Hari Sial

1275 Words
“Lu stase apa?” “THT,” jawab Leonor. Dia mendapatkan bulan pertamanya di stase THT bersama dengan sekelompok orang tidak dikenal. Sang Kakak Tingkat yang lebih dulu koas itu menuntun kelompok itu pergi. Leonor sudah memakai scrub koas. “Kita mau kemana sih?” tanya Leonor. “Ke Ruang Pertemuan MPPD, ada kuliah pendahuluan dulu.” “Ahh iya,” ucap Leonor tetap melangkah. Saat Jerome melakukan sambutan, tatapan mereka tidak bertemu. Leonor berharap pria itu tidak mengetahui keberadaannya diantara ratusan anak koas. Namun, kenapa dia harus menjadi wakil direktur? Dan apakan direkturnya adalah keluarga Jerome juga? “Isi LoogBook untuk empat minggu ke depan ya ade-ade, setelah dua hari refresh materi, kalian akan pindah tempat dinas.” “Baik, Dok.” Ada salah satu Koas yang berbisik pada Leonor. “Hati-hati ya, Dek. SPV THT itu agak sensitive-an orangnya. Yang sopan.” “I-iya, Kak.” Sebenarnya, bukan itu yang dikhawatirkan oleh Leonor, tapi keberadaan Jerome. Mengisi LoogBook juga tidak focus. Sampai jam makan siang, Leonor masih melamun. Di kakos (Kamar Koas) juga lebih banyak terdiam. “El, mau makan gak?” tanya salah satu anak dari kampus lain. “Nggak, gue lagi diet,” jawab Leonor. “Gue mau ke kamar mandi dulu ya.” “Hati-hati tersesat.” Leonor mengacungkan jempolnya dan bergegas pergi dari sana. Kini dia lebih waspada, takut bertemu dengan Jerome. Namun, dirumah sakit sebesar ini tidak mungkin kan mereka bertemu lagi? Jerome itu ada di Dept. Kardiologi. “Dek Koas,” panggil seseorang yang menghentikan langkah Leonor, dia menoleh ke belakang dan kaget itu adalah SPV stase ThT yang sedang bersama dengan Jerome. “Stase ThT?” “Iya, Dok. Saya mau ke toilet dulu.” “Nanti kamu ke ruangan saya,” ucap Jerome. “Loh, dia di stase gue, Bro,” protes temannya. “Gue ada urusan sama bocah licik iitu.” “Maksud lu? Kalian saling kenal?” “Sekarang aja gimana, Dok? Saya udah gak mau ke kamar mandi kok. Mari, Dok, mari bicara dengan saya,” ucapnya panic. Bagaimana jika Jerome membuatnya terlihat buruk di hadapan sang SPV?! Bisa-bisa Leonor tidak lulus di stase ini dan harus mengulang di akhir nanti. “Bro?” “Nanti gue jelasin,” ucapnya kemudian memberi isyarat pada Leonor untuk mengikuti langkahnya. Melihat Jerome berjalan di belakang dengan menggunakan jas dokter, pria itu tampak berbeda dari sebelumnya. sekarang, Jerome seolah mengeluarkan sisi kekuasannya, ada songongnya juga setiap kali dokter lain menyapanya. Mana ruangannya terpisah dari yang lain. Wakil Direktur! “Mau sapa Kakek dulu?” menunjuk salah satu pintu bertulisakan DIREKTUR UTAMA. Leonor langsung menggigil ketakutan saat masuk ke ruangan Jerome. Pria itu duduk dan menatapnya dari atas ke bawah dengan tatapan meremehkan. “Kamu baru kirim surat pengantar. Yang lain udah diterima, yakin kamu udah?” “Maksudnya?” “Saya berwenang menolak kamu. mengembalikan surat pengantar ini ke dekan, jadi kamu gak koas disini.” “Kok gitu?” tanya Leonor dengan tatapan menahan amarah. “Kamu bukan anak beasiswa ‘kan?” Leonor langsung diam, tapi dia menjunjung tinggi harga dirinya. “Orangtua saya penyumbang terbesar, itu juga prestasi buat saya.” “Ambil lagi surat pengantarnya, bilang ke dekan kamu kalau kamu gak diterima di rumah sakit ini.” Tubuh Leonor panas dingin. “Atau…. Kamu bisa bertahan di sini sampai Koas selesai dengan tanggung jawab atas perbuatan kamu di restaurant. Inget?” Kini Leonor memandang Jerome berbeda. Dia sang wakil direktur disini. “Bapak mau saya tanggung jawab apasih? Bapak hamil juga enggak.” “Gara-gara kamu, orangtua saya beneran nyangka udah punya tunangan.” “Lu bilang aja kalau kita putus. Apa sus…..” sadar dengan apa yang diucapkannya, Leonor langsung menggigit lidah. “Bapak bilang aja kita putus ‘kan?” “Oke, kalau kita putus, saya gak akan tutupin kamu yang gak dapetin beasiswa tapi bisa disini.” “Jangan dong!” Leonor kesal. “Jadi gimana?” “Yaudah iya.” “Siniin ponsel kamu,” pinta Jerome untuk memasukan nomornya. “Bapak jangan kasih tahu anak-anak Koas kalau gitu. Nanti saya beneran dituduh kesini gara-gara Bapak.” “Hmmm….” “Ada yang mau saya omongin lebih banyak. Duduk.” “Nanti saya telat masuk.” “Saya bilangin SPVnya kalau kamu ada urusan sama saya.” Leonor menurut daripada dalam masalah. sadar kalau Jerome menatapnya dengan sinis. “Kenapa?” tanya Leonor malas. “Kamu gak bisa kabur lagi, Perempuan licik.” *** Jerome ikut andil membuat scenario dimana mereka bertemu saat liburan sesuai dengan penjelasan pria itu pada keluarganya. Leonor kini kembali ke stase THT dengan tubuh yang lemah, letih dan juga lesu. Begitu selesai koas hari pertama, Leonor menghabiskan dulu waktu bersama dengan teman-teman barunya. Tidak satu frekuensi, tapi memaksakan diri untuk masuk ke dalam mereka. Mereka berkumpul di salah satu café yang tidak jauh dari rumah sakit. Sengaja karena mereka tidak akan kumpul lama juga. “Ehhh bentar ya, Guys. Temen gue ada di depan,” ucap Leonor keluar dari café tersebut. Sore hari yang mendung, sama seperti mood Leonor. Leena, salah satu temannya itu datang menemuinya secara tiba-tiba. “Lu ada perlu apasih ke sini? Lu juga lagi koas ‘kan?” “Ada penting yang harus lu tahu. Gue ketemu sama si Yunda tadi, terus dia titipin ini buat lu.” Surat undangan pernikahan. Membuat Leonor menahan napasnya selama beberapa saat. Secepat ini? “Bukannya mereka tunangan ya?” “Iya, tapi kayaknya pernikahan dipercepat. Mungkin aja udah hamil duluan.” Kenangan bersama dengan Satria kembali berputar, juga bersama Yunda yang selalu menampung curhatannya. “El? Lu dateng, buktiin kalau lu itu udah move on. Kalau lu gak dateng, lu makin keliatan lemah di depan mereka.” “Thanks ya,” ucap Leonor. “Nanti gue pikirin lagi. di Rumah Sakit ini agak ketat jadwalnya. Gue harus curi waktu.” Menatap Leena dengan tatapan sedih yang langsung dipeluk oleh sahabatnya itu. “Gak papa, gue baik-baik aja. Lu gak usah datang ke sini kalau Cuma mau kasih ini doang. Padahal kan tinggal kirim chat, Begoo.” “Gue kesini bukan karena lu doang. Tapi…,” ucapannya menggantung ketika seorang pria mendekat. “Gebetan gue koas disini. hehehe. Gue jalan dulu ya. Bye, El.” Ada rasa iri kalau melihat hubungan percintaan teman-temannya. Namun, Leonor masih terjebak dengan ingatan bersama denngan Satria. Dia bergabung kembali dengan teman-temannya. Datangnya undangan Yunda dan Satria membuat Leonor tidak focus dan memilih pulang lebih wal. “sorry ya, Guys Gue pulang duluan,” ucap Leonor pamitan. Pergi ke parkiran rumah sakit dimana mobilnya terparkir. Namun sialnya Leonor, ban mobilnya pecah. “Aaaaaaaa! Kenapa hari ini gue sialll terussss!” teriaknya kuat mengingat disana tidak ada siapa-siapa. “Mamaaaa! Kesel banget!” ucapnya kemudian melompat-lompat menginjak undangan dari mantan pacarnya. “Hehehehe.” Sampai terdengar suara kekehan, Leonor langsung menoleh dan mendapati Jerome sedang merekamnya. “Bapak ngapain disana? Sejak kapan?” “Sejak kamu kemasukan setan,” ucap Jerome memasukan ponselnya dalam saku. “Ban kamu bocor ‘kan? ayok saya antarkan.” Leonor masih diam. “Masuk, atau saya sebar video kerasukan kamu.” “Pak, jangan macam-macam deh sama saya.” “Masuk makannya,” ucap Jerome. Leonor sudah lelah melakukan perlawanan, batinnya tersiksa juga dengan kenyataan Satria yang akan menikah. Jadi masuk saja ke mobil ferarri milik Jerome. Wahhh, dia sepertinya orang kaya. Dalam perjalanan pun, Leonor diam saja karena dia benar-benar sedang sedih. Sampai dia sadar… “Pak, rumah saya belok ke sana. kok bapak gak nanya sih? salah jalan ini.” “Gak salah jalan, emang mau ke apartemen saya.” “Mau apa?” Leonor langsung panic.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD