Setelah kurang lebih satu jam di ruang dosen pembimbing, sekarang Aura ke luar dengan senyum yang terlampau cerah. Menghampiri Mbak Sisil yang setia menunggu di bangku tidak jauh dari pintu. Gugup dan rasa khawatir yang dia pikul di awal telah lenyap tak bersisa. Itu tandanya di dalam tadi, semua berjalan lancar sampai Aura tidak berhenti nyengir.
“Jadi ... apa hasilnya?”
“Lanjut ke bab lima, yeay!” serunya tanpa tahu kondisi. Membuat Mbak Sisil menatap tidak enak pada beberapa orang yang lalu-lalang, pasalnya beberapa dari mereka sempat kaget karena tindakan Aura. “Aku hebat, kan? Katanya di antara teman-teman lain, progresku yang paling cepet. Kalau sampai akhir kayak gini, kemungkinan aku sidang duluan, Mbak!”
“Puji Tuhan, Mbak ikut seneng dengernya. Adek hebat banget.”
“Makasiiiiihhh.” Setelah itu Aura merangkul Mbak Sisil dan tas laptop turut berpindah ke tangan wanita itu. Karena tidak ada lagi keperluan di kampus, Aura mengajak Mbak Sisil makan siang di resto depan dengan iming-iming traktiran. Sebagai bentuk perayaan kecil atas hasil kerja kerasnya yang berbuah manis. “Mbak boleh pesan apa pun! Soalnya dad kasih uang jajan dua kali lipat dari bulan kemarin. Tapi, jangan kasih tau kakak soal ini. Nanti aku dimarahi karena terlalu boros.”
“Nggak janji bisa jaga rahasia, soalnya kakak serem, Dek. Kalau nanya-nanya, Mbak berasa jadi tersangka kasus penipuan. Tatapan kakak tajam banget. Apa lagi beliau nggak mudah dibohongi.”
“Mbak Sisil nggak asik! Tau gitu aku nggak akan kasih tau soal uang jajan.”
Mbak Sisil tertawa kecil. “Berdoa saja semoga kakak nggak nanya. Biar sama-sama aman kitanya.”
“Oh, bener juga. Ya udah sekarang aku berdoa.”
Melihat Aura menutup mata lalu menangkup kedua tangan di depan dadaa membuat Mbak Sisil geleng-geleng kepala. Merasa geli sekaligus heran karena bisa-bisanya menurut pada apa yang diucapkannya. Padahal itu hanya sekadar omongan, yang syukur kalau benar-benar dikabulkan. Namun, tidak menyangka kalau Aura serius menanggapinya.
Bungsu keluarga Dwight memang benda. Cover tidak sama dengan isi dalamnya. Dari wajah, bentuk tubuh serta tinggi badan, Aura tampak seperti wanita dewasa yang anggun terkendali. Tapi siapa sangka sifatnya tidak ubah dari remaja manja. Suka merengek, selalu bergantung, lemah lembut, dan polos.
Bertahun-tahun bekerja melayani Aura membuat Mbak Sisil hampir tahu sisi luar-dalamnya. Kedekatan yang terjalin di antara mereka juga murni dan apa adanya. Aura tipe yang memandang baik semua orang di sekitarnya. Tidak perduli pada latar belakang, fisik dan kondisi ekonomi. Hanya saja punya kakak seperti Diaz membuat Aura seakan terlihat selektif dan pemilih. Diaz terlalu membatasi pertemanan adiknya, hingga Aura yang tidak pandai bergaul makin terisolasi dari dunia pertemanan.
Sebenarnya hubungan Aura dan Diaz itu cukup unik. Mereka terlihat tidak akur, tetapi ketika di luar Diaz menunjukkan seluruh perhatiannya pada Aura. Seakan-akan Diaz orang yang hangat, padahal dingin dan cenderung tidak bersimpati. Tampak membenci, padahal tidak sama sekali. Dibilang lembut juga tidak. Intinya unik. Mbak Sisil selalu dibuat berpikir keras setiap melihat interaksi mereka. Berusaha memahami makna perlakuan Diaz, tetapi gagal menemukan maksudnya.
Namun, satu hal yang pasti, saat Aura mengalami kesulitan, selalu Diaz jadi orang pertama yang paling khawatir, mencari, sekaligus menemukan. Entahlah, itu sesuatu yang menakjubkan. Seolah-olah Diaz punya alarm tanda bahaya akan Aura. Dia punya insting kuat yang diperuntukkan hanya untuk satu orang.
“Mbak? Kok, ngelamun?”
Lekas Mbak Sisil mengerjap saat menyadari Aura melambaikan telapak tangan tepat di depan wajahnya. Kening Aura sampai mengerut saking herannya melihat Mbak Sisil tiba-tiba tidak fokus. “Maaf, tadi ada yang Mbak pikirin. Adek nanya apa? Mbak nggak denger.”
“Nggak jadi, aku laper. Yuk, nyeberang!”
Mengetahui kalau mereka sudah di depan kampus membuat Mbak Sisil sedikit kaget. Berarti sejak tadi dia berjalan dalam kondisi setengah sadar. Pikirannya ke mana-mana dan Aura yang menuntunnya setelah selesai berdoa. Itu berarti sudah bermenit-menit lamanya Mbak Sisil tidak menyimak apa yang dibicarakan perempuan di sebelahnya. Untungnya Aura tidak mudah mempersoalkan sesuatu, jadi dia tidak membahas lebih jauh alasan dari ketidakfokusan Mbak Sisil.
“Aku mau ayam geprek yang lebih pedas dari biasanya. Mbak jangan larang.”
“Kalau gitu, Mbak juga nggak mau bantu misal Adek sakit perut.”
“Eeh, kok gitu, sih?”
“Konsekuensi dari permintaannya.”
Bibir Aura otomatis mengerucut. “Iya deh, yang biasa aja.”
“Itu lebih aman,” ujar Mbak Sisil penuh kemenangan.
***
Suasana makan malam kali ini agak dingin dibanding biasa, pasalnya Dennis dan Asmaya tidak ada. Mereka menghadiri jamuan bisnis sejak pukul lima sore dan belum pulang sampai sekarang. Di meja hanya ada Aura dan Diaz, sementara Mbak Sisil punya meja sendiri bersama pekerja lain.
Selama mengunyah, Aura curi-curi pandang ke arah kakaknya. Ingin mencairkan suasana dengan memulai obrolan, tapi apa yang diobrolkan? Diaz tidak suka basa-basi sementara di kepala Aura cuma ada topik yang basi. Kemampuannya benar-benar buruk kalau soal memulai pembicaraan dengan Diaz.
Menit demi menit berlalu, Aura masih tidak menemukan alasan sampai makannya selesai. Sekali lagi Aura melirik Diaz, kemudian mendadak dapat ide saat melihat gelas kosong kakaknya. Diaz butuh air dan Aura dengan sigap menawarkan bantuan. Semoga saja niatnya disambut baik.
“Mau aku tuangin?” tanya Aura tiba-tiba.
Diaz sedikit mendongak, menatap tepat di mata Aura sebelum kemudian mendorong gelasnya ke depan. Respon yang amat cuek, tapi Aura sudah cukup senang karena ditanggapi. Mumpung Diaz tidak sensi, Aura harus melakukannya sebaik mungkin dan jangan sampai membuat kesalahan.
Setelah menggeser kursi, Aura berdiri sedikit condong sambil memegang teko. Perlahan-lahan air yang dituang berpindah ke gelas Diaz, sampai dirasa cukup baru Aura berhenti menuang. Untunglah tidak tumpah. Aura lega dirinya tidak ceroboh. “Udah selesai. Kalau butuh lagi, jangan sungkan bilang.”
Alih-alih berterimakasih, Diaz justru mengatakan, “Sudah lama kau tidak melapor sejauh mana perkembangan tesis yang kau kerjakan. Selesai makan, pergi ke kamarku bawa serta laptop. Aku akan memeriksanya.”
“Semuanya lancar! Dosen bilang aku termasuk cepat, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Bunyi sendok diletakkan di piring membuat Aura menelan ludah gugup, itu semacam alarm kalau seharusnya Aura tidak boleh menolak apa pun perintah Diaz. Apa lagi jika berhubungan dengan pendidikkannya. Dari SMA sampai sekarang, Diaz selalu meluangkan waktu untuk mengajari Aura di sela jam sibuknya. Namun, Aura tidak suka dengan cara mengajar Diaz. Kupingnya sering sakit saking banyaknya mendengar kalimat pedas. Alih-alih mengerti, yang ada Aura sering tertekan.
Pernah sekali dia membolos satu malam dengan alasan ketiduran, lalu besok paginya Diaz membentak Aura sampai menangis. Kata-kata yang Diaz ucapkan terlalu kasar, sampai sekarang pun Aura sulit lupa karena saking melekatnya di kepala.
“Sudah berani belajar berbohong sekarang? Lalu besoknya apa? Menipu orang tua yang membesarkanmu, lalu membolos sekolah bersama remaja liar lain? Dasar anak tidak tahu terima kasih!”
Mengingatnya kembali membuat Aura agak sesak. Bagian tidak tahu terima kasih seolah ditekan, membuat Aura selalu terfokus pada kalimat itu. Diaz tidak pernah berpikir saat bicara pada Aura, tetapi Aura selalu memikirkan kalimat yang dia terima. Sebab lewat itu semua dia harus sadar diri dan sadar posisi. Sejak saat itu juga Aura tidak berani membuat alasan untuk mangkir dari lesnya.
“Sudah merasa hebat sekarang? Jangan puas diri hanya karena pujian kecil. Otakmu cepat meledak kalau terlalu besar.”
“A-aku ...” Untuk sesaat Aura kehilangan kosa kata, lalu dengan lunglai melanjutkan, “Terima kasih makanannya. Aku udah selesai, sekarang mau ke kamar siap-siap.”
***
Jakarta, 2012
Cuaca terlalu terik, membuat siapa pun yang beraktivitas di luar merasa haus dan berkeringat. Tidak terkecuali Aura yang menunggu jemputan di halte depan sekolah. Rambutnya lepek dan seragamnya terasa agak lengket. Setiba di rumah nanti Aura ingin mandi berlama-lama di bawah pancuran air dingin. Pasti rasanya segar sekali.
Kipas elektrik yang selalu dia bawa ke sekolah tidak berefek apa-apa, masalah dirasa makin kompleks saat mengetahui air di dalam tumblernya habis. Padahal Aura masih haus-hausnya. Ingin pergi ke koperasi tapi terlalu malas untuk bergerak, alhasil dia hanya duduk melihat jalan sambil menghela napas berulangkali.
Beberapa menit berlalu dia hampir bosan menunggu. Namun, semuanya mendadak tidak lagi saat tiga cowok datang menghampiri. Aura kenal mereka, kakak kelas yang dianggap most wanted oleh anak kelas sepuluh dan sebelas. Mereka memang tampan, Aura mengakuinya. Hanya saja dia tidak tertarik dengan hubungan romantis. Dia ingin fokus belajar, lalu dapat nilai memuaskan supaya bisa diperlihatkan pada kakaknya.
“Hei, lagi sibuk?”
Aura mengernyit mendengar pertanyaan itu. Sedikit tidak menyangka karena diajak bicara. “Enggak. Ini lagi nunggu jemputan.”
Dua orang sontak bersiul, sementara si penanya tersenyum tipis. Tidak lama setelah itu, dia mengulurkan tangan pada Aura. “Gue Jeremy. Lo Aura anak sepuluh IPS, kan?”
“Iya. Kenapa, Kak?”
“Mau ngasih sesuatu,” katanya. Dua temannya undur diri, kini tersisa Jeremy dan Aura saja. “Gue udah lama tau lo, cuma baru sekarang berani nyamperin. Ternyata dari deket jauh lebih cantik, ya.”
“Eh?”
Belum sembuh dari rasa kaget, tiba-tiba Aura disodorkan buket coklat dengan amplop kecil terselip di tengah-tengahnya. Agak lepek karena ditaruh dalam tas. “Bukanya di rumah aja, kalau sekarang gue yang malu.” Jeremy tersenyum lebar, setelah itu dia mundur selangkah. “Tolong ingat nama gue. Ke depannya kita bakal sering ketemu.”
Tanpa mendengar respon Aura, Jeremy berbalik pergi menyusul teman-temannya. Sesekali dia menoleh hanya untuk sekadar melambaikan tangan. Aura sungguh bingung, tetapi dia membalas demi kesopanan.
Setelah tidak terlihat lagi, Aura kini menatap buket kecil di tangannya. Di sana ada empat cokelat batang dengan rasa yang berbeda, berjejer rapi berbalut pita-pita. Entah apa maksud Jeremy, tapi Aura cukup senang menerima hadiah ini.
Secara tidak sadar Aura tersenyum melihatnya, tetapi senyum itu sirna saat tiba-tiba terdengar bunyi klakson begitu menggema. Membuat Aura terperanjat dari tempat duduknya, kemudian mendongak untuk melihat ke arah sumber suara.
Tepat di sisi mobil yang terparkir tidak jauh dari hadapan Aura, Diaz berdiri dengan tatapan yang sulit dibaca. Sebelah tangannya terlihat mengepal, kemudian bibir mengatup tak bercela. Entah kenapa Aura jadi gugup melihat kakaknya.
Saat memutuskan untuk menghampiri, Aura kaget sambutan pertama yang dia dapat adalah Diaz merebut buket coklatnya secara paksa, lalu membuangnya secara keji. Selanjutnya Diaz berkata, “Ini alasan kenapa kau malas belajar? Bagus, mulai besok tidak usah pergi sekolah!”
***