Bab. 11

2328 Words
Noel sudah mendengkur sejak beberapa jam lalu, meringkuk di sofa di ruang kerja Ben di rumahnya. Sedangkan Ben masih meneliti rekaman CCTV, barangkali ada sesuatu yang bisa ia lihat di sana. Namun kenyataannya, hasilnya tetap nihil. Ben semakin yakin, tidak ada orang yang bisa melakukan teknik menutup CCTV dengan sempurna selain Sam. Ben pernah memberitahu sahabatnya itu teknik-teknik rahasia.   Ben duduk di kursi, menyandarkan punggungnya dengan kedua tangan disilang dibelakang kepala. Dilihatnya ponsel di atas meja bergetar.   Nama Nayla tertera di sana, menghubungi Ben.   “Dave aku kangen,” ucap Nayla sepelan mungkin, setelah Ben menerima panggilannya. Suara gadis itu begitu lembut, membuat darah Ben berdesir.   “Gila, saya tak pernah seaneh ini sebelumnya”, rutuk Ben dalam hati.   “Dave?” Suara Nayla kembali terdengar. “Aku tahu kamu pasti dengerin aku, bisa kita ketemu besok? Ada hal penting yang mau aku omongin. Pliis!”   Hal penting? Ben seketika bertanya, “Perihal apa?”   “Aku nggak bisa ngomong di telepon, Dave. Apa besok kamu ada waktu?” ulang Nayla, ia sangat berharap bisa bertemu dengan Ben.   Ben bergumam dan memikirkan sesuatu. Diliriknya Noel yang masih pulas di sofa, sesekali pria itu terlihat menggeliat nikmat. “Baiklah.” Akhirnya Ben memutuskan.   “Kita bertemu di Kafe Cherry yah, jam sepuluh pagi. Aku tunggu di sana,” jelas Nayla, terdengar seperti bisik-bisik.   Ben mengerutkan dahi, tak biasanya gadis itu tidak seceria dan cerewet seperti biasanya. Seperti sedang ketakutan, tertekan dan semacamnya. “Kamu sedang ada masalah, Nay?” Ben merasa khawatir sekarang. “Katakan!”   “Eng-enggak, Dave. Oke, bye! See you tomorrow, Dave. I love you so much.” Nayla mematikan sambungan telepon tanpa menjelaskan apapun pada Ben.   Nayla? Ada apa dengan dia? Ben tampak berpikir keras. Entah kenapa ia merasa sangat khawatir, mungkinkah ada sesuatu yang membuat Nayla takut dan tertekan?   Ben ingin mengirimi Nayla pesan, namun segera ia urungkan. Ben berusaha memejamkan mata barang sejenak, berusaha terlelap meski hanya 30 menit, sayangnya ia masih tak bisa terpejam semenit saja.   Ugh! Ben mengusap wajahnya. Entah apa yang harus ia lakukan sekarang. Begitu banyak hal yang harus dikerjakan membuatnya sulit beristirahat dengan tenang. Kasus yang menimpanya saat ini berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya. Harusnya Ben membunuh Nayla, tapi kenyataannya gadis itu justru berhasil mencuri perhatiannya.   “Kau belum tidur?” Noel terbangun dari tidurnya, ia mengusap-usap mata. Dilihatnya Ben tampak kacau di kursinya. “Kau tampak kacau, Ben.”   “Saya baik-baik saja, Noel. Apa kau mau sarapan? Ini sudah pagi.” Ben beranjak dari duduknya, ia segera melangkah ke ruang dapur untuk memanggang roti.   “Aku menyukai apa pun yang bisa dimakan, Ben. Bahkan aku masih kuat meski tanpa sarapan.” Noel bangkit dari sofa dan menguap lebar-lebar. Agak terhuyung ia menuju kamar mandi. “Sepertinya aku mimpi basah,” ucap Noel sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi sambil memegangi bagian bawah celananya.   ***      CherryCafe masih sepi pengunjung, hanya beberapa orang yang datang lalu membungkus pesanan kemudian pergi. Dua pasang kekasih terlihat duduk menikmati menu kafe pagi ini, sementara Nayla masih sendiri menunggu Ben yang tak kunjung datang.   Sudah 30 menit dari waktu yang dijanjikan, Nayla berkali-kali menatap pintu masuk berharap Ben muncul di sana, dan melempar senyuman hangat seperti biasa setiap kali berjumpa dengannya. Nayla tidak banyak waktu, ia harus ke kampus setelah bertemu dengan Ben.   Seorang pelayan datang mengantarkan pesan Nayla, makanan kesukaannya yang hampir setiap kali datang ke kafe ini selalu memesan menu yang sama, Nachos dengan lumuran saus cabe super pedas di atasnya.   Aroma Nachos yang menggugah selera membuat Nayla melupakan Ben sejenak. Fokusnya tertuju pada makanan khas Meksiko yang sudah tersedia hadapannya. Nayla sangat jarang menemukan makanan tersebut di beberapa kafe yang pernah ia kunjungi, meskipun ada tapi rasanya tak seenak racikan CherryKafe yang memang menyuguhkan menu-menu dari berbagai negara yang sudah dimodifikasi sesuai selera pemesan.   Sudah dua potong Nachos berhasil masuk ke mulut Nayla, bibirnya dipenuhi saus cabe merah yang kemudian ia bersihkan dengan ujung lidah. Saat itulah Ben sudah berdiri di seberang meja.   “Ini masih pagi dan kamu makan makanan pedas, Baby?”   Nayla hampir tersedak saat melihat Ben menatapnya seperti seseorang yang tengah memergoki seorang pencuri. Sejurus Nayla meraih tisu di meja dan mengelap mulutnya dengan tisu. Ia memutar bola mata dan berkata ketus, “Kamu tau nggak sekarang jam berapa? Sudah mau jam sebelas, itu berarti udah siang, Dave. Aku lapar.”   “Nanti perutmu sakit, kami bisa makan makanan yang lain kan?” Ben menarik kursi dan mulai duduk di hadapan Nayla. Ia melihat wajah gadis itu memang sedang tak baik-baik saja. Nayla seperti kurang tidur, Ben bisa melihat lingkaran hitam di matanya.   “Jangan melihatku seperti itu, Dave. Aku bisa aja ganti menu, tapi kan sayang dong ntar yang ini nggak kemakan,” sungut Nayla, masih mencoba memasukkan potongan Nachos yang tersisa. “Kamu mau pesan apa?” tanyanya dengan mulut penuh.   Ben menatap wajah Nayla lekat. “Kamu seperti tidak makan selama sepuluh hari, Nay. Ceritakan semuanya atau saya akan pergi.” Seketika Ben berubah dingin dan serius, “Waktu saya tak banyak, ada pekerjaan yang harus saya selesaikan,” lanjut Ben tanpa basa-basi.   Sebelum berangkat, Ben berjanji pada Noel akan pergi sebentar. Tentu saja Noel tak tahu soal Nayla. Ben hanya mengatakan ada pertemuan penting.   “Kamu nggak makan?” tanya Nayla, memiringkan wajahnya menatap wajah Ben. Pria itu tampak kacau meski penampilannya dinilai rapi dan tampan seperti biasanya. Nay mengulum senyum, dan bicara seolah dia tidak keberatan Ben masih diam tanpa menginginkan apa pun. “Gak apa kalo kamu sudah kenyang, asal kamu tetap di sini. Sebentar lagi aku selesai.”   Ben mengangkat bahu. Tatapannya masih lekat menatap Nayla. Ia merindukan gadis itu namun saat ini bukan waktu yang tepat untuk berlama-lama. Mengingat markasnya sudah diserang tadi malam, ia merasa tak aman. Di mana dan kapan saja p*********n itu bisa datang kembali.   “Sebaiknya kamu ceritakan sekarang, ada apa?” pinta Ben, tepat di saat Nayla memasukkan potongan terakhir makanannya. Melumatnya cepat-cepat dan menelannya.   “Biarkan aku menyelesaikan makanku dulu, Dave. Bisa sabaran gak, sih?” sewot Nayla, tangannya menyambar gelas minumnya. Tenggorokannya terasa sangat penuh sebab dipaksa menelan gumpalan makanan yang didorong air minum.   Ben berusaha menyembunyikan rasa gelinya melihat Nayla bersusah payah menelan makanannya. Gadis itu sama sekali tidak 'jaim', dan Ben menyukai kepolosan gadis itu. Nayla memang tidak seperti gadis-gadis yang ia temui, yang selalu menutupi siapa diri mereka sebenarnya.   ***        Piring di hadapan Nayla sudah kosong, berserta minumannya. Tak ada yang tersisa, gadis itu benar-benar kelaparan. Sejak kemarin ia tidak enak makan, bahkan kesulitan tidur. Ia terus memikirkan Ben, dan Aris yang pernah diakui oleh laki-laki itu sebagai teman di awal pertemuan mereka.   Nayla agak ragu untuk bertanya, tapi ia harus menanyakannya. Harus. Ia tak ingin berlama-lama merasa tertekan.   “Dave, apa benar Aris teman kamu?” tanya Nayla setelah lama menimbang. Dilihatnya kedua mata Ben yang menatap lurus ke arahnya.   Kini wajah bule itu menautkan alisnya. Menatap Nayla penuh selidik. Membuat gadis di hadapannya gugup. “K-kamu berteman?” ulang Nayla takut-takut.   “Apa yang terjadi?” Suara Ben penuh penekanan. Sejak awal ia tahu sandiwara yang dibuat Nayla, kebohongannya karena tidak mengenal siapa Aris. Jelas Nayla menyembunyikan sesuatu darinya. “Katakan,” pinta Ben dengan nada dingin.   Nayla tidak lagi melihat ada kehangatan dalam sikap Ben. Mendengar nama Aris disebut pria itu menjadi aneh dan mengerikan baginya.   “Jangan pernah menipu saya, Nayla. Hal sekecil apa pun. Jika tidak, saya bisa saja menghabisimu.”   Betapa terkejutnya Nayla mendengar ancaman Ben, ia tak pernah setakut ini berhadapan dengan bule itu sebelumnya. Ia pikir, pertanyaannya barusan tidak akan membuat Ben semenakutkan itu.   “Kamu ingin membunuhku? Benarkah, Dave?” sinis Nayla akhirnya, mencoba untuk tidak merasa takut atau panik di hadapan Ben. “Berarti benar apa kata kakakku tentangmu, kamu seorang pembunuh bayaran berdarah dingin dan tak berperasaan!” sembur Nayla, lalu menggelengkan kepala kuat-kuat.   “Aku nggak percaya sudah berkenalan dengan cowok b******k kayak kamu!”   Ben tidak menjawab, ia menyipitkan mata melihat ekspresi jijik Nayla terhadapnya. Seperti ada yang salah, Nayla tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya.   Ben melihat sekeliling kafe, orang-orang mulai ramai berdatangan untuk santap siang.   “Ikut saya!” perintah Ben, ia bergegas berdiri dari duduknya. Menyambar pergelangan tangan Nayla dan menariknya ke luar kafe. Sebelumnya, ia menyelinap selembar uang merah di balik piring kosong di atas meja. Sudah tidak ada waktu untuk berlama-lama bertransaksi.   Nayla berusaha melepaskan tangannya dari genggaman tangan Ben, tapi tangan itu malah semakin kencang mengunci pergelangan tangannya. Naylah terpaksa pasrah saat Ben mendorong tubuh Nayla masuk ke mobilnya yang sudah ia buka menggunakan remote.   “Mau ke mana?” tanya Nayla hampir putus asa.   “Diamlah,” perintah Ben ketus.   ***       Nayla terkejut Ben membawanya ke markas. Sebuah bangunan yang terlihat kokoh tapi sebagian darinya habis terbakar. Tidak ada siapa-siapa di tempat itu selain dirinya dan Ben. Tidak, ada pria berkulit gelap yang terlihat sibuk membersihkan bagian bangunan yang terbakar.   Sepanjang dalam perjalanan, Nayla tidak bertanya apapun. Jangankan bertanya, melihat wajah sangar Ben sudah membuatnya nyalinya ciut. Rahang Ben mengeras dan sorot matanya tajam penuh amarah. Nayla sempat berpikir, ada apa dengan Ben sebenarnya?   “Duduk,” suruh Ben, matanya melirik kursi kosong di seberang meja di hadapannya. Tempat biasa ia menerima tamu atau siapapun yang baru ia kenal.   “Duduklah, Nayla, kau tidak akan disakiti bila menjawab pertanyaan saya dengan jujur,” kata Ben sambil menyilangkan kakinya. Ia mengeluarkan bungkus rokok, mengambil satu batang dan membakarnya. Satu sesapan berhasil mengembuskan asap yang membuat Nayla terbatuk-batuk.   Gadis itu tidak ada pilihan selain menuruti perintah Ben. Ia tak pernah membayangkan sebelumnya akan diinterogasi seperti ini. Jauh dari ekspektasinya, Nayla hanya menginginkan pertemuan dan saling jujur satu sama lain. Ia bahkan tak mengira akan seperti ini jadinya. Berakhir di tempat asing yang menyeramkan.   “Katakan, apa yang kau ketahui tentang saya, Nayla? Semuanya.” Ben kembali mengepulkan asap rokok.   Noel yang sejak tadi sibuk membersihkan gudang senjata spontan menoleh pada Ben dan gadis yang duduk gemetar di hadapannya. Bibirnya menyeringai, baru kali ini Ben terlihat berbeda saat bicara pada makhluk bernama wanita. Walau terlihat kejam, tapi nada bicaranya Noel sangat hapal tidak pernah seaneh itu.   “Dave,” panggil Nayla bergetar, “apa ini berlebihan?”   “Berlebihan? Tidak, Nay. Ini demi keselamatan kamu. Saya yakin kamu pasti sudah banyak tahu tentang saya. Dan saya berjanji akan mengatakan hal sebenarnya mengapa saya harus mengenal kamu.”   Kedua mata Nayla terpejam. Ia takut, sekaligus penasaran. “Baiklah,” lemah suara Nayla menyetujui.   ***     Nama Raditya Putra cukup beken di kalangannya, ia seorang fotografer andal yang banyak mengantongi berbagai macam penghargaan. Hari-harinya disibukkan dengan kegiatan seputar pemotretan, baik di dalam kota atau luar kota. Jadwalnya cukup padat dan hampir lupa bahwa ia memiliki adik perempuan yang masih membutuhkan perhatian dan perlindungan.   Kemarin sore, Nayla terkejut melihat kakaknya datang di tengah padatnya kegiatannya. Gadis itu sempat menanyakan kabar apakah Raditya baik-baik saja atau tidak.   “Jangan khawatirkan aku,” katanya, “yang harus kamu pikirkan adalah keselamatanmu, Nayla. Aku pulang karena ada perlu kepada seseorang.”   “Siapa?” kejar Nayla. Ia tahu Raditya tidak akan mau repot-repot pulang jika tidak ada hal yang sangat penting.   Raditya tahu adiknya akan bertanya, dan ia pun tak ingin menutupi rencananya. Mau tak mau ia harus menceritakan pada Nayla. Bagaimanapun juga, ini tentang keselamatan nyawa adik satu-satunya.   “Aku akan mengirim seseorang untuk membunuh Aris,” kata Raditya dingin. “Aku nggak akan biarin cecunguk itu lolos dari tanggung jawab!”   Tubuh Nayla lemas, ia terduduk di sofa dengan lesu. Ia memang membenci Aris, tapi tak pernah tertanam dalam hati untuk menghabisi nyawa laki-laki itu. Apapun kesalahannya. Namun rupanya tidak dengan kakaknya, Raditya tampak menyimpan dendam yang amat besar.   “Apa yang kamu pikirin? Mau diam aja, hah?!” Tiba-tiba Raditya menjadi gusar melihat wajah sedih adiknya. Gadis itu menunjukkan ekspresi kesedihan dan kengerian akan rencana kakaknya.   “Aku takut, Kak.”   Hanya itu yang keluar dari mulut Nayla. Ia benar-benar takut. Pembunuhan, darah, kematian, Nayla sudah ngeri membayangkan semuanya.   “Kalau kamu takut, serahkan semuanya padaku. Biar habisi dia sekalian. Dadaku selalu panas kalau lihat pemberitaan tentang dia dan calon istrinya itu!” Berapi-api Raditya berkata, “Aku sudah mengirim pesan pada seorang pembunuh bayaran, memintanya membunuh Aris, beserta centeng-centengnya itu!”   “Siapa pembunuh bayaran itu?” tanya Nayla penasaran.   “Aku nggak bisa sembarangan kasih tahu,” jawab Raditya, lalu melenggang pergi meninggalkan Nayla. Ia pergi ke kamarnya dan bersiap untuk mandi.   Sambil bersandar di sofa, Nayla berusaha menenangkan detak jantungnya. Raditya sudah gila, ide membunuh Aris tidaklah benar. Lagi pula, menyewa pembunuh bayaran tidaklah sedikit uang yang harus disiapkan. Menghabisi nyawa orang lain bukan perkara mudah meski ditangani oleh ahlinya.   Nayla memejamkan mata kuat-kuat, ingatan tentang Aris terus membayang-bayanginya. Masa lalunya bersama laki-laki yang sering berpenampilan necis itu cukup membuatnya menderita. Nayla tidak bisa melupakan apa yang sudah Aris perbuat padanya. Laki-laki itu memang pantas dibunuh, tapi sisi lain, apa mungkin ia setega itu?   Tiba-tiba bayangan Ben melintas dalam benak Nayla. Pria bule yang tampan. Berbadan tinggi tegap, gagah dan terlihat pemberani. Dia laki-laki pertama yang dekat dengannya setelah hubungannya dengan Aris berakhir. David Jhonson, yang kerap Nayla panggil 'Dave'. Nayla juga mengingat alasan Dave saat pertama kali datang ke rumahnya. Ia mencari Aris. Saat itu Nayla bersusah payah menyembunyikan rasa kagetnya saat tamunya itu menyebut nama Aris, mantan kekasihnya yang b******k. Tapi Nayla tak ingin gegabah, ia benar, memang tak ada nama Aris di lingkungan rumahnya.   “Mikirin apa?” tanya Raditya, menghempaskan bokongnya di sofa samping Nayla. Ia sudah mandi dan memakai kaus dan celana pendek, lalu memainkan ponselnya tanpa menoleh pada Nayla.   “Aku ingin cerita,” kata Nayla pelan. Ia merasa harus jujur pada kakaknya soal kedekatannya dengan pria bernama David Jhonson.   “Hemm,” sahut Raditya sekenanya, matanya masih fokus pada layar ponsel, mencari apa yang ingin ia temukan di web.   “Tapi jangan marah, ya.” Nayla melirik kakaknya jutek. Ia tahu kakaknya tidak akan mudah berpikir baik tentang pria manapun yang menjalin hubungan dengannya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD