PROLOG
TANAH NAN MENABJUKKAN
⠀
Hari terakhir riset botani. Kami mulai putus asa karena belum juga menemukan spesies tanaman baru di pulau ini. Tetapi keberuntungan berpihak pada kami setelah menemukan air terjun nan memukau, menghipnotis kami.
Di sekitar tempat itu bermunculan tanaman eksotis yang belum pernah kami lihat dan kami temukan fotonya di buku, diktat maupun jurnal website mana pun yang pernah kami pelajari.
Semua bergembira, kemudian mulai mendata dan mendokumentasikan semua tanaman cantik itu. Kami senang, tapi … seakan tidak pernah puas, kami ingin menemukan lebih banyak lagi. Kami sama-sama berinisiatif memeriksa apa yang ada di balik dinding tinggi air terjun megah itu.
Wonderful.
Cuma kata itu yang bisa kami ucapkan karena terlalu takjub, ternganga dan terpesona menyaksikan keunikan alam nan indah ini.
Indonesia memang penuh dengan beragam kekayaan alam yang menabjukkan. Tempat ini sungguh laksana surga.
Kami bukan hanya menemukan lebih banyak spesies tanaman baru, tapi juga hewan-hewan eksentrik lainnya yang sepertinya langka. Ikan beragam jenis dan aneka warna sirip dan bentuk ekor yang unik, berenang di telaga nan jernih. Sangat bersahabat ketika didekati.
Ada kura-kura dengan cangkang yang seolah bersepuh emas, turut timbul tenggelam di telaga. Juga ada hewan lain serupa kijang bertanduk, tapi berkepala kelinci mengintip di balik semak berbuah kuning keemasan. Burung-burung seukuran merpati dengan warna sayap dan ekor yang bisa mengembang laksana merak beterbangan ke sana ke mari. Mereka bernyanyi merdu menambah kesyahduan tempat ini.
Syukurnya tidak ada buaya di sini, kecuali salah seorang teman kami. Namanya Marco. Ha-ha. Sorry, Marco.
Bagaimana bisa tempat seindah ini, tapi hampir semua tumbuhan dan hewannya tidak pernah ditemukan oleh para ahli mana pun? Mencurigakan memang, tapi juga menguntungkan. Kami bisa terkenal kalau berhasil melaporkan aneka spesies terbaru yang ada di Pulau ini.
Rasanya sangat sayang kalau kami tidak bersenang-senang dulu di negeri dongeng ini. Menemukan tempat terpencil ini saja menempuh perjalanan yang begitu berat. Mungkin berenang, menikmati kesegaran telaga nan jernih, juga menikmati daging ikan yang lezat, bisa membayar semua rasa lelah ini. Kalau saja kami membawa perlengkapan kemah, semalam lagi berada di sini menarik juga. Mengeksplorasi semua hal istimewa yang terpendam di tempat ini.
Baiklah, perutku kenyang. Mataku mulai mengantuk. Aku akan tidur 2 jam saja sebelum kami kembali ke kemah. Mungkin besok kami akan kembali ke tempat ini lagi. Sekian jurnal kali ini, nanti kita sambung lagi.
JURNAL 1 (13:13 PM) : PANDJI – KETUA KLUB BOTANI
⠀
Kerajaan Gaib Pulau Rimatalu
⠀
Suara desis itu semakin dekat dengan pria yang tengah berbaring santai di pendopo yang menghadap langsung ke laut. Beberapa orang dayang menoleh pada sosok melata yang mendekati mereka semua.
“Bagaimana? Apa semua berjalan sesuai rencana?” tanya pria dengan jubah kebesaran serta ikat kepala berlambang matahari tanpa membuka mata. Masih terlalu asyik menikmati pijatan dua orang dayang di tubuhnya.
Sosok melata bersisik kuning keemasan tadi bertransformasi sekejap mata menjadi wanita yang teramat cantik. Dia mengenakan lilitan kain yang sedikit transparan berwarna keemasan yang hanya menutupi d**a hingga pahanya. Di surai hitamnya bertengger tiara emas, begitu pula giwang, gelang di lengan dan pergelangan tangannya. Dia juga mengenakan selop keemasan yang menutupi kakinya. Pupil wanita itu masih serupa dengan sosoknya ketika menjadi ular. Wanita itu sepenuhnya dibaluti hiasan gemerlap keemasan dari kepala hingga ujung kaki.
“Hamba menghadap, Pangeran,” ucapnya masih menekuk lutut di lantai. “Semua berjalan dengan sangat baik. Mereka masuk ke dalam perangkap yang kita pasang.”
Tawa bass pria itu terdengar riang. Ia mengangkat tubuhnya dan duduk. Menyipitkan mata, menatap gadis keemasan dengan netranya yang biru muda serupa lautan. Menyeringai puas.
“Berdirilah Pidia. Apa yang mereka lakukan sekarang?”
Wanita bernama Pidia itu berdiri. Lekukan tubuhnya tampak begitu elok sempurna. Matanya yang keemasan menatap memuja pada sang Pangeran.
“Mereka semua sudah tertidur setelah kekenyangan memakan ikan di telaga kita.”
Senyum sang Pangeran semakin bertambah cerah.
“Bagus sekali.”
“Apa lagi yang akan kita lakukan pada mereka, Pangeran?”
“Sesatkan, arahkan ke hutan pembuangan. Biarkan kaum tak berkelas menyiksa mereka. Bawa satu yang penting, sisakan satu yang selamat, buat dia jadi gila. Lalu … jadikan yang mati menjadi abdi kita.”
Wanita itu mengangguk patuh.
“Oh, sebelum pergi, bisa kamu lihat wanitaku di kamar? Apa dia sudah bangun?”
Pupil keemasan itu mengecil sekilas sebelum netral kembali.
“Hamba akan laksanakan perintah Pangeran.”