Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00. Ben mengencangkan jaket kulitnya, berjalan cepat memasuki sebuah club malam yang bernama Happy Night yang terletak jauh dari pusat kota. Hampir setiap malam club itu dijejali oleh orang-orang yang haus akan hiburan, atau hanya sekedar hobi, bahkan tak sedikit juga yang terpaksa bekerja di sana demi memenuhi hasrat yang lebih. Mirisnya, banyak para wanita terkadang beralasan mencari nafkah untuk sesuap nasi dengan mengencani p****************g. Pria dan wanita tak ada bedanya, semua berbaur dengan alasannya masing-masing. Termasuk pria bernama Noel Saputra pecinta club hiburan, bar dan semacamnya. Ia laki-laki yang jadi alasan mengapa Ben datang ke club ini.
Suasana club tampak ceria, penuh semangat dan gairah. Wanita-wanita seksi yang berparas cantik mendominasi club ini, mereka bagai barang pajangan yang siap dipilih oleh pembeli berkantung tebal. Di tengah kerumunan para pengunjung club, mata Ben langsung tertuju pada sosok laki-laki berbadan tinggi besar berkulit gelap, memakai kaos putih dan celana jins lengkap tali rantai yang menggantung di sakunya. Penampilan khas Noel di manapun ia berada masih belum berubah.
"Ben?" Noel baru menyadari Ben sudah berdiri di belakangnya. Ben melempar senyum miring pada Noel.
"Hei, lama tak berjumpa, Bung!" Tangan Noel dan Ben saling menjabat erat. Mereka memang jarang bertemu kecuali di situasi genting atau waktu-waktu tertentu bilamana salah satunya butuh bantuan.
"Apa kabar, pecinta gadis liar," jawab Ben, mengencangkan jabatan tangannya lalu memeluk bahu Noel sebentar.
Noel tergelak. Ben memang selalu begitu, suka menyindir dengan gayanya yang tampak serius. Siapa yang tidak mengenal Ben si dingin dan kaku. Noel bahkan hampir tak percaya saat Ben mengatakan bahwa ia masih menikmati kesendirian.
***
Ben dan Noel melanjutkan perbincangan, mereka memilih sudut ruang kosong paling sudut agar tidak terlalu mencolok di tengah keramaian. Pada dasarnya, Ben tidak begitu menyukai dunia malam, bar, kafe, club-club hiburan dan sejenisnya bukan tempat yang cocok ia jambangi dalam kondisi apapun. Lain dengan Noel yang memang terbiasa di tempat-tempat seperti ini.
"Apa yang terjadi?" Noel menghempaskan bokongnya dan bertanya tanpa basa-basi. Ia tahu Ben datang bukan hanya tuk cari hiburan. Mencari Noel, itu berarti ia ingin memerintah. Dan ia harus siap membantu sahabatnya itu dalam kasus apapun.
Ben menenggak minuman nonalkoholnya yang belum lama diantar oleh waiters cantik dan seksi. Ia mendadak haus saat ini sampai menenggak habis minumannya.
"Tidak terlalu rumit, saya butuh informasi mengenai seseorang. Dan saya pikir, kau orang yang tepat untuk memata-matainya," ucap Ben, ia menatap lekat wajah Noel yang memiliki tulang pipi agak menonjol dan hidung yang besar.
Noel memperbaiki posisi duduknya. Jadi mata-mata bukan tugas rumit bagi Noel. Itu keahliannya. Sudah banyak kasus yang ia jalani sebagai mata-mata profesional. Noel sama sekali tak keberatan bila yang memerintahnya seseorang seperti Ben. Si pembunuh bayaran berdarah dingin.
"Jadi, siapa orang itu?" tanya Noel, memasang tampang serius.
"Sam."
"Samuel?" ulang Noel tak percaya.
"Simpan keterkejutanmu itu nanti. Ini baru tahap awal. Bisa jadi ada kejutan lainnya setelah ini." Ben cukup yakin dengan ucapannya.
Noel tak berkomentar apapun lagi. Ia tak menyangka akan memata-matai teman sendiri. Yang Noel tahu, Sam adalah salah satu tim paling solid. Terkadang, Sam jauh lebih hangat ketimbang Ben. Rasa penasaran itu membuatnya terus berpikir, memikirkan kemungkinan Sam akan memusuhi jika tahu ia diam-diam menyelidiki seakan menganggap dirinya seorang musuh.
"Tunggu sebentar." Tiba-tiba Noel bersuara, matanya menatap dalam mata Ben.
"Apa Sam telah melakukan sesuatu? Maksudku, kenapa dia harus dimata-matai? Ini nggak benar, Ben." Suara Noel melemah diakhir kalimatnya.
Ben tahu, Noel tak ingin membuat jarak dengan Sam. Tapi tak ada cara lain, Ben percaya Noel tidak akan gagal dalam hal ini.
"Saya hanya ingin memastikan, bahwa persahabatan di antara kita tidak bernoda," sinis Ben mengatakannya.
Mendengar itu, Noel tersadar akan kata-kata Ben yang sering ia lontarkan. Terkadang, bahaya datang berasal dari orang-orang yang kita sayang.
“Apa menurutmu dia berkhianat?”
Ben mengangkat bahu. Kemudian ia menjelaskan bahwa Sam masih ada hubungan kekerabatan dengan Leo. Ben baru menyadari setelah menelusuri silsilah keluarga ketua mafia itu. Dan Sam bagian dari mereka.
Noel tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya, ia sama sekali tidak mengetahui hal ini. Semenjak mengenal Sam, temannya itu tak sedikitpun menyinggung tentang Leo dan pasukan mafianya.
“Aku rasa tidak ada salahnya kita menyelidiki Sam lebih dalam,” ucap Noel pada akhirnya.
***
Noel Armando, tidak ada yang tidak mengenal laki-laki pecinta club malam itu. Ia hampir menghabiskan separuh waktu bersenang-senang di sana, di manapun tempat hiburan paling menghibur di kota mereka. Bahkan Noel dijuluki raja malam bagi sebagian wanita yang mengenalnya.
Sama seperti Ben, Noel tidak tertarik terikat menjalin hubungan dengan seorang gadis. Baginya cinta itu palsu sebab pengalaman pahitnya di masa lalu. Seorang gadis telah mencampakkannya hingga membuat Noel benar-benar terluka. Baginya, gadis-gadis di tempat hiburan lebih menyenangkan, mereka memberikan cinta jika dibayar. Bukankah itu realistis?
"Apa kau tertarik untuk memesan kamar malam ini?" tanya Noel, memamerkan gigi-gigi depannya yang tersusun rapi.
"Apa?" Ben tak mengerti. Kedua bahunya terangkat. Tapi ia baru sadar saat ujung mata Noel melirik seorang gadis berpakaian seksi.
Gadis itu tersenyum lebar, ia melangkah cepat menghampiri meja Ben dan Noel di sudut d ruangan diiringin hentakan-hentakan musik disko yang semakin menggila.
"Natalie?" Ben menyipitkan mata, ia tak menyangka akan bertemu wanita itu di sini. Bukankah ia sudah menikah dua tahun lalu dan ikut suaminya tinggal di Itali?
"Hi, Ben. How are you?" Natalie sudah merangkul leher Ben mesrah. Mengecup pipi Ben lembut lalu menghempaskan bokongnya di sofa. Ia merapatkan duduknya di sisi Ben hingga lengan mereka bersentuhan.
"Seperti yang kau lihat, tak ada yang perlu dicemaskan." Ben menjawab seperti biasa. Ia tidak merasa lebih baik setiap kali bertemu Natalie, tapi Ben tak pernah mengungkapnya. Natalie tak sekuat yang ia bayangkan. BenBen bisa melihat kerapuhan dalam diri wanita itu.
"Kau sendirian? Di mana suamimu?" tanya Ben tanpa basa-basi. Sejak tadi ia tak melihat siapapun yang mengawal Natalie seperti saat terakhir Ben bertemu dengannya. Seorang laki-laki berotot besar seakan tak ingin jauh dari Natalie meski satu langkahpun.
Wanita berambut pirang bergelombang itu melihat ke arah Noel sekilas. Dan Noel paham apa yang harus ia lakukan.
"Hemm, sorry, sepertinya aku harus ke atas sebentar. Aku lupa untuk menemui seseorang di sana. Bersenang-senanglah, Kawan!" Noel menepuk bahu Ben, lalu beranjak dari duduknya.
Ben tidak menjawab, ia sudah paham bahwa Noel akan meninggalkannya dengan Natalie di sini. Dalam hati Ben mengutuk Noel karena sudah berlagak pengertian.
"Aku sudah cerai enam bulan lalu, laki-laki k*****t itu selingkuh." Akhirnya Natalie membuka cerita setelah punggung Noel menghilang di antara kerumunan yang sedang berjoget disko. “Aku sendiri tak menyangka akan secepat ini kembali hidup sendiri.”
Ben cukup mendengar dengan jelas perkataan Natalie, di antara hentakan musik. Ia sebenarnya tak begitu nyaman dengan suara bising, tapi tempat ini tak memberinya banyak pilihan. Di setiap sudut ruangan dipenuhi suara-suara musik yang terus mengusik. Ben berusaha jadi pendengar yang baik.
"Aku tak pernah menemukan laki-laki sebaik kamu, Ben. Aku rasa ... aku beruntung bisa bertemu denganmu lagi di sini."
Ben sudah tahu arah pembicaraannya. Natalie tak pernah bosan mengharapkan Ben. Ben sendiri bukan laki-laki senang mengumbar janji dan mempermainkan wanita, ia hidup tidak bertujuan untuk itu.
"Saya masih belum tertarik menjalin hubungan dengan siapapun, Natalie. Pekerjaan saya cukup banyak menyita waktu." Ben menatap Natalie lekat. Menyusuri garis wajah mulus gadis itu.
Pesona Natalie memang tak diragukan lagi, tak ada yang mampu menolak kecantikan wanita blasteran itu secuali Ben. Ben sendiri hampir tak percaya mengapa ia begitu menutup hati untuk wanita secantik Natalie.
Natalie memiliki mata besar yang indah dengan warna hazel memesona. Hidung mancung dan bibir tipis yang membuat para pria tergila-gila hanya dengan melihat bibirnya terbuka sedikit saja. Tidak hanya itu, tubuh Natalie berlekuk sempurna. Padat berisi menonjolkan keseksian yang tak dapat dibantah.
"Sial!" umpat Ben, segera membuang muka ke arah lain. Ia bukan tergoda melihat betapa cantiknya Natalie tapi justru ia membayangkan Nayla di hadapannya.
"Apa kau sudah memiliki kekasih, Ben?" kejar Natalie, penuh selidik. Matanya mengerjap-ngerjap.
"Tidak," jawab Ben cepat. "Bukannya sudah saya katakan saya belum berminat memiliki kekasih. Saya rasa kau tidak mendadak tuli untuk mengabaikan ucapan saya."
"Ucapanmu terlalu kasar, Ben. Bisa kau lebih lembut sedikit terhadap wanita?" Suara Natalie sedikit meninggi. Ia tak menyangka Ben masih bersikap dingin dan angkuh padanya.
"Sorry." Hanya itu yang Ben katakan. Membuat Natalie hampir putus asa.
Natalie terisak, ia tak mampu menyembunyikan kesedihannya kali ini. Di hadapan Ben ia tumpahkan semuanya. Ben agak ragu untuk menangkan wanita itu, tapi sebagai laki-laki rasanya tak pantas membuat seorang wanita meluncurkan air mata.
Beban di hati Natalie membuatnya tak berdaya. Wanita itu sudah terlalu banyak memeras rasa sakit. Tidak hanya hubungan asmara yang kerap membuatnya menderita, dalam keluarga pun ia hampir tak merasakan bahagia.
"Saya minta maaf bila kata-kata tadi melukai perasaanmu, Natalie." Ben menarik tubuh Natalie dalam dekapannya. Ben sadar tak seharusnya ia berkata demikian, bagaimanapun wanita itu adalah teman baginya.
Natalie terkejut apa yang Ben lakukan padanya. Tapi ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk merasakan kehangatan sikap Ben.
***