Suara piring yang beradu dengan lantai membuat suasana makan malam yang sebelumnya tenang kini menjadi gaduh. Si pelaku sendiri tak lain adalah putri dari tuan pemilik rumah.
“Angel! Apa yang kau lakukan?!” bentak seorang pria paruh baya yang berdiri menatap tajam pada si pelaku.
“Apa maksudmu Pa! Kau ingin aku menikah dengan pria buta dan cacat seperti dia?” Angel, nama wanita itu, menunjuk pria di atas kursi roda dengan tatapan kosong. “Apa Papa ingin menghancurkan masa depanku? Aku masih muda dan masa depanku masih panjang, untuk apa aku harus menikah dan menjadi pengasuh pria cacat ini? Aku tak sudi,” katanya kembali.
“Angel! jaga ucapanmu!” Farzan Wijaya, tuan pemilik rumah hendak melayangkan pukulan pada putri semata wayangnya itu, namun sebelum itu terjadi suara seseorang menghentikannya.
“Sudah cukup,” kata Bramono Mahardika, yakni tamu besar di rumah itu.
“Tu-- Tuan Mahardika ... maafkan kelakuan putriku, aku….” Farzan Wijaya tak dapat melanjutkan kata-katanya, ia benar-benar malu dengan kelakuan putri semata wayangnya.
“Tidak apa Tuan Wijaya, semua yang dikatakan putrimu benar. Anakku memang buta dan cacat, jadi tak pantas anakmu yang cantik dan berpendidikan ini mendapat pria cacat seperti anakku.” Suara lembut namun sarat akan makna itu membuat mereka terdiam. “Sudahlah suamiku, lebih baik kita pulang.” Yasmin Mahardika, istri dari Bramono Mahardika berdiri dan hendak mendorong kursi roda sang putra meninggalkan acara makan malam yang tidak menyenangkan ini.
“Maafkan anakku Tuan dan Nyonya Mahardika, aku akan memberi pelajaran pada anak ini agar ia sadar apa yang sudah ia katakan.” Farzan Wijaya menatap putrinya nyalang dan tajam seakan tangannya benar-benar gatal untuk memberinya pukulan.
“Tidak perlu Tuan Wijaya sebaiknya kami segera pulang,” kata Bramono yang berdiri dari duduknya dan melangkahkan kakinya untuk keluar dari rumah itu.
Diikuti Yasmin yang mendorong kursi roda putranya dan saat melewati Angel ia menatap gadis itu dalam seraya berkata, “Semoga kau mendapat pria yang juga memiliki masa depan cerah sepertimu, sampai kecerahannya bisa membuatmu silau dan kehilangan pandanganmu.” Dengan penuh penekanan pada setiap kata.
“Tuan Mahardika, tunggu dulu kita masih bisa membicarakan ini baik-baik.” Farzan Wijaya mengejar Bramono sebelum benar-benar keluar dari rumahnya berharap masalah ini bisa diselesaikan dengan baik.
“Maaf Tuan Wijaya, putrimu sudah sangat jelas menolak Aksa, anakku. Jadi tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi,” ujar Bramono dengan tegas.
“Ta-- tapi….” Farzan Wijaya masih berusaha meyakinkan Bramono namun sia-sia. Bramono bersama istri dan anaknya bergegas keluar dari rumah itu.
Setelah keluarga Mahardika itu pergi Farzan Wijaya segera kembali menuju putri semata wayangnya dan melayangkan pukulan di pipi halus gadis itu. “Anak kurang ajar, berani-beraninya kau bicara seperti itu pada keluarga Mahardika, mereka adalah penanam saham terbesar di perusahaan kita!” bentaknya penuh amarah.
“Tapi aku tak mau menghabiskan masa mudaku menjadi pengasuh orang cacat itu Pa!” teriak Angel dan berlari menuju kamarnya.
Farzan Wijaya memijit kepalanya yang terasa berdenyut nyeri, yang ia pikirkan kali ini adalah nasib perusahaannya jikalau sampai Bramono Mahardika menarik seluruh saham dari perusahaannya.
***
Mobil keluarga Mahardika itu melaju dengan kecepatan sedang melewati jalanan kota yang ramai. Gemerlap indahnya lampu kota tak sesuai dengan suasana hati mereka. Seharusnya malam ini adalah malam yang indah bagi putra bungsu mereka, Aksa Mahardika.
Bramono menerima undangan makan malam dari Farzan Wijaya untuk mengenalkan putrinya dan putranya berharap kedua anak mereka bisa menjalin hubungan. Namun baru melihat keadaan Aksa saja, putrinya itu sudah menolak mentah-mentah.
“Maafkan ibu Aksa,” ujar Yasmin dengan rasa bersalah yang tercetak jelas di wajah cantiknya meski sudah hampir kepala enam.
“Hn.” Hanya gumaman tak berarti yang Aksa ucapkan.
“Seharusnya Ibu mendengar perkataan ayahmu untuk tak lagi menjodohkanmu, saat tuan Wijaya meminta kita untuk datang ibu pikir anaknya tidak serendah itu." Mengusap setitik air mata di pelupuk matanya. “Ibu hanya mendengar yang dikatakan ayahnya tanpa mengetahui bagaimana anaknya yang sebenarnya,” ujar Yasmin dengan air mata yang mulai mengalir. Selama ini Farzan Wijaya selalu mengatakan bahwa putrinya sangat mengagumi Aksa, tapi ternyata itu hanya kebohongan belaka.
Aksa Mahardika, pria berusia 28 tahun itu hanya diam dengan tatapan kosong lurus ke depan. Ia tak berniat lagi menyambungi ucapan sang ibu, bukan ia benci dengan sang ibu hanya saja, ia sudah malas kembali membahas hal yang sama. Ia memejamkan mata sejenak mengingat dirinya sebelum mengalami kelumpuhan dan kebutaan. Ia seorang pebisnis yang sukses, ia bahkan sudah menguasai beberapa perusahaan saat usianya baru 27 tahun. Harta, tahta, wanita, semua mengelilingi hidupnya. Semua wanita mengejarnya, tak ada satu wanita manapun yang sanggup menolak pesonanya. Ketampanan diatas rata-rata dengan tinggi 175cm juga tubuh atletis sanggup membius kaum hawa untuk jatuh cinta pada pandangan pertama. Terutama karena latar belakangnya sebagai pemilik AM Interior, yaitu sebuah perusahaan interior terbesar di Bandung.
Tapi saat keadaannya seperti ini tak ada satu wanita manapun yang bahkan sudi menatap ke arahnya. Aksa kian mengerti bahwa semua wanita sama, hanya haus kekayaan dengan rupa dan fisik yang sempurna.
***
Hampir satu jam perjalanan, kini mobil itu memasuki sebuah area rumah yang besar. Bramono turun terlebih dahulu dan membantu Aksa berpindah ke kursi rodanya dilanjutkan Yasmin yang mendorong kursi roda Aksa masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Aksa.
Sesampainya di kamar Aksa, Yasmin mengambil baju tidur dari dalam lemari dan menggantikan pakaian Aksa.
“Sekali lagi maafkan ibu, Aksa. Ibu harap ucapan gadis itu tidak kau pikirkan,” ujarnya sambil mengganti pakaian Aksa, matanya terlihat merah dan sembab karena menahan tangis. Ia tidak ingin Aksa tahu bahwa ia menangis.
“Ibu hanya ingin kau bahagia dengan pendamping hidupmu, ibu ingin ada wanita yang tulus dan bisa menerimamu,” kata Yasmin dengan mengusap lembut helaian mahkota Aksa yang mulai memanjang dan menatapnya sendu. “Sudah hampir larut, istirahatlah.” Yasmin membenarkan letak bantal Aksa kemudian meninggalkan kamar itu setelah melihat Aksa berbaring dan mencoba memejamkan mata. Ia menutup pintu dan menangis bersandar pada pintu luar kamar..
“Ada apa Istriku?” Bramono Mahardika menghampiri istrinya dan mengusap bahunya lembut.
“Dulu aku berharap Aksa selalu di rumah dan menghabiskan waktu bersama kita, tapi tidak dengan kondisi seperti ini. Sekarang aku bisa selalu melihatnya tapi justru membuatku sakit, Suamiku. Andai saja kecelakaan itu tidak terjadi….” kata Yasmin dengan menangis terisak.
“Sudahlah, jangan menyalahkan apa yang telah terjadi. Mungkin semua ini ujian bagi kita,” kata Bramono yang kini mendekap Yasmin. Mengusap lembut punggung istrinya itu menenangkan.
“Yudha pernah mengatakan jika dulu banyak wanita berusaha mendekati Aksa, tapi saat keadaannya seperti ini ia justru jadi bahan olok-olokan mereka.” Yasmin mengusap air mata mengingat ketenaran Aksa sebelum kecelakaan dan membuat kondisinya seperti ini. “Aku ingin ada seseorang yang bisa merawatnya dan mencintainya. Bukan karena aku tak ingin merawat dan menjaganya selamanya, tapi ... dia seorang pria yang sudah seharusnya memiliki keluarga. Aku ingin ia bahagia dengan keluarganya, aku ingin ada seorang wanita yang bisa membuatnya bahagia. Wanita yang benar-benar mencintainya. Tapi kenapa semua itu seakan mustahil?” Bukan hanya sekali Aksa menerima penolakan membuat Yasmin sedikit berkecil hati namun ia masih ingin berharap.
“Sudahlah Istriku, kita hanya bisa berdoa untuk itu. Tapi dengan keadaan Aksa sekarang, kita bisa tahu siapa yang benar mencintainya atau mendekatinya karena memiliki tujuan lain,” kata Bramono untuk menguatkan Yasmin. Meski sebenarnya ia juga tengah memikirkan apa yang dialami putranya, yang lagi-lagi terjadi untuk kesekian kalinya.