Kesempatan yang tepat, kah?

1875 Words
Dua tahun sebelumnya... Kemarin Felora baru saja menginjak usia tepat tujuh belas tahun. Semua merayakan. Bunda sudah membuat rencana jauh-jauh hari, mereka merayakan di sebuah resto. Namun, hingga berganti hari, ada yang terasa tidak lengkap sama sekali. “Yang habis ulang tahun ke tujuh belas, harusnya kelihatan cerah dong! Ini malah cemberut begitu?!” decak Fayra. Felo hanya melanjutkan langkah, lalu menjatuhkan diri ke ranjangnya. “Fel, kenapa?” tanya Fayra. “Nothing!” Felora tidak akan mengatakan yang dirinya resahkan sama sekali, jika karena Sagara. Mata Fayra tetap menyipit menatap sepupunya, kemudian dia menyeringai, “enggak mau bilang? Cerita? Ya sudah, padahal aku punya berita baik banget buat kamu.” Felora segera mengubah posisinya jadi duduk, menatap sepupunya, “apa?” “Idih ogah! Kamu juga begitu ke aku.” “Astaga! Iya deh aku jujur. Aku sebel banget sama kakakmu. Dia tiba-tiba ngilang, bahkan belum ngasih ucapan apa-apa!” terus terang gadis itu sambil menghela napas dalam. “Sudah duga sih,” Fayra mengedikan bahu sambil menjauh, Felora menarik tangan sepupu rasa bestie-nya tersebut. “Aku sudah kasih tahu, terus kamu? Kabar baik apa? Sagara mau pulang?” bagian akhir tentu paling Felora harapkan. “Fayra, cepat ngomong ah!” “Ini aku mau kasih tahu, tapi bukan karena Sagara mau pulang. Mana bisa, dia justru lagi sibuk-sibuknya sekarang.” “Ohhhh...” gumam Felora, bahunya sampai lemas dan kembali menjatuhkan dirinya. Dia terlentang menatap langit-langit kamar Fayra. Sampai sore tiba, di hari itu pun Sagara masih tidak menghubunginya sama sekali. Felora dibuat tidak konsentrasi. “Kok belum siap-siap?” sebuah pertanyaan muncul dari Kikan. Mendapati putrinya masih belum mandi, dengan pakaian yang sama setelah kembali dari rumah Fayra. Kening Felora mengernyit, mendapati pertanyaan dari bundanya. “Siap-siap ke mana?” “Fay bilang mau ajak kamu pergi, temani ke toko buku.” “Oh iya, lupa.” Felora melupakannya saking tak fokus karena Sagara. Dia pun segera bersiap-siap. Fayra bahkan muncul lagi saat Felora tengah bersiap, sepupunya itu meraih pakaian yang digunakan Felora. “Sudah tujuh belas tahun, Fel.” “Ya, terus? Apa salahnya dengan kaus lengan panjang itu dan celana jeans?” “Pakai dress,” Felora memutar bola matanya, “kita cuman ke toko buku, Fayra... enggak usah berlebihan deh!” “Sudah nurut saja!” Dia mendorong Felora untuk memakai dress pilihan Fayra. Felora terpaksa menurut. “Sepatunya, coba pakai heels—“ “Bagian itu, aku tidak mau ya!” ia tetap memakai sepatu putih sport biasa. Berbeda dengan Fayra, Felora memang memiliki selera berpakaian sendiri. “Aku sudah dapat izin dari Ayah, kita pulang sebelum jam sepuluh.” “Beli buku lama banget sampai jam sepuluh.” “Sekarang ngeluh, nanti juga kamu yang enggak mau pulang cepat-cepat.” Fayra kembali menjawab dengan meledeknya begitu. Felora hanya menggeleng pelan. Meski Fayra sudah bisa menyetir mobil bahkan memiliki sim di usianya yang sudah legal itu, keluarga tetap tidak memberinya izin mengendarai sendiri jauh-jauh tanpa pendamping orang tua. Jadi, mereka meninggalkan rumah Lais dengan sopir pribadi. Begitu sampai di sebuah Mal tujuan mereka, Fayra menggandeng tangan Felora. “Kok Pak Iyus enggak mengikuti kita?” “Dia bakal anteng, aku kasih uang rokok sama kopi.” “Fay, ih kamu!” Fayra menyengir, kadang saat jalan dengan teman-temannya, Fayra akan mencari akal agar bebas dari pengawasan. Gadis itu memang banyak akal untuk bisa bebas. Tidak sampai di sana, Felora kembali heran dengan sikap janggal Fayra kala bukannya masuk ke toko buku, malah membawanya masuk ke bioskop. “Aku sudah beli tiket, dua. Nonton dulu,” Fayra lebih dulu menjawab keheranan Felora. “Ini sih bukan cuman beli buku, kamu memang ajak jalan! Jangan bilang enggak cuman kita berdua? Sama pacar kamu?” “Negative thinking mulu deh kalau ke aku!” Fay langsung mengajaknya masuk, dia bilang film yang ingin di tontonnya sudah siap mulai. Keheranan lain di mulai saat Felora tidak melihat siapa pun di studio tersebut, Merasa hanya ada mereka berdua. “Orang-orang enggak ada yang minat nonton film ini? Kita doang nih?” tanyanya heran. Fayra mengedikan bahu. “Lihat layarnya! Mau mulai!” kata Fayra. Felora menatap depan, lampu mulai diredupkan. Lalu Felora santai saja menikmati film yang mulai berjalan, hingga tak menyadari Fayra bergerak meninggalkannya. Felora menutup mata saat bagian yang dia anggap menakutkan, menguji nyalinya. “Fay, sumpah ya. Sudah tahu, jantung aku lemah, kamu ajak nonton film horor begini! Sudah ah, kita keluar—“ “Fay memang nyebelin, aku minta buat lihat film romantis. Dia malah pesannya film horor.” Ucap seseorang. Bukan Fayra yang menjawab, sebuah suara yang membuat Felora merasa bulu tengkuknya merinding. Dia menoleh cepat dengan membelalakkan matanya, “YAK! SAGARA?!” Lampu detik itu hidup, film di depan pun berhenti. Layar berubah menjadi sebuah video berisi foto-foto Felora dari masa ke masa, ada bersama keluarga juga pria yang memberinya kejutan malam ini. “Hai, Chocolate girl—“ kalimatnya terhenti saat Felora begitu saja beringsut maju, memeluknya. “Nyebelin banget, ngilang begitu! Bikin aku kesal, aku pikir kamu sibuk sampe lupa kalau kemarin hari pentingku. Ulang tahunku!” Ia mengungkapkannya, Sagara tersenyum, “kapan sampai Jakarta-nya?!” “Sore, jam empat. Terus langsung mandi, bersiap tunggu kamu di sini.” Jawabnya, sebuah usapan lembut yang famillier terasa mengusap belakang kepalanya, Sagara memejamkan mata sejenak, menghirup aroma gadis itu yang selalu dirindukannya. “Selamat ulang tahu, Chocolate girl. Doa terbaik untuk kamu, terutama kesehatan kamu.” Felora menjauh sebentar, lalu tatapan mata mereka beradu. Sagara mengambil sebuah bunga yang dia bawa. “Makasih, Saga.” “Jadi kamu sengaja siapin kejutan ini buat aku?” penasaran Felora. “Ya, termasuk buat kamu jengkel dulu. Dengan ngilang, enggak ngucapin ulang tahun seperti tahun sebelumnya.” “Kenapa?” “Mau berbeda, juga aku sudah lama tunggu kamu tujuh belas tahun. Biar legal untuk dipacari.” Ucapnya tenang. Mata Felora mengerjap mendengar ungkapannya. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ekspresi Felora, membuat Sagara jadi cemas sendiri. Apa kejutannya berlebihan? Ia harusnya mempertimbangkan semuanya untuk tak membuat jantung Felora dapat kejutan yang buatnya syok. “Felo, atur napas kamu. Tenang. Aku buat kamu syok, ya?” Felora mengatur dirinya, terutama mengurangi reaksi jantungnya yang berlebihan. “Kamu ngomong apa sih? Bercandanya tidak lucu!” “Aku serius, Fel. Aku sudah terbang jauh-jauh ke Jakarta, buat ungkapi ini semua. Masa dianggap bercanda.” Felora merasa bingung harus menanggapi apa atas ungkapan perasaan Sagara. Keinginan pria itu menjadikannya pacar. Tatapan mata mereka beradu sampai Felora menarik tangannya dari genggaman Sagara. “Felo,” “Aku enggak tahu mesti jawab apa,” polosnya dengan jujur. Sagara tersenyum, tetap tenang. “Bagaimana rasanya saat kita bersama? Pas berdekatan begini? Terus pas jauh, apa kamu juga kangen aku? Kalau kamu tanya aku, rasanya jelas menandakan sesuatu yang spesial. Lebih dari kedekatan yang seharusnya. Maksudku, jantungku berdetak kencang banget kalau kita dekat, dan saling tatap begini. Pas jauh, kita berdua terpisah, aku merindukan kamu. Jenis rindu yang enggak biasa, Felo. Tidak sebentar untuk membuatku memahami yang aku rasakan ini, sampai ya, aku harus ajak kamu bicara.” Felora terpaku mendengar semua ungkapan Sagara. Ada kebebasan yang mendorong mereka bisa bersama, karena ikatan sepupu mereka bukan karena darah yang sama. Jika Felora menyetujui, tak ada yang tabu dalam hubungan mereka kecuali mungkin pertentangan dari keluarga. Namun, terdiamnya Felora kali ini bukan karena itu. Melainkan tak ingin perubahan hubungan mereka menjadi rasa sakit yang besar di suatu hari nanti jika sesuatu terjadi pada dirinya. Lagi-lagi alasannya karena penyakitnya. “Fel—“ “Aku mau pulang,” Felora menjauh, ia berdiri sambil memeluk bunga pemberian Sagara. Baru akan berbalik, Sagara menahan lengannya tanpa menyakiti. “Kamu tidak merasakan seperti yang aku rasa?” “Kita berdua sepupu, Saga—“ “Iya, aku tidak lupa status tersebut. Tapi, lebih dari siapa pun... kita semua tahu, kalau kita bisa bersama. Kamu tidak tabu untuk aku cintai dan miliki, Felo. Tidak ada darah yang mengikat kita.” Mendapati Felora yang terdiam, menundukkan wajahnya sambil tangannya yang mengepal. Sagara tahu jika akan sulit meyakinkan Felora. Sagara mendekat, meraih tangan Felora yang mengepal kuat. “Aku tidak akan menekan kamu.” Felora percaya padanya. “Kamu mau pulang? Ayo aku antar, tapi aku lapar sekali. Bisa temani aku makan dulu?” tanyanya dengan sikap tenangnya. Felora mengangguk, tak tega bila tetap memaksa diantar pulang sedangkan Sagara pasti sudah sangat lapar. *** Kembali ke masa sekarang... Felora teringat sekali kejutan tepat sehari setelah hari ulang tahunnya, ia menginjak usia tujuh belas. Sagara memberi kejutan serta mengungkapkan perasaannya. Dia mencintai Felora, kasih sayang yang lebih antara sepupu seharusnya. Hari itu Felora tidak menerima Sagara langsung, bukan karena dia tak mencintai Sagara juga. Felora sadar arti detak jantung yang berlebih setiap kali bersamanya, atau bahkan mengingatnya. Ia butuh keberanian untuk yakin melangkah pada hubungan baru. “Sudah dua tahun, kami bisa menjalaninya sembunyi-sembunyi. Hanya rasanya, tetap saja merasa bersalah setiap kali menatap Ayah dan Bunda. Aku tahu ini tak mungkin tetap bisa disembunyikan.” Bisiknya. Menatap fotonya berdua dengan Sagara yang diambil saat liburan di resort Rajata yang ada di Bali sekitar tahun lalu. Foto yang tak bisa ia jadikan walpaper. Jika ayahnya melihat, bisa ketahuan ada hubungan spesial. Sagar merangkulnya dan mencium pipi Felora dalam foto tersebut. Felora menutup dompetnya, kemudian bersiap untuk ke kampus. Sudah beberapa hari dari keluar rumah sakit, “ayah harusnya sudah kasih izin aku ke kampus.” Felora memasukkan laptop dan buku catatannya ke tas. Lalu membawanya turun. Ia menemukan Ayah tengah bicara dengan Uncle Hamish dan Eyang Kaflin. Semua mata tertuju padanya, Ayah sigap berdiri menghampiri. “Kamu belum boleh ke kampus, Fel.” Katanya dengan tegas. Felora menatap ayahnya, “Ayah, aku sudah stabil. Ini hari ketiga aku bolos—“ “Ayah baru saja mengajukan cuti semester untukmu.” Kata Halim, Felora sampai ternganga dibuatnya. “Enam bulan ke depan bahkan sampai setahun, kamu harus menunda kuliahmu dulu.” “Ayah ambil keputusan tanpa diskusi atau bahkan kasih tahu aku dulu?” “Ya,” Angguk Halim, “transplantasi kamu akan segera dilakukan, bukan hanya butuh persiapan di awal tetapi setelah operasi itu berlangsung, ayah butuh memastikan kamu beradaptasi dan jantungnya bekerja normal juga baik.” Felora kian mematung. Bukan karena keputusan ayah yang mengajukan cuti kuliahnya, melainkan Ayah terlihat yakin jika dalam waktu dekat, ia akan segera melakukan transplantasi. “Kapan?” “Bisa jadi dalam minggu ini hasilnya keluar, dan karena kondisi jantungmu yang sudah semakin tak baik, operasinya pun akan segera di jadwalkan.” Jantung Felora berdetak, ia sudah menunggu waktu transplantasi ini begitu lama. Ternyata tetap mengejutkan sekaligus cemas saat menerima kabarnya. Halim yang mengerti putrinya segera mendekat, meraih putrinya ke pelukannya. “Ayah sudah menyeleksi tim dokter terbaik untuk melakukannya. Kita tak bisa menundanya lagi, Fel.” Felora tahu, kesempatan baik tak akan datang dua kali. Dan ia harus menyerahkan semuanya pada Sang Pencipta, yang didukung usaha ayahnya. Namun, ada yang membuat Felora memikirkan lainnya. Tentang hubungannya. Tiba-tiba, ia ingin mengatakan pada Ayah dan keluarga sebelum operasi itu dilakukan. Mungkin ini kesempatan agar Ayah tidak terlalu marah, dan mau menerima hubungannya dengan Sagara. Agak jahat memanfaatkan momentum dirinya, kecemasan semua orang, tetapi jika tak lakukan sekarang, mungkin akan dapat hasil berbeda nanti. Pikirnya. Pertama yang harus ia lakukan, bicara dengan Sagara lebih dulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD