Bab.3

1074 Words
       Sudah beberapa hari setelah Ben bertemu Nayla, ia disibukkan dengan misi baru. Seorang petugas dari kepolisian--yang bertugas menangani kasus kriminal-- meminta Ben bekerja untuknya. Ben dimintai menghabisi seorang bos mafia yang akhir-akhir ini meresahkan masyarakat. Ini bukan pertama kali pihak kepolisian--oknum yang merasa putus asa atas pekerjaannya--meminta bantuan Ben untuk mempermudah pekerjaan mereka. Ben dengan senang hati berburu penjahat.   Menjelang misinya, Ben tiba-tiba mengingat Nayla, ia sempat ingin mengirim pesan singkat pada gadis itu sebelum menjalankan perintah, tetapi ia tunda. Ben berpikir sebaiknya ia menghubungi setelah pekerjaannya selesai. Namun tak disangka Ben justru mendapat pesan chatt lebih dulu dari Nayla dengan sapaan yang hangat.   "Hai, Dave. Kamu apa kabar?"   Lama Ben memandang pesan Nayla. Ia bingung harus menjawab apa. Tapi tentu saja ia tak ingin mengabaikan pesan gadis itu begitu saja.   "Baik. Kau sendiri?"   "Baik. Kamu lagi sibuk, ya?" balas Nayla cepat.   "Cukup sibuk."   "Hemm, maaf kalau aku ganggu kamu."   Ben tersenyum kecil saat membaca pesan Nayla. Kali ini Ben belum sempat membalas, sebuah panggilan masuk dari seseorang mengharuskan Ben mengabaikan pesan Nayla dan segera menghubungkan telepon.   "Ben, target sudah dekat," kata seseorang di seberang ponsel, "Bersiaplah!"   Tanpa mengucapkan apapun, cepat Ben mematikan ponsel dan segera bersiap.   ***        Sesuai rencana, seseorang yang Ben undang akhirnya datang. Seorang bos mafia memakai stelan jas berwarna hitam dan berdasi kupu-kupu. Ia tampak seperti eksekutif muda, tampak santai dan bersuara agak serak.   Ben mempersilakan tamunya yang bernama Leo, duduk di kursi yang telah ia sediakan, menghadap meja bundar yang di atasnya terdapat lampu gantung dengan cahaya redup.   "Terima kasih sudah datang, Tuan Leo." Ben sedikit membungkukkan badan tanda hormat.   "Dengan senang hati memenuhi undanganmu, Ben."    Ben dan Leo saling menjabat tangan, lalu keduanya duduk di kursi putar secara bersamaan.   "Mari bersulang," ajak Ben ramah, tangannya sibuk membuka botol minuman dan menuangkan isinya ke dalam gelas kecil untuk Leo.   Mafia berusia hampir 50 tahun itu semringah. Ia terkesan dengan perlakuan Ben terhadapnya.   "Anda adalah senior bagi saya, Tuan Leo. Saya sangat senang atas pertemuan ini." Ben memuji sembari mengulurkan gelas miliknya berdekatan dengan gelas Leo.   Keduanya bersulang dengan menyentuhkan gelas mereka masing-masing, kemudian menenggak isinya sampai habis.   "Saya sudah sering mendengar tentangmu, Ben. Kau pembunuh paling sadis di abad ini." Leo tak kalah pandainya melempar pujian. Bibirnya tersenyum licik yang tersamar.   Ben terkekeh, ia bisa melihat kepura-puraan dalam nada bicara Leo. Dalam beberapa detik, Ben dan Leo saling menatap tajam.   Sama halnya dengan Ben, Leo tak kalah cerdik membaca situasi. Iya tahu bahwa akan banyak umpan di setiap kesempatan. Sayangnya kali ini ia terjebak sekiranya Ben melakukan aksinya, satu-satunya cara yaitu bertindak waspada. Sementara Ben sendiri sudah tak sabar menunggu waktu.   "Apa yang kau inginkan, Ben?" Leo mendorong gelas kosongnya ke tengah-tengah meja.   Kaki Ben menyilang, ia bersikap rileks. "Tidak terlalu rumit, Tuan. Saya hanya ingin berkompromi." Suara bariton Ben sedikit lebih rendah.   "Katakan," pinta Leo. Matanya terus mengamati gerak-gerik Ben dengan cermat. Ia tak ingin lengah saat berada di kandang singa. Sikap santai Ben bisa saja berbahaya.   Ben melihat ke sekeliling ruangan yang tampak gelap, yang hanya diterangi lampu redup di atas meja bundarnya. Ben sedikit mencondongkan badan ke depan hingga dadanya hampir menyentuh sisi meja.   Ben menawarkan sesuatu pada Leo, "Pilih bunuh diri atau dibunuh?"   Kening Leo mengerut, ia tak paham maksud dari pertanyaan Ben. Leo merasa orang di hadapannya itu tengah bermain-main terhadapnya.   "Bicaralah yang jelas, Ben. Apa maksudmu?" Kedua tangan Leo mulai berkeringat. Terbata ia melanjutkan, "Kau mengatakan kita akan bekerja sama, bukankah itu penawarannya?"   Ben tersenyum miring dan menatap Leo kasihan. Dari sinar lampu yang redup, Ben dengan jelas melihat keringat keluar dari pori-pori kening lebar Leo.   "Ya, tawaran lainnya adalah, pilih mati atau menyerahkan diri. Kau akan selamat meski mendekam di balik jeruji besi. Ini termasuk kerja sama bukan?" Ben terkekeh, ia merasa sudah berhasil membuat Leo semakin terlihat menyedihkan.   "Apa ini jebakan?!" teriak Leo kesal.   Tanpa diduga, Leo berdiri dari duduknya dan mundur beberapa langkah. Tangannya gesit mengambil pistol dari balik jas dan menodongkan benda itu ke arah Ben.   "Sudah kuduga, Ben. Kau tak bisa dipercaya," cerca Leo, ia sempat menyemburkan ludahnya dengan kasar di depan Ben.   Ben masih bersikap santai, ia sedikit memutar kursinya dengan kaki menyilang di atas meja. Ia seakan tak gentar melihat tindakan Leo barusan.   "Tenanglah, Anda bisa selamat dari kematian jika menyerahkan diri ke pihak berwajib. Menjadi seorang mafia yang meresahkan masyarakat itu sama sekali tidak keren, Tuan. Anda dan anggota Anda sudah banyak merugikan orang lain, memerkosa banyak wanita, menculik anak-anak, bahkan sebagian dari kalian membunuh sampai merampas apapun yang bukan hak kalian. Terakhir, saya mendapat kabar bahwa anggota mafia melakukan bisnis perdagangan anak laki-laki di bawah umur ke luar negeri untuk dijadikan b***k teroris dan meracuni otak mereka dengan kebrutalan tidak jelas tujuannya." Ben mengurai apa alasan dari kompromi yang ia maksud.   Leo berkata sinis, "Kau lupa, siapa yang lebih k*****t di antara kita, Ben? Hanya jalannya saja tak sama."   "Yah, nyaris sama keparatnya memang. Bedanya hanya soal keberuntungan. Dan pasti, saya bukan tipe yang suka merampas kehormatan wanita tak berdaya. Saya lebih senang merampas nyawa seseorang seperti Anda."   Ucapan Ben membuat Leo murka, tanpa aba-aba jari Leo menembakkan timah panas tepat di d**a Ben.   "DUARR!"   Bersamaan dengan bunyi tembakan, sebuah belati melesat cepat tepat mengenai tangan Leo dan menjatuhkan pistol miliknya. Saat itu juga Ben kembali menjerat leher Leo dengan perangkap tali gantung yang sudah dipersiapkan sejak awal.   Hitungan detik tubuh Leo terangkat cepat dengan tali melilit kencang di lehernya. Kaki Leo meronta-ronta dan kedua tangannya berusaha melepaskan tali. Tidak menunggu lama, tubuh bos mafia itu terkulai lemas dengan lidah menjulur dan bola mata nyaris keluar.   Pertemuan singkat yang juga akhir dari perjalanan hidup Leo.     ***       Sudah hampir tengah malam, Ben merebahkan tubuh di atas ranjang, matanya lurus menatap langit-langit kamar. Ia mengingat kematian Leo siang tadi, bersamaan dengan senyum kemenangan di bibir si polisi payah yang memerintahnya.   Leo yang malang, ia tak tahu bahwa Ben sudah melapisi tubuhnya dengan pelindung anti peluru. Ben sudah tahu, mafia seperti Leo lebih menyukai pistol di banding senjata lainnya. Hal paling penting, Ben berhasil menjerat bos mafia itu ke markasnya tanpa menaruh curiga.   Ben menyeringai sinis, bagaimana bisa Leo percaya padanya begitu saja? Jika si tua itu mau, ia bisa menyiapkan anggota mafianya untuk keselamatan dirinya. Sayangnya Leo terlalu mudah dimanipulasi. Tapi setelah Ben pikir, sejak lama Leo berharap Ben menjadi bagian dari mereka.   Ben mengembuskan napas kasar, menjadi bagian dari mafia seperti Leo bukan sesuatu yang menyenangkan baginya.  Menjadi pembunuh bayaran pun sudah cukup menjerat hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD