Mempersiapkan Segala Kemungkinan!

1986 Words
"Sudah dari tadi?” tanya Halim mendapati putra dari kakak sepupunya masih ada di rumahnya setelah ia dan Kikan kembali. “Tidak lama dari Uncle dan Bunda pergi tadi.” Jawabnya. Menyalami keduanya, kemudian duduk kembali. Halim memakai batik pekalongan lengan panjang berwarna biru, juga celana kain yang terlihat begitu rapi. “Bunda tinggal sebentar ya, mau ganti pakaian.” Pamit Kikan. “Ya, Bunda.” Angguk Sagara. Kikan pun meninggalkan ruangan keluarga, menyisakan Sagara berdua dengan pamannya. Suasana berubah jadi hening dan tiba-tiba suhu ruangan menjadi lebih dingin bagi Saga. Pasti rasa itu timbul setelah pembicaraan dengan Felora. Hari ini dia bisa duduk, berhadap-hadapan dengan pamannya. Entah setelah semua terungkap, apa Halim akan membiarkannya bahkan bisa masuk rumahnya? “Di mana Felora?” tanya Halim tanpa menatapnya, mata pria itu masih pada layar ponselnya. Tidak melihat putrinya sejak sampai. “Dapur, dibantu Mbak buat cookies cokelat—“ Halim langsung mendongak, memberi tatapan tajam, dia pun berdiri, membuat Sagara juga sedikit tersentak. ‘Ya Tuhan, mengapa menghadap Uncle Halim jadi buat berdebar sekaligus takut, begini? Padahal sebelumnya, biasa saja!’ Batin Sagara. “Anak itu, sudah dibilang jangan beraktivitas yang berat dulu!” Halim pilih mencari sekaligus memastikan putrinya di dapur. Sagara yang ditinggal, merasa punya waktu sejenak untuk menenangkan dirinya. Dia belum sampai tahap berterus-terang pada Halim mengenai dirinya yang telah dua tahun memacari Felora, tapi sudah sangat buatnya serba-salah. Halim beberapa saat di dapur, kemudian keluar dengan sebuah cookies cokelat yang tampak masih hangat. Setelah bicara dengannya, memang Felora pergi ke dapur dan menyiapkan adonan cookies cokelat. Dia bilang, itu bayaran untuk Harsa karena sudah membantu mengatur CCTV ruang kerja off selama mereka bicara tadi, juga Harsa memantau kondisi. Bahkan menghalangi Keenan dan Hikami agar tidak merusak apalagi mengganggu mereka. “Uncle enggak jadi mengomel?” “Percuma, cookies cokelat buatannya sudah matang. Lagian selain Bunda Amira, Felora yang bisa buat cookies dengan rasa persis buatan Bunda.” Kata Halim. Lalu Felora muncul, membawa piring berisi beberapa potongan brownies. Selain cookies, ia juga buat itu. Kikan yang kembali tidak lama, berdecak kagum, langsung mengambil sepotong kue. “Dalam rangka apa ini anak Bunda buat cookies sekaligus brownies?” Felora tersipu malu, lalu melirik Sagara, “dalam rangka apa ya? Hm, bahagia pastinya.” Halim dan Kikan juga saling tatap, mereka berpikir jika bahagia Felora karena sudah tahu jika ia akan segera melakukan transplantasi. Alasan sebenarnya, hanya Felora dan Sagara yang tahu. “Kamu tidak pulang, Saga?” tanya Halim. Kikan dan Felora tidak asing lagi dengan tanya Halim terkesan mengusir. Sagara mengangguk, “ini mau, Uncle. Sengaja menunggu sampai Uncle dan Bunda sampai rumah.” “Lho, kenapa buru-buru?” tanya Kikan, “tinggal di sini sampai malam, menginap saja kalau bisa.” “Dia tidak buru-buru, Kikan. Sagara juga pasti sibuk, tidak bisa menginap.” Halim yang justru menjawab. Felora menatap Ayahnya. Halim tetap duduk santai. “Mama dan Papa besok sampai Jakarta. Aku dan Fayra akan tunggu di rumah.” Halim menghela napas dalam-dalam, begitu juga dengan Kikan. “Sky, apa kabar?” “Kalau kata Bunda, dia baik-baik saja. Seperti yang kalian tahu, Sky hanya sering komunikasi dengan Mama. Itu pun tidak setiap waktu. Kadang berminggu-minggu sulit dikabari. Orang-orang suruhan Grandad yang mengawasi selalu berakhir menyerah. Ka Sky selalu tahu jika ada kiriman orang yang mengawasi.” “Ya, Daddy Kaivan bahkan menghentikan pengawasan. Karena Sky mengancam akan benar-benar hilang tanpa bisa dilacak, apalagi mengabari siapa pun keluarga kita, jika tetap melakukannya.” Ujar Halim, sebagai pamannya sangat cemas. Sagara memilih terdiam. Felora menahan diri, jika tidak ada Ayah dan Bunda pasti dia sudah berpindah dan memeluk Sagara. Jarak usia yang tak begitu jauh, bahkan sempat kuliah bersama-sama di luar, membuat ia sangat kehilangan sosok kakaknya. Sky masih hidup, tetapi sibuk membangun tembok tinggi bahkan dari keluarga mereka. Sagara tersenyum, “akhirnya ada yang bisa menandingi keras kepalanya Grandad. Bahkan Mama Fay, tidak bisa.” Sagara kemudian pamit, Felora mengantar hingga ke depan. Halim merasakan Kikan yang meraih tangannya. “Aku pernah mengasingkan diri dari keluarga dulu, memilih menetap lama di Hamburg, Jerman. Tapi, aku tak memutus komunikasi dengan orang tuaku dan lainnya. Yang Sky lakukan lebih dari itu. Bahkan Ka Xabiru bilang, putranya masih ketergantungan dengan obat-obatan anti depresi, juga butuh obat untuk atasi insomnia kepanjangannya. Tanpa obat tidur, Sky bisa tidak tidur sampai seminggu.” “Separah itu?” Halim mengangguk, “memaksanya pulang, hanya akan membuatnya kian tertekan.” “Namun membiarkannya tinggal sendiri, apa baik?” tanya Kikan yang ikut memikirkan. “Kita tak punya pilihan lebih baik, untuk sementara ini.” kata Halim. Guncangan yang dihadapi salah satu keponakannya, menjadi ujian besar keluarga Lais. “Mas,” “Aku juga khawatir, itu terjadi pada anak-anak kita. Mereka tinggal dan tumbuh dalam pengawasan kita. Tapi, kita masih bisa kecolongan, bukan? Aku takut mereka menyembunyikan sesuatu yang besar, memilih tak membaginya dengan kita.” Halim mendesah. Kikan mengusap lembut tangan suaminya. “Kadang aku juga merasa terlalu keras dan berlebihan pada Harsa, dibanding saudaranya yang lain. Aku takut dia merasa kita pilih kasih, tetapi, jika tak begitu, aku tidak tahu cara lainnya untuk membuat dia mengerti beberapa kenakalannya bisa membuatnya terjerumus. Aku tidak mau dia sampai terlalu jauh dan tak bisa diselamatkan.” “Aku ngerti, Mas.” Angguk Kikan. “Aku punya kekhawatiran yang sama. Meski sudah berusaha sebaik mungkin, tetap tak bisa menjadi orang tua yang sempurna.” Felora yang baru kembali mematung mendengar yang ayahnya dan Bunda bicarakan, detak jantungnya meningkat. Ia mengepalkan tangannya. Membayangkan betapa kecewanya sang Ayah dan Bunda nanti jika tahu sudah dua tahun belakangan ada yang ia sembunyikan. Felora siap menangis, tetapi seseorang tiba-tiba menariknya. Membawa ia ke pelukan. Dari wanginya yang menenangkan. Felo tahu Sagara kembali dan ikut mendengarkannya. “Aku akan membuat mereka kecewa,” bisik Felora. Sagara memeluknya. Dia berkontribusi penting dari kecewa nanti yang akan Felora dan dirinya dapat. “Kita tak bisa mundur, Felo. Aku tidak mau melepaskan kamu. Kita harus mengakui, dan meyakinkan mereka.” Sagara kembali meyakinkan kekasihnya. Mereka baru mengambil langkah awal, ia tak akan goyah oleh rasa takut yang membendung dikepala dan hatinya. *** Sagara meletakan kunci, lalu melepas jaketnya. Dia langsung merebahkan diri di sofa. Memejamkan mata. Persetujuan pada keinginan Felora bukanlah yang ia sesali sama sekali. Datangnya memang lebih cepat, tanpa dirinya sangka. Tetapi, Sagara tidak akan pernah mundur. Meski halangan itu bernama Halim Benjamin Lais dan keluarga Lais lainnya. Kepalanya dipenuhi berbagai macam langkah dan cara seperti apa yang akan dirinya ambil jika ditentang habis-habisan oleh Halim nanti atau terburuknya dipisahkan dari Felora. “Sagara,” panggilan lembut itu membuat ia membuka mata, Sagara menemukan wanita paling dihormati di keluarga mereka. Langsung ia menarik kaki, turun dan bergegas dirinya duduk. “Grandmom,” Anna tersenyum, meski usianya sudah lanjut, tidak melunturkan kecantikan dan elegannya. Gen Lais yang bahkan mengalir kuat pada dirinya. “Sudah makan siang?” “Sudah tadi di rumah Uncle Halim, sama Felora dan Harsa.” “Hanya bertiga?” Neneknya mengambil tempat, duduk di dekatnya. “Iya, Uncle Halim dan Bunda Kikan pergi ke undangan teman Uncle. Kalau Eyang Kaflin dan Eyang Ami di rumah Uncle Hamish, terus disusulin sama Keenan dan Hikami.” “Harsa tidak ikut?” “Lagi dihukum, enggak bisa keluar rumah kecuali ke sekolah dan les.” Anna mengangguk, kemudian terkekeh, “sepertinya Harsa lebih menguji kesabaran orang tuanya dibanding Aric dan Hamish dulu.” Katanya. “Menang Uncle Aric dan Hamish nakal?” “Ya, itu proses pencarian jati diri. Semakin dewasa, ya berhenti nakalnya. Apalagi sudah mulai jatuh cinta dan serius ingin berumah tangga.” Kata Anna. Mata tuanya dibalik kaca mata yang selalu digunakannya, menatap wajah Sagara. “Kenapa, nak? Ada yang sedang mengganggu pikiranmu?” Sagara tersenyum, “ada. Banyak. Macam-macam, granmom.” “Namanya juga hidup,” Anna tersenyum, “Felora sehat?” “Ya. Transplantasi untuk jantungnya sepertinya kali ini akan dilakukan.” “Itu yang paling menyita pikiranmu?” “Kenapa Grandmom berpikir begitu?” “Kamu itu dari awal Felora muncul, langsung dekat. Padahal kamu sulit dekat dengan siapa pun. Dengan saudaramu yang lain, bahkan Sky, kamu enggak begitu mau berbagi mainan. Pas Halim bawa pulang Kikan beserta memperkenalkan putrinya, kamu yang mendekatinya pertama kali dan mengajak main. Grandmo bahkan masih sangat ingat. Di rumah ini perekenalan pertama kalian. Grandmom terus tanya padamu, kamu bilang suka main sama Felora. Dia tidak cengeng seperti Fayra, dan menurut sama kamu.” Sagara mendengarkan cerita Anna yang jadi saksi kedekatannya dengan Felora sudah terjalin sejak dulu. “Felora tumbuh cantik sekarang, kan?” “Iya,” jawab Sagara. “Kamu menyukainya?” Sagara langsung menoleh. “Grandmom—“ “Tidak perlu di jawab,” cegah Anna. Sagara tidak tahu makna tatapan dan senyum Anna. “Halim itu berbeda sekali dari Hamish dan Aric. Dia lebih serius, tidak banyak menyusahkan, namun kekurangannya jika sudah ambil keputusan, kadang lebih nekat dari saudaranya yang lain. Dia tidak bisa dihentikan. Kadang mau menang sendiri. Bundanya, Amira yang begitu sabar saja sampai lepas kendali pada saat itu karena keras kepalanya.” Anna menepuk pipi Sagara, “kamu dan Fayra menginap di sini. Pulang besok pagi, ya.” “Iya. Fayra di mana?” “Di atas, dia lagi bujuk Kai untuk berinvestasi di bisnisnya.” Kata Anna. Fayra memang sudah memulai bisnisnya sendiri sejak setahun lalu. Masih dia tangani sendiri dan menjual secara online serta di beberapa kalangannya. Membeli beberapa barang yang antik dan bernilai, lalu dia perbaiki bagian yang sedikit rusak, lalu menawarkannya pada orang-orang kolektor. “Grandad pasti akan memberikannya?” “Belum tentu, meski sudah kakek-kakek, suamiku itu masih jeli lihat peluang mana yang bagus untuk investasi atau tidak.” Kata Anna dan berdiri. Sagara terkekeh mendengar ucapan neneknya, Anna mengulurkan tangan, “temani Grandmom naik, menemui Kai dan Fayra. Kita lihat usaha Fayra membujuk Kai.” Sagara mengangguk, setuju untuk temani neneknya naik. Di rumah itu sedia lift yang membuat Anna dan bahkan Kai yang sudah duduk di kursi roda bisa tetap naik dan turun. Bagusnya Sagara sedikit teralihkan pikirannya. Beberapa saat Fayra tampak bete karena belum berhasil membuat Kaivan mau menggelontorkan dana untuk bisnisnya. Sagara menemukan adiknya tengah memberi tanda silang di dekat nama kakeknya. “Targetmu selanjutnya siapa?” “Uncle Aric dan Hamish. Kalau gagal juga, ya sudah pindah ke Ibuk Aurora. Dia pasti mau bantu bujuk suaminya yang super kaya itu.” Yang Fayra maksud adalah Zayan Hutama. “Sudah lupakan semua nama-nama targetmu itu, aku akan bantu. Asal kamu bisa bantu aku lebih dulu.” Fayra menatap kakaknya, mengerjap. “Ini bukan uang sedikit lho, memang kamu punya? Sedikitnya aku butuh modal dua Miliar dulu.” Sagara tidak menjawab apa-apa, selain meletakan ponsel dan memperlihatkan sebuah cincin. “Felora mau cincin ini, kamu juga tahu ukurannya. Aku mau cincin ini besok siang, bisa?” Fayra mengerjap. Sebagai sepupu rasa bestie, ia memang tahu cincin itu incaran Felora. Tetapi, ada maknanya yang sampai membuat Fayra berdiri dan menatap kakaknya, “kamu mau melamarnya?!” “Sudah. Hari ini, di ruang kerja Uncle Halim. Felora dan aku akan segera menghadap semua keluarga, terkhusus Uncle Halim-Bunda Kikan untuk mengakui hubungan kami dan meminta restu menikahi Felora bahkan sebelum operasi transplantasi jantungnya.” “OH MY GOODNESS!!!” Fayra sampai memekik, “artinya dalam waktu dekat?” “Ya, karena itu aku butuh cincinnya besok. Lalu bantu aku mengatur bagaimana caranya, keluarga kita bertemu makan malam. Sekaligus saja, biar hemat waktu.” Sagara mengeluarkan sebuah black card, “kamu bisa gunakan ini, untuk cincin, dan mengatur makan malam. Aku mau suasana yang tenang, kalau bisa tertutup. Jika Uncle Halim marah, terburuknya sampai menamparku, melempar gelas ke mukaku, tidak ada orang luar yang merekam dan videonya jadi viral di akun Toktik.” Fayra tergelak, meski sempat meringis membayangkan semua terjadi pada kakaknya. “Kamu sungguh sudah siap!” Fayra memegang black card itu, bahkan menciumnya. “Pokoknya kamu serahkan padaku! Pasti beresss, sesuai kemauan kamu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD