Bab 4

1501 Words
Cici dan Raras saat ini sedang menikmati treatment spa bersama dalam sebuah ruangan. "Jadi gimana? Lo udah ngomongin rencana waktu itu ke bokap Lo?" tanya Raras. Cici mendengus, "bujuk bokap gue tuh nggak gampang. Ya kali dia mau gitu aja ngasih modal ke gue." "Terus gimana? emang lo nggak bosen diem di rumah doang." "Ya bosen lah," jawab Cici kesal. "Emang bokap lo ngomongnya gimana sih? Apa dia langsung nolak gitu aja buat ngasih modal ke Lo?" tanya Raras penasaran. "Bokap gue maunya gue harus kerja dulu di perusahaan dia selama beberapa bulan buat belajar bisnis, baru dia percaya gue buat buka usaha sendiri." "Ya udah bagus dong. Kan kerjanya di perusahaan bokap lo sendiri." "Masalahnya bokap gue maunya gue kerja dibawah bimbingan Erlan. Mana mau gue tiap hari harus berurusan sama cowo robot itu," ujar Cici kesal. Raras langsung saja tertawa keras mendengar keluhan Cici. "Jadi ceritanya lo nggak mau kerja bareng Erlan. Kayanya lo takut jatuh cinta lagi sama Erlan, atau sebenernya lo emang masih punya perasaan sama mantan tunangan lo itu," ejek Raras. "Enak aja. Gue bisa memastikan kalau setelah pertunangan gue sama Erlan dibatalkan semua perasaan gue ke dia udah ilang sepenuhnya!" tegas Cici. "Yakin Bu? Kok gue ngerasa lo cuma gengsi aja, karena kesal Erlan sama sekali nggak balas perasaan lo dari dulu." "Gak usah mikir yang aneh-aneh deh. Gue beneran udah nggak ada perasaan sama cowo robot itu dan nggak akan jatuh cinta lagi sama dia." "Oke-oke gue percaya kok," ucap Raras mengalah. Cici segera bangun dari pembaringannya setelah petugas spa selesai memijat punggungnya, dengan perasaan dongkol ia berjalan menuju ruang ganti untuk membersihkan diri lalu kembali mengenakan pakaiannya. Raras tertawa geli melihat tingkah sahabatnya itu sambil berjalan mengikuti Cici menuju ruang ganti. Sesudah berganti pakaian dan membayar treatment spa, Cici dan Raras berjalan keluar tempat Spa bersama-sama. "Cari makan yuk, gue laper banget nih," ujar Cici sambil memegang perutnya. "Makan di mall ini aja ya. Gue juga udah laper nih." Raras dan Cici segera berjalan mengitari mall mencari restoran untuk makan. Saat sedang menyusuri pandangannya ke sekeliling mall Cici mendapati sosok Papanya sedang berjalan bersama rombongannya, disana juga ada om Arseno dan manusia robot itu. "Cici," Panggil Andi Wiguna saat melihat sosok putrinya itu. Cici dan Raras segera berjalan mendekati rombongan Andi Wiguna. "Papa ngapain disini?" tanya Cici. "Papa sedang melakukan survei mall hari ini." Cici baru ingat bahwa mall yang ia datangi bersama Raras adalah salah satu mall milik perusahaan Papanya. "Hallo om," sapa Raras pada Andi Wiguna Rahid. "Raras apa kabar? udah lama om nggak ketemu sama kamu." "Baik om. Nanti kalo Raras udah nggak sibuk, Raras main-main ke rumah ya." "Boleh dong, mamanya Cici juga pasti kangen sama kamu." Handphone Raras tiba-tiba berdering. Ia segera pamit menjauh untuk menerima telpon. "Ci, kayanya gue harus pergi duluan deh. Ada urusan mendadak di butik," bisik Raras pada Cici setelah ia selesai menerima telpon. "Ya udah kalau gitu, gue biar nanti balik pake taksi aja." "Sorry ya," bisik Raras dengan rasa bersalah. Ia kemudian menatap ke arah Andi Wiguna, "Om Raras pamit duluan ya, soalnya ada urusan mendadak di butik. "Oh, oke Raras. Hati-hati di jalan ya." "Iya Om," balas Raras. Kemudian Raras segera berjalan meninggalkan Cici menuju basemen mall. "Ya udah pa, Cici juga pamit mau pulang kalo gitu." "Kamu pulang pake apa?" tanya Andi Wiguna. "Pake Taksi." "Ngapain Pake Taksi?" Andi Wiguna segera menatap pada Erlan, "Erlan kamu tolong antar Cici pulang ya." Erlan yang mendengar namanya disebut segera mengangguk. "Baik Pak." "Nggak usah Pa, kan Erlan masih survei mall bareng Papa dan yang lainnya," tolak Cici. "Papa bisa survei sama yang lainnya. Udah kamu nggak usah nolak." Cici mendengus kesal mendengar perintah Papanya ini. Ia tentu tidak bisa mengharapkan Erlan untuk menolak perintah Papanya. Pria robot itu selalu menganggap perintah papanya adalah hal yang mutlak. "Ya udah papa sama yang lainnya lanjut survei dulu. Erlan titip Cici ya." Erlan mengangguk sebagai jawaban. "Saya mau ambil mobil dulu. Kamu mau tunggu di lobby atau mau ikut ke basement?" tanya Erlan setelah rombongan Andi Wiguna Rahid telah pergi. "Ikut aja deh." Cici dan Erlan segera berjalan bersama menuju basement mall. Sampai di basement mall tidak sulit menemukan mobil Erlan, karena mobil BMW putih milik pria tersebut diparkir pada parkiran khusus. Erlan segera membukakan pintu untuk Cici saat ia tiba di samping mobilnya. Setelah Cici masuk barulah Erlan menutup pintu mobil kemudian mengitari mobil menuju pintu mobil di sisi kemudi. Erlan masuk ke dalam mobil dan langsung menyalakan mesin mobil. Mobil tersebut melaju pelan menuju pintu keluar basement. Sepanjang perjalanan hanya kesunyian yang menemani. Erlan tentu sibuk menyetir sedangkan Cici sibuk memandang keluar jendela mobil mengamati jalanan kota Jakarta yang cukup ramai ini. Saat mobil berhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah Erlan melirik jam tangannya kemudian menatap ke arah Cici. "Sudah jam makan siang, kita mampir di restoran dulu untuk makan." "Nggak perlu, gue mau makan di rumah aja," jawab Cici. "Saat ini jam makan siang Anjani, jalan di depan pasti sudah macet, akan butuh waktu berjam-jam untuk tiba di rumah kamu. Harusnya kamu tidak lupa kalau kamu punya penyakit lambung." "Ya udah terserah." Erlan hanya menggeleng pelan melihat sikap Cici yang menurutnya sangat kekanak-kanakan. Setelah lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau Erlan segera melajukan kembali mobilnya menuju sebuah restoran. Tiba di sebuah restoran Erlan segera mematikan mesin mobilnya setelah selesai parkir. Ia langsung keluar dari mobil dan berjalan menuju sisi lain pintu mobil untuk membukakan pintu bagi Cici. Kedua anak muda tersebut berjalan bersama memasuki restoran, sesampai di dalam Erlan segera berjalan duluan menuju sebuah meja yang berada di bagian paling sudut dekat jendela, hal ini karena Erlan tahu Cici tidak suka keramaian dan senang memandang keluar jendela. Cici dan Erlan langsung duduk di tempat tersebut, tidak lupa Erlan memberi kode pada pelayan untuk mendekati mereka guna memesan makanan. Cici segera membuka buku menu yang ada di meja. "Mba saya pesan udang balado sama nasi goreng ya. Minumnya es jus jeruk," ucap Cici menyebutkan pesanannya kepada pelayan. Erlan segera mengambil buku menu yang ada pada Cici. "Mba pesanan yang tadi dia sebutkan dibatalkan. Saya pesan Sop ayam satu dan nasi gorengnya dua, untuk nasi gorengnya jangan pedas, selain itu di sop ayamnya tidak usah taruh daun bawang ataupun daun seledri. Minumnya air hangat aja dua." Pelayan tersebut mengangguk setelah mencatat pesanan Erlan. "Kok pesanan gue diganti?" tanya Cici kesal pada Erlan. Erlan terlihat tidak mempedulikan Cici yang sudah memasang wajah kesal padanya. "Ini sudah sedikit lewat dari jam makan siang Anjani, lidah kamu mungkin kuat makan pedas tapi lambungmu tidak." Cici mendengus kesal mendengar jawaban Erlan. Ini yang membuatnya kadang kesal namun kadang terpesona pada pria ini. Erlan selalu tahu kebutuhan dan kesukaan Cici. Walau harus dilakukan dengan memaksa dan terkesan otoriter, tapi Cici menyadari apapun yang Erlan lakukan itu untuk kebaikannya. Pria itu bahkan masih selalu ingat bahwa Cici tidak suka berbagai macam daun yang memberikan aroma pada makanan seperti daun bawang, daun kemangi ataupun daun seledri. Bagaimana ia bisa benar-benar melupakan perasaannya pada Erlan jika laki-laki tersebut selalu berada di jangkauan matanya bahkan mengurus Cici dengan sangat baik. Ia kira setelah pergi kuliah dirinya benar-benar bisa melupakan Erlan, nyatanya perasaan itu sebenarnya masih ada namun berusaha ia tutupi untuk mempertahankan harga dirinya. Cici sangat tahu bahwa Erlan tidak pernah ingin berkomitmen. Pria itu tidak percaya pada wanita dan tidak ingin jatuh cinta karena trauma masa lalunya, jadi bagaimanapun Cici berusaha Erlan tidak akan membalas perasaannya. Maka dari itu Cici berpura-pura menunjukkan rasa tidak suka pada setiap perlakuan Erlan padanya untuk menutupi perasaannya ini. Saat sibuk melamun makanan pesanan mereka telah tiba. Erlan segera meraih sendok yang diberikan pelayan kemudian membersihkannya dengan tisu sebelum diberikan pada Cici. "Kemarin group alumni SMA lumayan rame loh," ujar Cici sambil memakan perlahan makanannya. Erlan yang terlihat sibuk dengan makanannya juga segera mengangkat kepalanya dan menatap Cici bingung. "Apa itu sesuatu yang penting?" "Ya nggak penting sih, cuma kemarin group alumni SMA rame ya karena topiknya lo." Erlan mengangkat satu alisnya menunggu kelanjutan cerita Cici. "Temen-temen alumni pada ngomongin lo. Katanya lo sekarang makin sukses di usia muda, selain itu mereka nanyain kenapa lo nggak masuk group alumni terus nggak pernah ikut kegiatan alumni." "Saya punya banyak pekerjaan, tidak ada waktu untuk hal tidak penting seperti itu," jawab Erlan santai. Cici menatap kesal pada pria kaku di hadapannya saat ini. "Dasar manusia anti sosial," gerutu Cici, "by the way temen-temen angkatan lo pada nanyain ke gue lo udah ada cewe apa belum." Cici terdiam sejenak menunggu jawaban Erlan. "Bilang pada mereka. Bukankah mereka mengatakan saya sukses di usia muda, itu karena saya sibuk bekerja dan tidak mempedulikan urusan wanita yang tidak penting." "Nikah aja sana sama pekerjaan," sindir Cici pada Erlan. "Lebih baik kamu fokus pada makananmu Anjani. Makan tidak boleh sambil berbicara, kamu sudah bukan anak kecil lagi yang semua hal harus saya katakan." Cici mendengus kesal sekali lagi setelah mendengar teguran Erlan padanya. Ia mulai diam dan memilih fokus pada makanannya. Pria ini selalu punya cara untuk mematikan topik obrolan bersama Cici.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD