Bab 12

1998 Words
Cici terlihat sibuk menikmati makanannya di meja dengan lahap. Saat ini sudah jam makan siang, Ia bersama Nani memutuskan untuk makan siang di kantin kantor saja karena Cici merasa sudah terlalu lapar dan tidak sanggup jika harus mencari restoran di luar kantor hanya untuk makan siang. Bunyi handphonenya yang berdering membuat Cici menghentikan kegiatan makannya. Ia segera mengambil handphonenya dan melihat panggilan masuk dari Raras. "Hallo Ras. Kenapa nelpon gue?" tanya Cici setelah menerima panggilan telpon Raras. "Lo sibuk nggak? gue mau minta tolong," ujar Raras dari sebrang telpon "Nggak sibuk-sibuk amat sih. Nih bentar lagi udah beres makan siang. Kenapa emangnya?" "Minta tolong jemput gue bisa nggak? Gue tadi habis pertemuan sama klien terus mobil gue malah mogok. Mana di sini nggak ada taksi lagi?" "Emang lo di daerah mana sih sekarang? Kok bisa nggak ada taksi?" "Gue di daerah Bogor sekarang. Masalahnya gue juga lupa bawa dompet." keluh Raras. "Ya udah tunggu situ deh." "Makasih sayangku." Cici segera meletakkan handphonenya setelah panggilan telponnya dengan Raras berakhir, ia langsung menghabiskan makanannya yang tinggal beberapa suap. Setelah piringnya kosong Cici segera berdiri dan menyodorkan tangannya ke arah Nani. "Ngapain mba?" tanya Cici bingung. "Kunci mobil gue mana? Gue ada urusan bentar." "Urusan kemana mba? Biar saya anter aja ya." Cici menggeleng, "nggak usah, gue pergi sendiri aja, nggak bakal lama kok." "Sama saya aja ya mba," pinta Nani sedikit memelas. Cici menatap Nani kesal, "pasti lo takut dimarahin Erlan kan? makanya lo minta buat ikut gue." Cici langsung mengangguk mantap, "itu mba Cici tahu". "Ya kalo gitu lo diem-diem aja, nggak usah ngasih tahu Erlan. Ya kalo lo keceplosan itu kesalahan lo sendiri," ujar Cici, "udah cepetan mana kunci mobil gue," desak Cici. Nani dengan berat hati menyerahklan kunci mobil yang langsung disambar oleh Cici. "Gue pergi dulu ya. Lo mending balik ke ruangan gue biar nggak ketemu sama Erlan." Cici segera berjalan menuju basement kantor untuk mengambil mobilnya pergi menjemput Raras. **** Raras sudah berada di area kota Bogor setelah sekitar dua jam mengendarai mobilnya. Ia saat ini sedang mengemudi sambil melihat google maps untuk mencari lokasi Raras saat ini dari hasil sharelock yang ia berikan. "Gue udah hampir deket nih," ungkap Cici pada Raras yang saat ini sedang tersambung telpon oleh Cici. "Gue depan jalan. Kalo lo udah sampe pasti langsung ngelihat gue kok." "Oke bentar." Cici mulai menurunkan kecepatan mobil yang dikendarainya saat melihat posisinya yang sudah hampir dekat dengan Raras. Ia terus melihat ke sekitar pinggir jalan untuk mencari sosok Raras. Setelah Google maps menginfokan bahwa Cici sudah tiba di lokasi, secara bersamaan ia melihat Raras yang berdiri di sebrang jalan. "Raras," teriak Cici memanggil sahabatnya itu. Raras segera melambaikan tangannya saat melihat Cici yang memanggilnya. Karena terlalu bersemangat dan senang melihat Cici, tanpa memperhatikan kondisi jalanan Raras langsung menyebrang jalan. Secara mendadak sebuah mobil melaju cepat dan langsung menyerempet tubuh Raras yang akan menyebrang. "Raras," teriak Cici panik sambil keluar dari mobilnya setelah melihat Raras yang sudah terbaring di trotoar jalan. Cici segera berlari menyebrang jalan sambil melihat kendaraan. Ia menuju ke arah Raras yang sudah terbaring dengan tubuh penuh luka. Semua orang sudah berkerumun melihat keadaan Raras. "Mba, temennya ya?" tanya seorang pria yang merupakan orang yang mengendarai mobil yang menabrak Raras. "Iya Mas. Bisa tolong bantu saya bawa temen saya ke mobilnya?" pinta Cici pada pria tersebut dengan kondisinya yang sudah sangat panik. Semua orang yang ada di sana bersama pria yang menabrak Raras segera membantu Cici membawa Raras menuju mobilnya untuk dibawa ke rumah sakit. Setelah Raras dimasukkan ke kursi belakang mobil Cici, Ia segera menuju bangku kemudi mobilnya dengan terburu-buru. "Saya tahu lokasi rumah sakit terdekat mba. Nanti ikutin mobil saya aja ya," ujar pria yang menabrak Raras tadi. Cici segera mengangguk. Pria itu segera berjalan menuju mobilnya. Cici langsung menyalakan mobilnya dan mengikuti mobil pria tersebut menuju rumah sakit terdekat. "Raras lo jangan tidur ya. Harus tetep berusaha sadar," ucap Cici melihat Raras yang menutup mata sambil meringis menahan sakit. Cici sebenarnya cukup panik saat ini, namun ia berusaha untuk tenang karena sedang mengendarai mobilnya. Raras hanya mengangguk sebagai jawaban atas perintah Cici yang memperingatkannya untuk tetap menjaga kesadaran. **** "Loh. Anda ada di ruangan?" tanya Feno saat masuk ke ruangan Erlan dan ternyata menemukan pria itu sedang duduk di kursi kebesarannya sambil memegang beberapa berkas. Awalnya Feno masuk ke ruangan Erlan untuk membereskan meja kerja pria itu.. "Tentu saja saya berada di ruangan saya. Kamu pikir saya harus berada di mana lagi saat pekerjaan sedang menumpuk?" "Ini sudah lewat jam makan siang bro," ujar Feno yang menghilangkan bahasa formalnya pada Erlan mengingat mereka hanya berdua saja saat ini. Erlan yang tidak menyadari waktu dari tadi segera memeriksa jam tangan yang ada di pergelangan tangannya. Pria itu baru menyadari bahwa sekarang sudah waktunya makan siang. Erlan langsung menyandarkan punggungnya di kursi sambil memijat pelipisnya. "Kenapa?" tanya Feno. "Sudah jam makan siang, apa Anjani sudah makan? Sungguh melelahkan harus mengawasi gadis itu di saat pekerjaan begitu menumpuk." Feno menggeleng pelan melihat sahabat sekaligus atasannya ini, "ya lo terlalu memaksakan diri bro. Sebenarnya lo bisa saja meminta pada Pak Andi biar lo nggak perlu terlalu mengawasi Cici, apalagi pekerjaan lo sedang banyak-banyaknya sekarang. Ya kalaupun lo tetep mau ngawasin dia kayanya bolong sedikit nggak masalah kali. Toh dia nggak akan kenapa-kenapa selama ada Nani yang selalu sama dia terus." "Saya hanya merasa bertanggung jawab pada Pak Andi. Rasanya tidak tenang jika tidak melaksanakan tugasnya dengan maksimal." "Kalau lo khawatir telpon Nani aja. Tanyain dia udah makan apa belum?" Mendengar saran dari Feno, Erlan segera merogoh handphone dari dalam sakunya. Setelah mengetikkan sesuatu di handphonenya pria itu segera menempelkan benda pipih itu di telinganya. "Hallo Nani." "Iya Pak." "Apa Anjani sudah makan?" Hening sejenak, "ah i..iya pak. Mba Cici udah makan dari tadi kok. Aman pak." "Baiklah kalau begitu. Terimakasih" Erlan segera meletakkan handphonenya kembali setelah panggilan itu terputus, "dia sudah makan," ujarnya pada Feno. "Nah berarti nggak ada lagi yang perlu lo pikirin." Erlan mengangguk sambil kembali menegakkan duduknya, "Berapa jam lagi meeting dengan Walfer Holding untuk membahas investasi resort di bali," tanya Erlan pada Feno sambil melihat berkas di tangannya. "Sekitar satu jam lagi." Erlan mengangguk sebentar lalu membereskan beberapa berkas di mejanya, "Sebaiknya kita berangkat sekarang saja. Takutnya jalanan macet nanti." Feno mengangguk mendengar perkataan Erlan. Setelah mematikan laptopnya, Erlan segera bangun dari kursi dan berjalan keluar ruangan bersama Feno. Keduanya sudah akan menuju lift, namun Erlan segera menghentikan langkahnya saat menatap lorong menuju sisi sebelah tempat dimana ruangan Cici berada. "Sebaiknya saya memeriksa dia di ruangannya dulu." Feno mengangguk menyetujui, setidaknya dengan itu Erlan sedikit mengurangi beban pikirannya. Dengan langkah tegas Erlan berjalan di lorong menuju sisi lantai tempat ruangan Cici. Pria itu segera membuka pintu tanpa mengetuk. Saat pintu ruangan terbuka sepenuhnya, pria itu mengeryitkan dahinya saat tidak mendapati presensi Cici di kursinya. Pria itu segera berpaling dan melihat Nani di sudut ruangan yang sedang berdiri sambil menunduk. "Dimana Anjani?" tanya Erlan tegas dengan nada penuh intimidasi. Nani terlihat bergetar dan makin memperdalam kepalanya menunduk, "a..a..anu itu pak." "Dimana Anjani. Apa kamu tidak bisa menjawab dengan jelas?" desak Erlan. "Mba Cici pergi makan siang pak, tadi saya mau nganterin tapi dianya nggak mau," ucap Nani yang sedang berbohong dengan suara bergetar. Erlan menatap jam tangannya, memastikan bahwa jam itu tidak salah menunjukkan angka, "Jam berapa ini? kalau dia hanya pergi makan siang harusnya sekarang sudah kembali. Dan kamu bukannya saya sudah mengatakan untuk selalu menemani kemanapun Anjani pergi," ujar Erlan tegas, terselip kemarahan yang sepertinya di tahan pria itu. "Maaf pak. Mba Cici yang memaksa," jawab Nani dengan suara bergetar "Telpon dia sekarang dan suruh segera kembali ke kantor." Dengan buru-buru Nani mengambil handphonenya yang berada di tas. Gadis itu segera mencari kontak Cici dan menelpon gadis itu. "Hallo mba Cici, mba dimana? Kenapa belum balik kantor sampai sekarang?" tanya Nani sedikit mendesak, saat ini dirinya tentu sangat gugup ditatap tajam oleh Erlan. ".........." "APA? MBA DI RUMAH SAKIT," jerit Nani dengan wajah panik. Erlan yang sedang berdiri di hadapan Nani tentu saja langsung panik mendengar perkataan gadis tersebut, "rumah sakit mana?' tanya Erlan yang seperti perintah untuk disampaikan Nani pada Cici. "Di rumah sakit mana mba?" tanya Nani. Gadis itu diam sebentar untuk mendengarkan ucapan Cici, "rumah sakit Bunda kasih di daerah Bogor". Tanpa berkata apapun lagi Erlan langsung berlari menuju keluar ruangan Cici. Pria itu bahkan tidak menggunakan lift dan langsung berlari menggunakan tangga darurat. Pikirannya terus memikirkan kondisi Cici yang saat ini berada di rumah sakit. Apalagi yang terjadi pada wanita itu? *** Erlan berlari menelusuri lorong rumah sakit setelah mengendarai mobil dengan kecepatan penuh, saat di mobil tadi Erlan menerima pesan dari Nani perihal ruangan tempat Cici berada. Pria itu segera berlari menuju ruangan tersebut. Saat tiba di ruangan itu tanpa menunggu dan mengetuk pintu Erlan langsung membuka pintu dihadapannya tersebut. Cici sedang duduk di samping tempat tidur pasien, gadis itu tersentak kaget dan langsung berdiri saat menemukan presensi Erlan. Dengan langkah tegas Erlan berjalan ke arah Cici dan memegang lengan gadis itu dengan kasar. "kamu....." "Cici" ucap Raras terbata-bata. Melihat Raras yang sudah sadar, Cici langsung melepaskan lengan tangannya dari Erlan dan duduk di kursi kembali sambil menatap Raras. "Lo udah sadar. Gimana ada rasa nggak nyaman?" tanya Cici dengan wajah khawatir. Raras menggeleng sebagai jawaban. "Gue udah telpon orangtua lo, mereka bentar lagi kesini. Kata dokter lo harus banyak istirahat," ujar Cici. Setelah perkataan Cici, pintu ruangan kembali terbuka dan muncul dua orang pria dan wanita paru baya yang masuk dengan wajah panik. "Raras. Kamu nggak apa-apa?" tanya mama Raras dengan air mata yang mengalir di pipinya dan menghampiri serta memeluk anaknya itu.. "Sakit ma," ucap Raras berusaha melepas pelukan mamanya. "Papa Raras segera menatap ke arah Cici dan Erlan yang berada di ruangan bersama putrinya, " terimakasih ya sudah membawa Raras ke ruamh sakit." Cici mengangguk sambil tersenyum, "Iya Om. Biar gimanapun Raras sahabat saya, sudah seharusnya saya menolong dia om." Papa Raras tersenyum sambil menepuk bahu Cici. "Bapak dan Ibu sudah berada disini untuk menjaga Raras. Jadi saya akan membawa Anjani pulang," ucap Erlan pada kedua orangtua Raras. Kedua orangtua Raras mengangguk sebagai jawaban. Setelah itu Erlan segera meraih pergelangan tangan Cici dan membawa gadis itu keluar dari ruang rawat Raras. "Pelan-pelan bisa nggak si?" pinta cici yang kesulitan mengikuti langkah Erlan, bahkan lengannya saat ini terasa sangat sakit akibat cengkraman kuat pria itu. Erlan tidak menggubris perkataan Cici dan terus menyeret wanita itu menuju mobilnya. Setelah memasukkan Cici ke dalam mobilnya, Erlan meraih handphonenya dan menelpon petugas derek untuk mengambil mobil Cici dan membawanya ke kediaman Andi Wiguna Rahid. Selesai menelpon Erlan segera berjalan berjalan menuju bagian kemudi dan masuk ke dalam mobil. Dengan rahang mengeras dan wajah menahan emosi pria itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. "Lo kenapa sih? bawa mobilnya pelan-pelan bisa nggak?" ucap Cici ketakutan. "Kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan?" bentak Erlan. Bentakan Erlan tentu saja membuat Cici bingung, "emang gue ngelakuin apa sih?" "Kamu sudah buat saya seperti orang bodoh yang mengira terjadi sesuatu dengan kamu. Ini yang terjadi jika kamu pergi sendirian, selalu saja membuat masalah" "Loh kok lo nyalahin gue. Yang buat masalah kan lo sendiri, tanya baik-baik sebelum panik makanya." "Tentu saja saya panik. Apa yang harus saya katakan pada Pak Andi jika terjadi sesuatu sama kamu? Karena kelakuan kamu saya membatalkan meeting bernilai milyaran rupiah. Apa tidak bisa kamu bersikpa dewasa dan berhenti merepotkan saya dalam segala hal?" ucap Erlan dengan nada marah. Sungguh Cici sakit hati dengan perkataan Erlan saat ini, "APA GUE YANG MINTA LO JAGAIN? Kenapa gue yang salah? Bilang sama papa kalo lo capek ngawasin gue. DASAR COWO Gila," teriak cici kesal. Gadis itu bahkan sudah mengeluarkan airmatanya, "berhenti". Erlan menatap Cici tajam saat mendengar kata terakhir yang dikeluarkan Cici. "GUE BILANG BERHENTI" teriak Cici. Erlan segera menepikan mobilnya. Setelah mobil berhenti Cici langsung saja keluar dari mobil Erlan dan tidak lupa membanting pintu mobil dengan keras. Cici kemudian berdiri di pinggir jalan untuk menghentikan taxi dan pergi dari tempat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD