"Mel, jadwal gue besok aman kan?" Elvin mengulurkan tangan kanan untuk meminta tablet yang menyimpan semua jadwal dan deadline pekerjaannya.
"Aman banget sih nggak, besok kan elo ada janji sama Cendana Kasih, buat tanda tangan surat kesepakatan."
Hampir saja ia melupakan jadwal terpentingnya selama mengikuti seminar di Bali ini. Salah satunya yaitu kerja sama dengan seorang seniman ternama bernama Cendana Kasih, pelukis ternama yang sudah sejak lama Elvin idolakan.
Entah mendapatkan bintang keberuntungan dari mana, Elvin terpilih menjadi salah satu orang yang berkesempatan untuk menulis biografi seorang Cendana Kasih. Dan besok adalah hari yang ia nanti-nantikan karena ia akan menandatangani surat kerja sama antara dirinya dengan Cendana Kasih juga Sekar Kinanti, putrinya.
"Udah dapet jawaban dari Bu Kasih?" tanya Elvin tak sabar.
"Yaps, besok siang jam sebelas tepat di Miracle Coffee."
"Miracle apa?" tanya Elvin lagi demi memastikan nama tempat yang Meli setujui untuknya bertemu dengan sang maestro seni lukis. Elvin hanya sedikit terkejut dengan nama tempat yang sepertinya tak asing dengan tempat yang beberapa hari lalu ia kunjungi ketika baru saja menginjakkan kaki lagi di Bali.
"Miracle Coffee." tegas Meli.
"Dan itu di?" desak Elvin.
"Wait." Meli mengotak-atik tabletnya demi melihat lagi alamat lengkap tempat pertemuan Elvin dengan Bu Kasih.
"Gianyar, deket ARMA." sambung Meli lagi. "Kenapa?"
"Nggak apa-apa, gue khawatir aja sama nama cafenya."
"Karena?" meli memicingkan mata.
"Namanya mirip-mirip kayak cafenya Ervan gitu sih, tapi semoga aja bukan." Elvin menutup laptopnya dan mengembalikan tablet nya pada sang asisten.
"Perasaan Lo aja kali kak."
Meli benar, bisa saja jni hanya perasaannya yang tak berdasar. Dua kali bertemu dengan Ervan ternyata bisa membuatnya linglung seolah kehilangan pegangan seperti ini.
"Hmmm.... semoga aja." Elvin mengangguk pelan. "Selain itu jadwal gue gak ada lagi kan?"
"Kosong kak, setelah bazaar besok gue langsung nyusul ke Gianyar atau gimana? mumpung jadwal honeymoon gue sama mas Bayu udah kelar." tanya Meli.
Bekerja sekaligus berlibur dengan tunangannya seperti ini selalu menjadi agenda yang dirindukan oleh gadis itu. Tak ayal Meli selalu bersemangat selama lima hari menghabiskan waktu di Bali, tentu saja karena keberadaan Bayu juga.
"Serah Lo sih." jawab Elvin santai.
"Lo jadi ke Uluwatu dulu kak?"
"Hmm.... sepertinya begitu. Ada benernya juga sih saran dari Papa. Dari pada gue pulang pergi Surabaya Bali, mending gue stay di rumah Uluwatu aja selama ngerjain biografi Bu Kasih." Elvin menyandarkan punggungnya sambil bersedekap.
Sejak memutuskan menerima tawaran menulis biografi Cendana Kasih, Elvin memang sempat dibuat bingung dengan tempat tinggalnya nanti. Mengingat pertemuannya dengan Bu Kasih yang akan semakin intens nantinya, tak mungkin ia akan terus melakukan perjalanan pergi pulang ke Surabaya.
Namun, sang ayah menyarankannya untuk tinggal di rumahnya sendiri di daerah Uluwatu. Rumah pemberian ayah Elvin yang letaknya berdekatan dengan villa keluarganya yang disewakan pada para pelancong yang berlibur di Bali.
"Mumpung Malika belum sekolah juga kan, rencananya dia mau gue ajak tinggal di Bali selama gue beresin projects Bu Kasih. Tapi..." Elvin menengadahkan kepala saat menjeda kalimatnya.
"Tapi kenapa? Udah paling bener kok saran dari papa Lo."
"Kadang gue takut-takut sendiri Mel."
"Takut tinggal sendirian? Kan udah sering Lo tinggal berduaan doang sama Malika."
"Ckk... bukan takut yang itu dodol." decak Elvin.
"Terus?"
"Ervan... you know lah, Bali banyak mengingatkan gue sama kenangan masa lalu sama dia. Gimana gue nggak makin tersiksa misalnya gak sengaja ketemu dia lagi."
Meli memutar bola matanya jengah. Ervan lagi Ervan lagi. Ia heran, kenapa dunia Elvin seolah hanya berputar pada nama pria itu?
"Halah, Bali luas kak. Lo kira semua cowok disini itu cuma Ervan apa? Anggep aja sebagai ajang latihan elo berbenah hati Lo sendiri, lupakan masa lalu, lupakan semua kenangan Lo dengan Ervan yang notabene udah jadi milik orang."
Membuktikan kekhawatiran tak berdasar, keesokan harinya Elvin menuju Gianyar hanya ditemani oleh supir yang disiapkan pihak hotel tempatnya menginap. Meli tak bisa langsung ikut serta karena masih disibukkan menjadi panitia bazaar di pagi harinya.
Elvin memilih berangkat lebih pagi dari hotel, alasan sederhana. Ia ingin menikmati jalanan asri Nan hijau di Bali lebih lama, memanggil ingatan akan masa kecil hingga remaja yang ia habisnya di pulau cantik ini.
Tak sampai dua jam perjalanan, Elvin sudah sampai di tempat yang disepakati. Ia sengaja meminta supir mobil yang mengantarnya untuk kembali lebih dahulu, karena ia sendiri tak tahu akan memakan waktu beraa lama pertemuannya dengan Bu Kasih.
Sembari menunggu, Elvin memutuskan memesan beberapa menu unggulan dari Miracle Coffee. Namun ia kembali dilanda gelisah ketika menerima buku menu dari waitress yang tak jauh dari nya. Desain dan daftar menu yang ia pegang di kedua tangannya tampak tak asing, benar-benar mirip dengan menu yang pernah ia lihat di.. Miracle Taste. Cafe milik Ervan di sekitar pantai Sanur.
"Mbak Renjana..." panggil seorang gadis di depan pintu cafe. Ia berjalan mendekati Elvin dengan menggandeng tangan seorang wanita paruh baya yang masih memperlihatkan garis cantik di usianya yang tak muda lagi.
Menepikan lagi rasa gelisah yang sempat melanda. Elvin meletakkan lagi daftar menu diatas meja, perempuan cantik itu sontak tersenyum, dan berdiri menyambut Bu Kasih dan Sekar Kinanti, putrinya.
"Maaf jadi nungguin lama." ucap Bu Kasih ramah. Tangannya terulur bersalaman dengan Elvin, begitu pula dengan Sekar— putrinya.
"Nggak Bu Kasih, saya juga baru saja sampai kok, mungkin sekitar lima menit yang lalu." Elvin mempersilahkan kedua wanita di depannya untuk duduk.
"Mbak..." Elvin mengangkat tangannya pada seorang waitress untuk meminta daftar menu lagi.
"Kita ngobrol sambil ngopi ya?" tawar Elvin yang langsung diangguki bersamaan oleh Bu Kasih dan Sekar.
"Boleh." jawab Bu kasih.
"Mbak Melisa nya gak ikut mbak?" kali ini suara Sekar yang bertanya.
"Tadi pagi Melisa masih bantuin panitia untuk bazaar buku, jadi agak terlambat datang ke sini. Nggak apa-apa kan?"
"Nggak apa-apa, santai aja. Cuman ini pertama kalinya saya lihat mbak Elvin sendirian, biasanya ditemenin mbak Meli." saut Sekar.
"Iya, Meli sudah seperti adik saya sendiri, jadi sering ikut saya kemana-mana." Elvin tersenyum lebar mengingat asisten mungilnya itu cukup dikenal oleh beberapa tokoh yang ia idolakan.
Setelah ketiganya memesan minuman dan beberapa makanan ringan, merekapun melanjutkan pembicaraan berkaitan dengan rencana Elvin yang akan menulis Biografi Bu Kasih. Hal yang memang diimpikan oleh Elvin sejak lama, mengingat Cendana Kasih adalah maestro seni lukis yang sudah sejak lama ia idolakan. Bahkan sejak masa remajanya ketika ia masih tinggal di pulau Bali.
Hampir satu jam mereka beriga larut dalam perbincangan yang menyenangkan. Kesepakatan juga sudah mereka setujui bersama. Bahkan Elvin memberi tahu pada Bu Kasih perihal rencana kepindahannya ke rumahnya di Uluwatu selama ia menyelesaikan biografi beliau. Hal yang menguntungkan untuk Elvin maupun Bu Kasih, karena dengan demikian Elvin bisa kapan saja bertemu dengan narasumber yang sedang ia tulis perjalanan hidupnya.
"Elvin Renjana Hati kan?" satu suara merdu membuat Elvin menoleh seketika.
Sial kenapa harus bertemu lagi? rutuk Elvin dalam hati.
Rasanya ingin menenggelamkan diri, namun tak punya kuasa untuk beranjak berlari. Elvin tertegun ketika melihat perempuan cantik yang tengah menggendong balita empat tahunan. Perempuan itu mendekat sembari tersenyum ramah padanya.
"Masih di Bali?" tanyanya lagi sambil mengulurkan tangan.
Elvin berdiri dari kursinya, sambil memaksakan senyum. Pun tak lupa tangannya yang refleks menyambut uluran tangan dari perempuan cantik itu. Irina. Iya, Irina, istri dari pria yang memasung hatinya selama belasan tahun.
"Eh mb- mbak Irina, iya mbak. Seminarnya udah selesai sih, cuman masih ada pekerjaan di Bali." jawabnya sedikit tergeragap salah tingkah.
"Eh.. ini Bu Kasih kan? Cendana Kasih?" Irina mengalihkan pandangannya pada Bu Kasih yang duduk di seberang Elvin.
"Iya." Bu Kasih ikut tersenyum saat Irina bersalaman dengannya, begitu juga dengan Sekar.
"Waah... Gak nyangka cafe saya didatangi seniman-seniman besar seperti kalian. Satunya penulis satu lagi pelukis dan putrinya. Semoga suka ya." Irina terlihat sumringah meski kedua tangannya tampak kerepotan menggendong putranya yang sedang tertidur pulas.
Tunggu.. tunggu apa katanya tadi? Cafe miliknya? milik Irina?
"By the way saya duluan ya, harus cepet-cepet mau ke airport." tepukan pelan pada lengan Elvin menyadarkannya dari lamunan.
"Eh.. apa? airport?" ucap Elvin yang tengah kehilangan fokus.
"Hmm.. ada urusan keluarga di Palembang, jadi harus segera berangkat." pamitnya lagi.
"Eh iya... iya. Hati-hati mbak." lirih Elvin yang langsung diangguki Irina.
Belum sempat mendaratkan bokongnya lagi di tempat duduk, lagi-lagi Elvin dibuat menganga dengan sosok yang baru saja turun dari tangga di sebelah kasir. Tempat Irina tadi menyapanya. Ervan berjalan santai disana, dengan tangan kanan yang masih memegang ponsel yang menempel di telinganya.
Pria tegap itu juga terlihat terkejut ketika mata mereka saling bertemu untuk beberapa detik. Mengambil nafas panjang, Ervan memasukkan lagi ponselnya ke dalam saku celana. Alirah darah Elvin seolah berdesir panas ketika melihat lengkungan senyum di bibir Ervan yang kini berjalan mendekatinya. Senyuman yang sejak pertama menjeratnya dalam cinta yang tak seharusnya ia jaga.
"Ketemu lagi kita El?" sambut Ervan ramah. "Dari tadi?" sambungnya lagi.
"Hmm.. lu- lu- lumayan, dari jam sebelas tadi. Bu Kasih yang ngajak janjian kesini." Elvin mendadak gagap setiap bertatapan dengan pria tegap didepannya ini.
"Senang bisa lihat kamu lagi El, dan kayaknya takdir sedang memihak kita ya. Sejak kamu di Bali kita sering banget kebetulan ketemu seperti ini."
Entah takdir macam apa yang Ervan maksud, tapi Elvin merasakan gelenyar aneh yang merambat di hatinya saat menyelami sepasang netra milik Ervano Bhalendra.
Berpikir tentang Ervan selalu bisa memacu detak jantung Elvin lebih gila dari biasanya, tidak dulu, tidak sekarang. Sensasi itu tetap bisa ia rasakan, tak pernah berubah, bahkan... bertambah, meski susah payah Elvin mencoba meredamnya.
"Aku duluan ya El. Semoga besok ketemu lagi." Ervan tersenyum saat menepuk pelan bahu Elvin. Membuat Elvin yang lagi-lagi termenung dalam lamunan tertarik lagi dalam dunia nyata.
Lagi?
Jangan... tolong jangan, karena lain kali aku tak menjamin bisa menahan kedua lenganku untuk tak berhambur memelukmu.
Batin Elvin berkecamuk ketika melihat punggung Ervan semakin menjauh dan menghilang di balik pintu cafe.
*Bersambung
➜➜➜➜➜➜➜➜➜➜➜➜
Jodoh niih, ketemu terus sama babang chef, meski hati nyeri-nyeri sedep ya El ( ꈍᴗꈍ)