Jakarta, 2003
“Di mana ibumu?”
Perhatian Aura langsung teralihkan dari boneka. Dia menatap Ardiaz dengan mulut membuka, kemudian mata mulai berkaca-kaca. “Mama, mama ...” Pada akhirnya kalimat Aura tidak selesai. Dia terisak lirih, teringat lagi kejadian pahit yang dia alami dua minggu terakhir.
“Jangan menangis, gadis cengeng!”
“Tapi, mama ... udah nggak ada ...”
“Oh, kabur? Mati?”
Seketika isakan terhenti. Berkedip satu kali, air mata jatuh ke pipi. Aura menatap Diaz lekat, sesekali dia cegukan karena menahan tangis. “Jahat,” lirih Aura tanpa memutus kontak mata. Ini pertama kalinya mereka bicara setelah tinggal bersama. Sebelum-sebelumnya Diaz mengabaikan Aura. Untuk alasan yang tidak diketahui, Diaz begitu sinis bahkan ketika tidak sengaja bertatapan dengan Aura. “Kakak jahat ...”
“Dengar, aku bukan kakakmu. Hanya karena kau anak dad, bukan berarti kita pantas jadi adik-kakak.” Semua kalimat pedas terlontar tanpa ekspresi yang berarti. Diaz bahkan mengintimidasi Aura, tetapi anak kecil tahu apa tentang intimidasi? “Kau boleh senang karena berhasil merebut perhatian orang tuaku, tapi tidak denganku. Ingat ini.”
“A-aku bukan anak dad, a-aku puny–”
“Oh, kau anak dari wanita jahat itu? Pantas saja.”
“Mamaku bukan wanita jah–”
“Menjauh dariku! Wajahmu jelek, menyakiti mata!” sinis Diaz. Dia beranjak pergi, meninggalkan Aura yang terguncang setelah mendengar pengusiran sekaligus ejekkan. Belum kering air mata yang tadi, kini bertambah dengan air mata baru. Aura sangat syok, dia belum pernah mendengar kalimat sejahat itu.
Tidak ingin dilihat oleh Mommy Asmaya lalu berujung membuat beliau cemas, Aura yang sedari tadi di ruang bermain langsung berlari menuju kamar. Meninggalkan bonekanya yang tergeletak begitu saja di lantai. Dia masuk ke dalam selimut kemudian menangis sejadi-jadinya. Wajar anak-anak menangis saat diejek. Apa lagi ejekan itu berasal dari seseorang yang dipandang penuh minat sejak pertama kali bertatapan.
Padahal beberapa hari ini Aura berusaha memberanikan diri untuk memulai pertemanan dengan kakak angkatnya. Namun, sampai sekarang masih belum ada pergerakan. Sekalinya Diaz yang lebih dulu memulai pembicaraan, semuanya malah berakhir berantakan karena dia melontarkan kata-kata jahat. Aura sedih sekaligus marah, tetapi tidak berani menegur Diaz. Mereka belum terlalu mengenal, terlebih Diaz jauh lebih tua. Ajaran mama dan papa yang selalu Aura ingat adalah untuk bersikap sopan dan menghormati orang yang lebih tua.
Karena terlalu banyak menangis, Aura yang kelelahan jatuh tertidur selama dua jam lebih. Dia terbangun saat merasa usapan di pipi. Mengerjap-erjap beberapa kali untuk memperjelas penglihatan, didapatinya Mommy Asmaya tersenyum lembut, mencubit puncak hidung Aura sambil berkata, “Mandi, yuk! Bentar lagi dad pulang, malam ini kita sekeluarga makan di luar.”
“Makan di luar?”
“Iya. Karena masih belum bisa kembali sekolah, Aura pasti bosen di rumah terus. Makanya Mom inisiatif ajak ke luar, eh ternyata dad langsung setuju. Malah katanya akhir pekan nanti kita ke taman bermain terus main sepuasnya. Sampai Aura happy, sampai balik ceria lagi. Aura lebih cantik kalau senyum. Kedepannya Mom pengin lihat lebih banyak senyum di wajah Aura.”
Lama dia terdiam, lalu lamat-lamat menganggukkan kepala. Meski tidak sepenuhnya antusias, tetapi Aura tidak sabar ingin melihat suasana luar. Segera dia bangkit, menyambut uluran tangan Mommy Asmaya. Aura kemudian dituntun turun dari ranjang, menuju kamar mandi sesaat setelah pakaian yang akan dia kenakan nanti ditaruh di tepi ranjang. Mommy Asmaya hanya bantu menyiapkan handuk, menyalakan shower, meletakkan sabun di tempat yang mudah Aura jangkau. Sisanya Aura lakukan sendiri, mandi sampai badannya benar-benar bersih.
***
Sarapan akan dimulai sebentar lagi, tetapi belum ada tanda-tanda kemunculan Diaz. Biasanya pria itu datang lebih awal dibanding Aura, mengingat hari ini masih hari kerja. Untuk seseorang yang terbiasa disiplin waktu dan hampir tidak pernah terlambat, pemandangan kursi kosong adalah sesuatu yang janggal. Aura tentu saja dibuat keheranan.
“Kakak sudah berangkat?” tanya Aura di sela mengoles selai stroberi pada roti tawar.
“Masih tidur. Kecapekan jadi hari ini nggak masuk kantor.”
Punggung Aura otomatis menegak, dia menatap Asmaya dengan tatapan kaget. “Rencana hari ini gimana, Mom? Kalau kakak di rumah, aku sama Mbak Sisil nggak bakalan bisa pergi.” Tanpa sadar Aura menggigit bibir bawah, merasa cemas saat membayangkan apa yang dikhawatirkannya jadi nyata. Apa lagi kalau Diaz tahu alasan Aura keluar adalah membeli tiket konser. “Please, kali ini jangan gagal lagi. Aku udah nunggu dari lama.”
“Pasti jadi, percaya deh sama Mom. Kalau dia nggak kasih izin, biar Mom yang bicara.”
“Sarapan dulu, Ra. Dad udah selesai, kamu belum mulai-mulai,” sela Dennis. Setelah menandaskan air putih, Dennis mendorong kursi bersiap-siap beranjak dari meja makan. “Memang kamu segitu inginnya pergi ke konser BT12?”
Bibir Aura langsung mengerucut. “Bukan BT12, tapi BTS.”
“Ya, itu maksud Dad.”
“Pengin banget! Mumpung mereka konser di sini. Kalau ke Korea-nya langsung ‘kan jauh.”
“Ya sudah, untuk jaga-jaga nanti Dad minta tolong sekertaris Dad membelikan dua tiket. Soal bisa pergi atau tidaknya itu urusan nanti. Beberapa hari ini Diaz agak sensitif karena pekerjaannya menumpuk. Sudah pasti sulit mendapat izin dari manusia super protektif sepertinya. Kamu tahu sendiri, kalau dia berkehendak Dad dan mom juga kesulitan menangani. Makin ke sini tempramen anak itu makin buruk sekali.”
Bahu Aura terkulai lemas. Padahal dia sudah antusias, karena sekalian bisa pergi jalan-jalan menghilangkan suntuk setelah berjibaku mengerjakan tesis. Otak Aura butuh refreshing, dengan begitu tubuh dan pikirannya jadi lebih rileks. Refreshing juga bisa memberikan ide-ide baru dan meningkatkan kreatifitas. Dengan bepergian ke tempat baru dan bertemu orang-orang baru, Aura akan mendapat banyak inspirasi baru.
Sayang semuanya buyar hanya karena Diaz mendadak libur. Sungguh halangan yang di luar dugaan, padahal Aura dan Mbak Sisil sudah merencanakan ini dari jauh-jauh hari. Tawaran daddy-nya memang alternatif terbaik di situasi sekarang. Namun, Aura merasa tidak bersemangat untuk mengucapkan terima kasih.
“Kok masih cemberut, Sayang?”
“Masih nggak ikhlas rencana keluarnya batal, Mom.”
Dennis tertawa, lantas berdiri sambil mengusak-usak rambut Aura. “Kalau begitu coba saja bicara pada kakakmu. Siapa tahu dia memberi izin. Atau dia sekalian menawarkan diri menyetir mobil untuk kalian. Jalan pikirannya ‘kan susah ditebak. Misal benar-benar tidak berhasil baru kabari Dad. Biar tiketnya Dad belikan.”
“Ah, nggak mauuuuuu,” rengek Aura.
“Hei, kok nyerah duluan?” Asmaya tersenyum kecil melihat tingkah manja Aura. Umurnya 25, tetapi masih seperti remaja. Lucu sekali putri bungsunya. “Ayo dong berusaha. Naklukin dosen pembimbing aja bisa, masa kakaknya sendiri enggak?”
“Masalahnya Kak Diaz lebih galak dari dosen pembimbing. Ditatap dia aja aku udah gemetaran.”
“Nanti Mom bantu. Pembicaraan berakhir sampai sini, fokus aja sama sarapannya,” tutup Asmaya dengan sekali anggukan. Berusaha meyakinkan anaknya, meski kentara jelas Aura tidak yakin sama sekali. Satu-satunya yang tidak bisa Aura taklukkan di rumah ini hanya Ardiaz. Dari dulu sampai sekarang, kakaknya memang sulit dihadapi apa lagi didekati.
Akhirnya dengan wajah muram Aura menggigit roti, kemudian mengunyah lamat-lamat. Membuat sang daddy tertawa geli, bahkan setelah beranjak pergi dari ruang makan. Mereka selalu berpikir ketakutan Aura terhadap Diaz adalah sesuatu yang lucu, padahal Aura kesulitan karena hal itu.
***
“Mbak Sisil jangan ke mana-mana. Kalau aku lama keluarnya, tolong panggilin mom, ya? Itu tandanya aku butuh bantuan,” pesan Aura dengan raut serius. Kedua tangannya bahkan ikut bergerak-gerak, seolah turut menjelaskan betapa pentingnya hal tersebut. “Cuma dua puluh menit. Atau paling lama setengah jam.”
“Iya, Dek. Mbak nggak akan ke mana-mana.”
“Janji, lho. Di dalam nanti aku nggak bisa teriak. Kamar kakak ‘kan kedap suara.”
“Janji.”
“Bagus,” angguknya mantap. Setelah itu Aura menghadap pintu kamar Diaz, menarik dan mengembuskan napas berulangkali sampai gugupnya berkurang, baru setelah itu mengangkat tangan untuk mengetuk. Dalam hati dia komat-kamit berdoa semoga Diaz cukup bersahabat menyambutnya.
Tidak lama setelah itu pintu dirarik dari dalam. Hanya sedikit cela terbuka menampilkan sebagian wajah Diaz dengan rambut acak-acakan khas bangun tidur. Namun, dari semua itu Aura dibuat sedikit terpesona karena Diaz masih tampan bahkan di kondisi kucelnya. Ini sungguh tidak adil.
“Dek,” bisik Mbak Sisil, berusaha menyadarkan Aura dari lamunan. “Adek!”
Untungnya secuil kesadaran masih tersisa, hingga tidak lama kemudian Aura mengerjapkan mata sambil merutuk pelan. Merasa malu luar biasa saat memikirkan Diaz melihatnya melongo selama belasan detik tadi. Mungkin Diaz berpikir Aura adik yang aneh.
“A-aku,” kata Aura terbata karena ditatap intens dan datar di saat yang bersamaan. “A-ada yang mau aku bicarain. Boleh masuk?”
Awalnya tidak ada respon yang berarti, tetapi sedetik kemudian Diaz menyingkir setelah melebarkan daun pintu. Hanya satu kata yang dia ucap setelah Aura memberanikan diri untuk masuk, “Tutup.”
Sangat hemat dan ekonomis, seperti itulah Diaz bicara dengan Aura. Nadanya pun tidak pernah bersahabat. Kalau tidak sinis, memerintah, maka datar tanpa minat. Seolah kalau lembut sedikit saja, maka di tubuhnya tumbuh ruam sejenis alergi.
“Sebelumnya maaf kalau mengganggu tidur Kakak,” ucap Aura pelan. Jaraknya dengan Diaz cukup jauh, karena untuk mendekat Aura tidak berani kalau tidak dipersilakan. Ada pun kedua tangannya saling bertaut di depan, persis seperti bocah yang dihukum sambil menghapal perkalian. “Progres tesisku cukup bagus. Sebagai reward ke diri sendiri, aku minta izin sama mom dan dad untuk pergi ke konser BTS ditemani Mbak Sisil. Mereka udah ngizinin, cuma akan jadi sia-sia kalau Kakak nggak kasih izin. Jadi, maksudku ke sini mau minta izin sama Kakak, sekalian ngasih tau kalau siang ini mau ke luar beli tiket sama jalan-jalan sebentar.”
“Hanya segitu kemampuanmu tapi sudah berani memberi reward?” Diaz mendengkus pelan. “Aku tidak mengerti jalan pikiran mereka. Mungkin karena terlalu memanjakan, mereka selalu memenuhi keinginan-keinginan tidak bergunamu.”
Aura langsung menunduk. Maksud hati ingin tidak terdengar sombong dengan menambahkan kata ‘cukup’ sebelum ‘bagus’. Namun, pada akhirnya tetap tidak luput dari kritikan Diaz. “Aku ... udah lama nggak nonton konser.”
“Lantas?”
Kalimat singkat yang membuat Aura sedikit mencelos. “Beneran nggak bisa, ya?” tanyanya sekali lagi, dengan nada amat tidak bersemangat. “Aku nggak akan macam-macam. Ada Mbak Sisil yang ngawasin.”
“Tidak.”
Pupus sudah harapan Aura. Dengan tidak bersemangat dia mendongak, bermaksud pamit undur diri, “Kalau gitu aku–” Namun kalimat Aura terpotong kala melihat Diaz berdiri membelakangi, kemudian melepas kaosnya dengan cara yang paling jantan. Pemandangan punggung lembar membuat Aura mendadak kepanasan. Napasnya memburu tanpa alasan, apa lagi saat menatap tato di lengan kiri Diaz.
“Tidak pergi?”
“H-hah?”
“Linglung,” ejeknya, setelah itu beranjak menuju walk in closet.
***