Ch-2 Who are you?

1291 Words
"Apaan sih cowok tengik itu? Kurang kerjaan!" Dumel Melisa karena berulang kali melihat Leebin melepaskan tawanya ketika bertemu tatap dengan dirinya. Leebin masih berdiri di belakang kerumunan mahasiswa. Pria itu membenamkan wajahnya ke dalam topinya. "Panas! Kapan sih mereka bubar?" Gumam Leebin. Bertanya-tanya sambil menatap arloji di pergelangan tangan kanannya. "Woiiii! Buruan gantian wooi!" Teriak pria itu ke arah mahasiswa yang masih tetap berjubel tanpa perduli cuaca hari itu begitu terik, seraya menutupi kedua pipinya. Beberapa orang mendengar teriakannya, yang bagian depan dan telah puas melihat papan pengumuman mulai bergeser ke belakang, berganti dengan mahasiswa lainnya yang ingin melihat papan pengumuman di sana. "Dari tadi kek, gitu!" Leebin cemberut sambil membetulkan letak tas ransel miliknya di bahu kanannya. Mulai maju menerobos kerumunan manusia di depannya, kini hanya tinggal setengah dari sebelumnya. Dia tidak kesulitan menuju ke depan. Selangkah lagi dia mencapai papan pengumuman. "Woiiii! Jangan dorong! Wooii! Kampret sial.. lan!" Berteriak tanpa melihat siapa yang sedang mendorong punggungnya, hampir saja dia terjungkal ke depan mencium tong sampah. Untung saja dia berpegangan pada tiang besi papan pengumuman tersebut. Lalu menoleh ke belakang, melihat Melisa berlenggang kangkung dengan santainya menatap papan nama di depannya. Gadis itu menyibakkan rambut panjangnya ke belakang. Dia mengenakan kaca mata hitamnya, masih meneliti papan pengumuman di depan matanya. Leebin mengerjapkan matanya berkali-kali, ternyata yang mendorong punggungnya adalah Melisa. "Niat banget mau balas dendam." Dumel pria itu seraya berdiri tepat di sebelahnya. Cuek! Nggak peduli! Nggak mau tahu! "Kamu bawa bolpoin nggak?" Melisa bertanya pada mahasiswa dan mahasiswi di sebelahnya. Namun tak satupun dari mereka yang mau menyahut pertanyaan darinya. Lalu menoleh ke kiri, melihat pria dengan headset pada kedua telinganya. Leebin! Ragu-ragu gadis itu menyentuh lengannya dengan ujung jari telunjuknya. "Apa?!" Tanya Leebin sambil menoleh ke arah Melisa tanpa melepaskan headset pada lubang telinganya. "Bolpoin." Ucap Melisa sambil menadahkan tangan kanannya. Leebin menggelengkan kepalanya, mengabaikan Melisa lalu kembali melanjutkan untuk mencari namanya di kertas pengumuman. "Dasar pria menyebalkan!!" Gumam Melisa sambil menarik headset dari satu telinga Leebin. "Bolpoiiiinnn!" Melisa berteriak hingga membuat telinga Leebin berdengung "Kamu ini! Bikin kupingku budeg! Dasar cewek bar bar!" Melotot sambil mengorek lubang telinga kanannya. Lalu memberikan bolpoin dari saku bajunya pada wanita itu. Sudah terbiasa terintimidasi oleh pria di sebelahnya, ucapan Leebin barusan dianggap angin lalu oleh wanita tersebut. Melisa mencatat beberapa nilai temannya ke dalam note kecil yang dia bawa. Setelah selesai dia menoleh ke kiri untuk mengembalikan bolpoin Leebin yang masih di dalam genggaman tangannya. Bolpoin dengan lukisan bunga lavender. Juga tertera nama pria itu di sana. Lalebinlubin. Dia melihat ke sekitar, ternyata pria itu telah pergi. Melisa melihat punggung Leebin. Pria itu telah keluar dari kerumunan manusia di sekitarnya. Melisa segera melangkah pergi untuk mengejar. "Leebin! Leebiiiiiiinnnnnn!" Teriakan keras gadis itu tak didengar olehnya. Leebin sudah meluncur pergi dengan motor sportnya keluar dari halaman kampus. "Dasar! Budeg! Dahlah aku bawa saja dulu." Umpat Melisa, dia masih menggenggam bolpoin milik pria itu, kemudian dia masukkan ke dalam tasnya. Gadis itu berniat pulang, setelah mendapatkan catatan dari papan pengumuman. Dia melangkah menuju ke parkiran mobil di halaman kampus. "Hai Mel?" Sapa Riki Yanuar teman satu kelasnya. Pria itu juga berniat pulang, melihat primadona kampus bibirnya gatal jika tidak menyapa. Melisa hanya mengukir senyum untuk menjawab sapaan pria tersebut. "Ck! Cantik sih! Tapi sayang! Sombong banget!" Gumam Riki tanpa memelankan suaranya. Melisa mendengar semuanya tapi gadis itu dengan sengaja pura-pura tidak mendengar. Pikirnya tidak ada untungnya meladeni pria tersebut. Melisa masuk ke dalam mobilnya, dia ingin segera sampai di rumah. Di perempatan jalan kecil, yang kebetulan dia lalui setiap pulang ke rumah. Tanpa sengaja dia melihat warung di seberang jalan. Warung kecil dengan atap daun tebu. Dia melihat seseorang yang tidak asing. Pria menyebalkan itu sedang menikmati rokoknya, dengan secangkir kopi di atas meja. Melisa segera menepikan mobilnya. Saat hendak turun dia melihat ada sekitar lima anak-anak kecil berlarian mendekat ke arah Leebin, anak-anak itu adalah pengamen jalanan. Mereka putus sekolah karena terbentur biaya. "Siang Om cakep! Tumben telat om hari ini?" Tanya Aldi salah satu anak didiknya. "Ada acara di kampus." Sahut pria itu sambil tersenyum menatap wajah lima orang anak yang berdiri mengelilinginya. Leebin segera berdiri, pria itu mengambil beberapa buku dari dalam tasnya. Kemudian dibagikan pada anak-anak di sana. Leebin meminta ijin pada pemilik warung untuk memberikan materi pada anak-anak tersebut di sebelah warung. Dengan senang hati pemilik warung memberikan ijin padanya. Tidak banyak, hanya lima orang anak yang menjadi anak didiknya di sana. Melisa menurunkan sedikit kaca jendela mobilnya, dia tersenyum menatap pria arogan dengan daun telinga bertindik itu, ternyata begitu akrab bersama anak-anak di kampung. Leebin tanpa sengaja melihat mobil Melisa, dia segera meletakkan bukunya di atas meja. "Kalian lanjutkan dulu ya? Om ada keperluan sedikit. Sebentar kok, nggak lama." Pamitnya pada anak-anak di sana. Melihat Leebin menuju ke arahnya Melisa buru-buru menaikkan kaca jendela mobilnya. "Tok! Tok! Tok!" Leebin mengetuk pintu kaca mobilnya. Ragu-ragu Melisa menurunkan kaca jendela mobilnya kembali. "Nguntitin aku ya?" Tanya Leebin dengan bibir tersenyum lebar. Pria tersebut meletakkan dua lengannya di jendela mobil Melisa yang terbuka. "Nggak! Emang aku kurang kerjaan apa?" Elak Melisa sambil cemberut. Dia baru ingat kalau membawa bolpoin miliknya. "Aku cuma mau balikin ini." Menyerahkan bolpoin milik pria itu kembali padanya. "Ah! Kirain!" Leebin tersenyum mengambil bolpoin tersebut dari tangan Melisa. Tapi Melisa menggenggamnya erat sekali dengan kedua tangannya, sepertinya dia enggan mengembalikan bolpoin bergambar lavender itu kepada pemiliknya. Leebin mengerjapkan matanya karena menarik bolpoin seperti menarik besi. "Kamu ikhlas nggak sih balikin?" Tanya pria itu dengan mata mengerjap berulang kali. Dia melepaskan bolpoin miliknya tidak jadi mengambilnya dari tangan Melisa. "Ikhlas kok! Tapi lain kali saja! Bye!" Menaikkan kaca mobilnya lalu menyalakan mesin mobilnya dan berlalu dari hadapan pria itu. Leebin menggembungkan pipinya menahan tawa, dia masih berkacak pinggang di tepi jalan. Menatap mobil Melisa yang sudah menjauh dari hadapannya. Melisa melambaikan tangannya keluar jendela mobilnya, gadis itu masih melihat pria menyebalkan itu melalui spion mobil miliknya, pria senewen yang tadi pagi telah merenggut ciuman pertama miliknya! "Dasar Penyihir!" Gumam Leebin sambil terkekeh geli mengingat betapa eratnya gadis itu memegangi bolpoin miliknya. "Oooom! Buruan!" Teriak Aldi padanya. "Iya, oke! Kita mulai lagi belajarnya." Sahutnya sambil berbalik, berlari kecil menuju anak-anak yang masih membaca buku pemberian darinya. Leebin memberikan materi gratis sekitar dua jam untuk anak-anak di kampung tersebut. Setelah selesai mereka kembali berkemas. "Om? Makasih ya, sudah mau ngajarin kita cara berhitung, dan membaca?" Ucap Inala salah satu anak didiknya yang masih berusia delapan tahun. Leebin tersenyum sambil mengusap kepalanya. "Oke! Inala, harus rajin-rajin belajar ya di rumah? Biar om semangat buat ngajarin kalian." Seru Leebin seraya melebarkan senyumnya pada lima orang anak di sana. "Siaaap! Om! Tossss!" Aldi beserta kawan-kawan berjabat tangan dengan pria muda tersebut sebelum pergi. Kelima anak itu telah berlalu dari hadapannya. Sang pemilik warung ternyata sejak tadi melihat pria itu sedang mengajar di sana. "Mas, kok mau sih buang-buang waktu buat ngajarin anak-anak gelandangan?" Tanyanya karena bingung, dia melihat Leebin beberapa waktu lalu turun dari mobil mewah bersama beberapa orang. Wanita paruh baya berparas molek. Dan juga pria paruh baya. Pemilik warung mengira itu adalah orang tua kandungnya. Namun ternyata pria itu malah lebih sering menghabiskan waktunya bersama anak-anak kecil di kampung tersebut. "Karena aku kesepian. Dan aku dulu pernah menjadi bagian salah satu dari mereka." Begitu jawab pria tersebut sambil menyeringai lebar, kemudian menenteng tas ranselnya kembali di atas bahu kanannya, kalau menyodorkan sejumlah uang untuk biaya kopinya. "Kebanyakan mas," teriak pemilik warung tersebut padanya. "Biar saja, sekalian buat sewa tempat ya pak!" Serunya seraya memakai topinya, kemudian helmnya. Pria itu melambaikan tangannya dan berlalu dari depan warung tersebut. Apakah yang mengantarkan Leebin dengan mobil mewah itu adalah orang tuanya? Kenapa pria itu bilang kalau dia pernah menjadi bagian dari anak jalanan? Sebenarnya darimana asal-usul pria dengan daun telinga bertindik tersebut?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD