membawanya padaku. Di mana kau sekarang?” suara Kern yang terdengar begitu emosi namun juga panik membuat Keyla dibuat semakin bingung, lalu saat ia menyebutkan di mana dirinya berada, Kern langsung memutus sambungan telepon , membuat Keyla memilih untuk langsung menuju rumah sakit, menanyakan sesuatu yang bisa menjelaskan situasi yang sesungguhnya.
***
Jeslyn menelan ludahnya susah payah saat melihat sebuah mobil yang mengikuti taksinya, sang supir taksi pun mengatakan hal yang sama padanya, membuat Jeslyn meminta sang supir untuk menambah kecepatan, namun mobil di belakangnya juga menambah kecepatan bahkan hampir menyamai taksinya.
“Ya Tuhan, apa lagi ini?” Jeslyn menggumam dalam hati dengan jantung yang bertalu keras, membayangkan jika hidupnya benar-benar akan berakhir malam ini, menyimpulkan jika Tuhan sengaja membuatnya mengetahui semua kebenaran itu sebelum kematian menjemputnya.
Dentuman yang cukup kuat membuat Jeslyn terbelalak, lalu tepat saat itu ia merasakan taksi yang ditumpanginya oleng menabrak pembatas jalan hingga menimbulkan bunyi kuat sebelum akhirnya berguling dua kali.
“Ini benar-benar kematianku? Ya Tuhan, menyedihkan sekali, bahkan sampai akhir kau tidak mengijinkanku mendapatkan cinta dari Kern,” Jeslyn menggumam miris, pening di kepalanya juga darah segar yang membasahi kening hingga ke bibirnya membuatnya tersenyum miris, bersiap dengan kematiannya, meninggalkan dunia yang hanya memberikan kesakitan untuknya, hingga sebuah tarikan yang cukup kuat membuat Jesyln kembali membuka matanya, melihat iblis wanita yang kini tengah tersenyum jahat ke arahnya.
“Aku tidak akan membuat ini menjadi mudah, saudaraku, kau harus merasakan penderitaan lagi bahkan di saat ajal bersiap menjemputmu,”